Kenapa sementara ? karena paling lama sebulan kemudian uang itu ludes, untuk kebutuhan rumah tangga. Kalau berlebih, kaena kebetulan dapat rejeki noplok, saya lebih memilih investasi dengan membeli emas, tanah atau menambah modal usaha apotik kecil saya. dari awal, memang saya sudah apriori dengan Bank. Kira-kira semenjak saya diajari menabung di bank waktu SMP.
Sebelum saya mengagumi system perbankan syariah, Perlu rasanya saya menghamburkan rasa jengah ini terhadap bank konvensional. ‘makan bunga’ atau riba itulah yang tersimpan dibenakku terhadap bank. Karena saya tidak pernah menabung (menyimpan) lebih dari 10 juta rupiah, paling banter 5 jutaan, maka saya justru merasa jikalau uang sedikit disimpan di bank, malahan semakin berkurang. Ini pengalaman dan tentang pengetahuan minim saya tentang system perbankan.
Bunga tetap ada, tetapi biaya administrasi akan memotongnya ketika uang tabungan tidak bertambah. Apalagi kalau hanya penabung berjumlah kecil seperti saya ini. Nasabah akan dibebani biaya administrasi bulanan, pemindah bukuan, penutupan rekening, transaksi pengambilan, penyetoran di atas jumlah tertentu, kalau buku tabungan atau kartu ATM hilang, juga akan dikenakan pergantian. Ada juga pajak. Ini yang tercantum dalam buku tabunganku di tahun 2007 lalu. Segalah biaya yang dibebankan ke nasabah itu, tidak dicantumkan besaran jumlahnya dalam ketentuan umum buku tabungan.
Nah, apalagi yang membuat saya tertarik ‘menyimpan’ uang di Bank?. Iya, karena saya mengambil kredit usaha darinya. Tentu bukan bank yang memberi bunga kepada saya. tetapi justru saya yang memberinya bunga. Saya berbagi hasil dengan bank,dari keuntungan usaha. Bukan bank yang berbagi hasil dengan saya. Kenapa saya melakukan hal yang merugikan ini?,
Yah, karena hanya Bank yang bisa menjamin perkembangan modal saya. Lebih baik saya meminjam di bank dari pada rentenir, walau sebenarnya bank konvensional juga rentenir ‘resmi’ jikalau dilihat dari defenisi rentenir secara awam. Riba atau membungakan uang. Jadi alasan lain saya menyimpan uang di bank agar penagih bank tidak datang ke rumah menagih kredit. Langsung potong saja. Tiap pertengahan bulan, uang persiapan penagihan berikutnya, kembali saya tambahkan. Dengan cara ini, saya tidak perlu malu sama tetangga, kalau datang penagih yang tentu muka para penagih, Anda sudah paham semua. He he he
Lantas, bagaimana persepsi saya tentang Bak Syariah. Persepsi, sebelum saya memahami betul prinsip pengelolaan bagi hasil system syariah. Cerita traumanya seperti ini, ditahun 2005 lalu, saya membantu seorang sahabat mengurus kredit di koperasi yang mengklaim dirinya syariah. Patut dicatat, Koperasi, bukan bank. Pinjamannya hanya berkisar lima Jutaan. Apa yang terjadi?, peminjam tersebut harus dipotong berbagai pembiayaan. Dan juga disyaratkan menabung di koperasi itu (tidak boleh diambil). Jadilah uang kredit yang diterima hanya sekitar tiga jutaan.
Berselang berapa lama, Iapun tersiksa dengan pengembalian kredit karena usahanya macet. Terus diburu-buru penagih dan uang tabungannya tidak bisa lagi dia ambil. Entah bagaimana aturan sebenarnya. Saya tidak tahu, tetapi yang pasti saya melihat kawan saya itu kelabakan. Waktu itu saya ambil kesimpulan, semua pemberi kredit itu sama. Baik syariah ataupun konvensional.
Sampai saat tulisan ini dibuat, saya belum menabung di Bank Syariah. Tetapi keinginan itu sudah saya pendam sejak setahun yang lalu. Kini, setelah saya membaca beberapa tulisan tentang keunggulan Bank Syariah, saya semakin tertarik. Untuk mengetahui lebih dalam tentang perbankan syariah ini perlu diketahui dulu sejarah dan perkembangannya, agar seperti saya ini tidak salah mengambil kesimpulan, karena hanya berdasar pada apriori dan kesan traumatik pada koperasi (yang sebenarnya) hanya berkedok syariah untuk menarik nasabah.
Kini saya sudah dapat membedakan antara bank konvensional dengan bank syariah. Dimana letak perbedaannya ada pada pembagian hasil. Satu berbagi untung berdasarkan bunga dan satunya lagi berdasarkan imbalan bagi hasil (mudharabah). Tentu banyak lagi keuntungan lainnya, tetapi saya hanya ingin meretas pengetahuanku berdasarkan pengalaman salah kaprah tentang bank syariah dan konvensional.
Sangat jelas, bahwa bank syariah mengadopsi hukum ekonomi Islam dalam penerapannya. Kini bertebaran perbankan syaraiah di Indonesia, yang pada awalnya dipelopori oleh Bank Muamalat atas prakarsa MUI dan Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia pada tahun 1991. Eksistensi keberadaan bank syariah semakin bertambah kuat dengan hadirnya paying hukum berupa UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, yang memberi ruang luas bagi perkembangan bagi perbankan syariah.
Luar biasa, hingga tahun 2007 terdapat 3 institusi bank syariah di Indonesia yaitu Bank Muamalat Indonesia, Bank Syariah Mandiri dan Bank Mega Syariah. Sementara itu bank umum yang telah memiliki unit usaha syariah adalah 19 bank diantaranya merupakan bank besar seperti Bank Negara Indonesia (Persero), Bank Rakyat Indonesia (Persero)dan Bank swasta nasional: Bank Tabungan Pensiunan Nasional (Tbk). Sistem syariah juga telah digunakan oleh Bank Perkreditan Rakyat, setidaknya saat ini telah berkembang kurang lebih 104 BPR Syariah.
Nah, berdasarkan pengalaman traumatik saya di masa lalu, yang kemudian menyebarkan trauma itu disekeliling saya, maka telah menjadi iklan yang sesat bagi siapapun yang ingin berniaga sesuai prinsip muamalah. Menjadi penebar citra manfaat bank syariah harus dimulai dari kini. Dari diri sendiri. termasuk saya, yang telah salah kaprah dan ogah setelah itu, mengetahui informasinya lebih lanjut. Itulah trauma informasi, dan perlu kini terus disosialisasikan manfaat bank syariah untuk menegakkan prinsip Islam dalam bermuamalah. Prinsip Rahmatan Lil alamin.
Banteng, 25 Nopember 2010
Sumber Gambar: Di SINI dan Di SINI