30 Juni 2011

Rimba Menara Selular dan Iklan Tembok Rumah


Martin Cooper, penemu telepon seluler, telah mengibaratkan dunia seperti dalam genggaman telepon. Jagad raya begitu luas dan memang tidaklah selebar daun kelor, karena itu para ilmuwan mencipta berbagai model perangkat telekomunikasi.

Kini jarak, ruang dan waktu, telah serasa dekat, sempit dan singkat. Kabel fiber optic yang kini sudah melintang panjang di bawah samudera pasifik , telah membuat seluruh manusia di dunia bisa terhubung dengan mudah.

Ponsel, bukan lagi barang langka. Alat komunikasi yang generasi pertamanya ditemukan tahun 1973 ini, bisa dibeli ibarat kacang goreng. Para operator selular juga berlomba menawarkan harga pulsa yang murah, berikut iming-iming hadiah penyerap pulsa yang kadang seperti tipuan menggiurkan bagi pelanggan yang gagap teknologi.

Jikalau Anda berada di udara atau puncak gunung, maka kota terlihat seperti rimba menara selular. Tower yang tingginya jauh mengalahkan tugu kota ataupun monument pahlawan kemerdekaan itu, adalah menara BTS ((Base Transeiver Station) pemancar sinyal, yang kini diusahakan dapat menjangkau desa terpencil sekalipun.

Permenkominfo No. 2 / 2008 tentang Pembangunan dan Penggunaan Menara Bersama, adalah solusi. Mungkin karena visi bisnis yang berbeda, tetap saja menara yang tingginya minimal 42 meter itu malang melintang di berbagai kota.

Jikalau tak ada keinginan bersama untuk menyatukan BTS para operator, maka kelak tower-tower itu bakal berubah seperti jejeran pohon besi tak berdaun.

Jikalau semakin banyak, maka menara yang luasnya se kapling perumahan itu, akan mengganggu estetika kota. Selain estetika, dapat juga merugikan penduduk sekitar, semisal sambaran petir pada menara BTS yang pernah terjadi di Bandung. Kejadian itu ditengarai penyebab rusaknya peralatan elektronik warga sekitar. Bahkan ada warga yang kakinya tersambar petir.

Kasus di atas, seperti yang ditulis Abdul Syakur dari Departemen Electrical Engineering UNDIP, Menurutnya, kehadiran BTS di suatu tempat, akan meningkatkan angka jumlah sambaran petir di tempat tersebut. Sehingga, frekuensi sambaran petir di sekitar menara akan meningkat, dibandingkan sebelum ada tower BTS.

Seorang kenalan yang digunakan tanahnya untuk tower, justru merasa senang karena tanahnya yang terbengkalai dikontrak sepuluh juta pertahun. Mahal juga yah? Karena mahalnya, seorang kawan saya yang bekerja sebagai teknisi tower akhirnya menjawab pertanyaan heran saya, kenapa banyak tower yang berdiri di lokasi pekuburan.

Awalnya, saya berbenak klenik. Mungkin karena sinyal tak terlihat, miriplah dengan sifat setan yang banyak di kuburan. Sempat juga ada kawan yang berguyon, mungkin karena itu, ada operator selular yang menggunakan nama setalindo. Aha, ternyata tanah di pekuburan harganya murah dan juga mungkin gratis, karena pemiliknya sudah berbaring di bawah tower.

Karena perusahaan selular adalah komersil, tentu mereka memakai prinsip ekonomi, biaya sedikit hasil banyak. Setidaknya ada 10 operator selular di Indonesia dengan berbagai produknya. Kesepuluh operator itu telah membuat saya empat kali ganti kartu perdana. Karena kartu itu murah bahkan ada yang gratis. Jangan heran kalau para peselingkuh, teroris, koruptor, dan orang yang banyak utang, gonta-ganti nomor handphone.

Sudah murah, promosi juga semakin gencar. Prinsip ekonomi kembali dijalankan. Rumah-rumah penduduk, tembok pagar dan tembok lainnya di branding jadi iklan. Kalau Anda ke Makassar, cobalah lanjutkan perjalanan ke Kabupaten Bantaeng, kota saya. Di sepanjang jalan protokol, akan dijumpai banyak reklame selular yang mencolok di dinding rumah-rumah penduduk.

Kenapa di rumah penduduk? Ternyata biayanya murah karena tidak terkena pajak reklame. Iklan di tempat milik pribadi ini berkategori reklame sidebar yang dikecualikan sebagai objek pajak.

Reklame yang sidebar, adalah reklame memberi manfaat atau bermanfaat bagi yang menerima. Manfaatnya apa? Tentu, toko atau rumahnya yang kedapatan iklan akan di cat gratis.

Selain itu, apa lagi? Kerabat saya yang memiliki gerai handphone, mendapat imbalan 10 lembar vocher pulsa seharga Rp. 20.000, setelah dindingnya di branding kuning dan merah mengkilap. Artinya, perusahaan hanya mengeluarkan uang Rp. 200.000 untuk penerima ‘manfaat’, dan perusahaan selular bebas mencat sepuasnya, seluas dinding. Murahkan?

Anda tahu, Negara ini menerapkan tarif pajak reklame sebesar 25% dalam UU Nomor 34 tahun 2000. Tarif ini adalah yang tertinggi kedua setelah pajak hiburan yang sebesar 35%. Karena keingin tahuan, saya yang tidaklah sehebat Gayus Tambunan menghitung pajak ini, mencoba menghitung pajak reklame seperti yang disosialisasikan pemerintah Kota Batam.

Ternyata, untuk billboard seukuran 6×4 meter pada lokasi jalan protokol A, pajaknya bisa mencapai kurang lebih Rp. 60.000.000 pertahunnya. Tidak murah kan? Itu kalau dibandingkan dengan harga 10 lembar vocher 20. Kenapa saya sebut jumlahnya “kurang lebih”, karena biasanya pajak bisa dinegoisasikan, itu kata orang-orang.

Strategi perusahaan menghindari pajak yang mahal, itu wajar. Kata anak gaul, “namanya juga usaha…..”. Agar tidak terkesan sirik tanda tak mampu, saya sekali lagi hanya menyoal estetika. Keindahan kota sepertinya agak terganggu dengan reklame mencolok di rumah-rumah penduduk ini, yang jumlahnya saya yakin akan semakin bertambah.

13080157671379533944

Sekilas pernah saya membaca di Koran, iklan-iklan yang mencolok di jalan protokol bisa mencelakakan pengguna jalan. Tetapi iklan yang dimaksud adalah iklan komersil yang dikenakan bea pajak. Menurut saya, iklan-iklan di rumah penduduk yang bisa tiga kali lebih besar dari ukuran billboard atau sepanjang ukuran pagar sangat berpotensi penyebab kecelakaan.

Terbayang, bagaimana kalau penjual obat, penjual tomat, wortel dan cabe keriting, juga mencat rumah-rumah penduduk untuk iklan murah. Cobalah Anda tidak membayangkannya, karena ada bakal tersenyum geli. Seperti geli dan herannya saya, ketika banyak orang yang bahkan ingin menawarkan rumahnya di cat iklan.

Perkembangan tekhnologi telepon genggam, yang kini sudah semakin canggih dan perusahaan operatornya yang juga semakin bersaing ketat, tentu akan memanjakan konsumen. Mekanisme pasar akan memberi harga murah untuk konsumen. Karena harganya murah, maka biaya oleh perusahaan juga semakin ditekan, semisal mencari tanah untuk tower di pekuburan atau memasang reklame yang sidebar.

Sumbangsih perusahaan selular untuk keindahan kota dan keselamatan warga, saya kira perlu. Perusahaan memiliki tanggunggung jawab sosial, dengan meminimalkan efek negatif promosi komersilnya. Bahkan perusahaan rokok pun banyak beriklan sambil mensponsori acara olahraga, lingkungan dan panjat tebing sebagai bagian dari tanggung jawab sosialnya di bidang kesehatan dan lingkungan (mungkin). Aneh kan?

Salam Kompasiana!

Bantaeng, 12 Juni 2011

Jabatan Baku Dorong dan Pemilu Aneh di Masjid

Jangan pemilih pemimpin yang terlalu mau dan pula pemimpin yang sangat tidak ingin. Pesan bijak ini pantas direnungi, saat ketika banyak orang yang begitu bernafsu memburu jabatan dengan berbagai cara. Tidak hanya memburu, jikalau perlu merebut. Baik dengan cara yang resmi melalui serangkaian lobi, kampanye dan pencitraan, maupun dengan cara membunuh karakter demi menjatuhkan pesaing.

Tidak heran jikalau banyak yang meradang karena kehilangan jabatan, membocorkan skandal mantan bosnya dan sibuk menebar keburukan orang yang mengalahkannya. Jabatan sungguh hal yang menggiurkan, karena di situ ada penghargaan, pengikut dan mungkin banyak uang.

Terlepas dari tingginya libido berkuasa saat ini di rimba manusia,ternyata ada jabatan yang tidak menggiurkan. Jabatan itu terhormat, memiliki pengikut yang banyak, pekerjaannya mulia dan efek jabatannya berlaku sampai setelah kita mati. Tetapi mengapa tak menggiurkan? Saya ingin berbagi cerita.

Setelah ditunda dua kali sebab minimnya peserta malam kemarin, Jum’at 24 Juni 2011 berlangsung rapat pengurus Masjid Nurul Ikhwan di kompleks perumahanku. Rapat itu untuk memilih ketua pengurus Masjid. Rapat yang dilaksanakan usai shalat isya itu, dihadiri sekitar 30 an jama’ah dari lebih 150 orang kepala keluarga yang bermukim di sekitar Masjid.

Dapat dilihat, bahwa animo warga untuk masalah masjid yang peruntukannya akhirat itu sangatlah kecil, malahan rapat sebelumnya yang ditunda hanya dihadiri belasan orang. Setelah undangan disebar, diikuti pengumuman berkali-kali, rapat malam itu sudah dianggap representatif untuk memilih pengurus masjid yang baru.

Singkat cerita, digelarlah pemilihan itu. Sebagai panitia, saya didaulat memimpin sidang. Sebenarnya, saya merasa risih memimpin sidang terhormat itu. Bukan apa-apa, saya terbilang warga baru dan paling muda diantara para tetua masjid. Mau diapa lagi, bahkan menjadi pimpinan rapat pun peserta rapat saling tunjuk. Dalam istilah kami, baku dorong (saling dorong).

Setelah Laporan Pertanggung jawaban pengurus yang diterima dengan ikhlas itu, akhirnya tibalah masa pencalonan. Tiga calon yang diusulkan peserta. Setelah saya menanyai kesiapannya, dua calon menyatakan tidak siap, satunya lagi menyatakan mundur. Ha, deadlock tanpa calon. Saya kebingungan sendiri. Setelah buntu, saya meminta usulan calon lain, ternyata kembali seperti semula. Baku dorong.

Keadaan ini, sama sekali tidak seperti pada Pemilu Legislatif dan Pilpres, dimana orang bahkan saling dorong untuk menjatuhkan pesaing. Di masjid saya, orang baku dorong untuk maju sebagai ketua. Dalam posisi sebagai pimpinan sidang, tentu saya bebas dari pencalonan karena saya sudah menyampaikan kriteria pengurus masjid. Salah satunya, adalah yang dituakan, saya sama sekali tidak ingin dianggap tua. Bebaslah saya.

Pernah saya membaca, bahwa di Korea Selatan sangat sedikit orang yang mau menjadi pemimpin publik. Baginya, jabatan publik adalah beban yang sangat berat. Sangat sulit menemukan calon untuk menjadi lurah, kepala dinas , menteri bahkan anggota DPR seperti di negeri kita yang berjubel masalah ini.

Seperti di Jepang, pejabat di sana merasa malu kalau bersalah dan tidak bisa memenuhi janji. Mereka kesatria menyatakan mundur kalau gagal. Bahkan banyak pejabat yang bunuh diri. Kegagalan adalah rasa malu bagi mereka. di negeri kita? kegagalan justru ajang untuk menguji keampuhan jurus bersilat lidah untuk menangkis, menghindar, berkelit dan balik memukul.

Membandingkan antara pemilihan pengurus di Masjid di kompleks saya dengan budaya kepemimpinan Jepang dan Korea, memang tidaklah setara. Satu yang ingin saya utarakan, bahwa di Indonesia, ternyata masih ada jabatan yang tidak diinginkan, setelah bahkan pemilihan RT pun diperebutkan. Kata tetangga saya, RT itu bagus walau tak bergaji karena bisa mengurus KTP dan menagih pajak.

Kembali ke rapat pengurus Masjid. Karena kebingungan, saya pun mem veto keadaan, dengan memberikan kesempatan kepada peserta untuk kembali menunjuk calon secara musyawarah. Siapa pun yang ditunjuk dianggap representatif dan tidak boleh mundur. Ini demi kemaslahatan dunia dan akhirat, kata saya sedikit bernada ustad.

Pemilihan ulang pun di gelar, tanpa fatwa dari Mahkamah Konstitusi yang juga sudah mulai mempersoalkan suap dan korupsi. Hasil munsyawarah menetapkan dua calon. Calon yang ditetapkan adalah calon yang tidak bersedia tadi. Saya menawarkan pemilihan tertutup atau pemilihan terbuka, ternyata, peserta menginginkan yang terbuka, dengan cara mengangkat tangan, tanda contreng telah dilakukan. Bukan tanda menyerah.

Kenapa mengangkat tangan, biar ketahuan siapa yang memilih calon ini dan itu. Alasannya, dengan ketahuan orang yang memilih, maka pilihannya bisa dia pertanggungjawabkan. Bagi saya inilah demokrasi yang jantan dan jujur, tanpa lobi dan potensi money politik.

Bapak Zamzam, SH yang seorang pengacara, adalah calon pertama. Calon lainnya, Bapak Drs. Muhammad Nurung, seorang guru Madrasah Aliyah. kedua-duanya adalah mantan pengurus periode lalu. Pak Zamzam adalah mantan wakil ketua, dan Pak Nurung Sekretaris. dibukalah sesi pemilihan antara pengacara dan guru ini.

Ternyata, calon pertama memilih calon ke dua, demikian sebaliknya. Masing-masing calon tidak memilih dirinya sendiri. Sesama calon saling menghargai. Adapun peserta, cenderung memilih Bapak pengacara itu untuk menjadi ketua mereka yang baru. Jumlah angkat tangan jamaah, lebih banyak ke sang pengacara. saya sendiri memilih abstain, untuk menjaga netralitas saya sebagai penyelenggara pemilihan. (he he he)

Jikalau pembaca melihat kelihaian pengacara membela koruptor di tivi, pasti menurut Anda tidak ada diantara mereka yang layak jadi ketua Masjid. Jangankan pengacara koruptor, saya pun jengah dengan pengacara perceraian artis. Di Masjid saya lain, pengacaralah yang dipilih jadi ketua Masjid. Tentu, pengacara ini bukanlah seperti yang biasa kita lihat di tivi. Bapak Zamzam SH ini, adalah pengacara local yang terkenal, tetapi juga amanah dalam menjalankan profesinya.

Usai pemilihan ketua, maka dipilihlah pengurus-pengurusnya. Semua yang ditunjuk oleh ketua juga tidak boleh menolak. Terpilihlah saya sebagai wakil sekretaris, tanpa boleh menyatakan siap atau tidak siap. Menjadi sekretaris di masjid, sebenarnya tidak lebih sebagai juru ketik. Karena saya wakil sekretaris, maka saya ini wakil juru ketik. Apapun yang akan diketik, maka saya siap mewakili.

Bantaeng, 25 Juni 2011

Tulisan ini pernah di muat di kompasiana.com