24 November 2010

Bank dalam citra “Rentenir Resmi”; Berbagi Kesan Traumatik

Kenapa saya tidak menabung di Bank Syariah hingga kini. Pertanyaan yang aneh untuk diriku yang seorang muslim, dan juga sementara membangun usaha kecil. Saya jelas membenci riba, tetapi tetap saja menabung di bank konvensional. Sekedar bocoran, sebenarnya saya tidaklah “menabung”. Saya hanya sekedar menyimpan uang dengan aman untuk sementara waktu, sebelum saya cepat-cepat akan menariknya kembali. Di Bank tentu lebih aman daripada di rumah. Hanya itu alasanku menyimpan uang di bank. Bukan menabung dalam arti yang sebenarnya.

Kenapa sementara ? karena paling lama sebulan kemudian uang itu ludes, untuk kebutuhan rumah tangga. Kalau berlebih, kaena kebetulan dapat rejeki noplok, saya lebih memilih investasi dengan membeli emas, tanah atau menambah modal usaha apotik kecil saya. dari awal, memang saya sudah apriori dengan Bank. Kira-kira semenjak saya diajari menabung di bank waktu SMP.

Sebelum saya mengagumi system perbankan syariah, Perlu rasanya saya menghamburkan rasa jengah ini terhadap bank konvensional. ‘makan bunga’ atau riba itulah yang tersimpan dibenakku terhadap bank. Karena saya tidak pernah menabung (menyimpan) lebih dari 10 juta rupiah, paling banter 5 jutaan, maka saya justru merasa jikalau uang sedikit disimpan di bank, malahan semakin berkurang. Ini pengalaman dan tentang pengetahuan minim saya tentang system perbankan.

Bunga tetap ada, tetapi biaya administrasi akan memotongnya ketika uang tabungan tidak bertambah. Apalagi kalau hanya penabung berjumlah kecil seperti saya ini. Nasabah akan dibebani biaya administrasi bulanan, pemindah bukuan, penutupan rekening, transaksi pengambilan, penyetoran di atas jumlah tertentu, kalau buku tabungan atau kartu ATM hilang, juga akan dikenakan pergantian. Ada juga pajak. Ini yang tercantum dalam buku tabunganku di tahun 2007 lalu. Segalah biaya yang dibebankan ke nasabah itu, tidak dicantumkan besaran jumlahnya dalam ketentuan umum buku tabungan.

Nah, apalagi yang membuat saya tertarik ‘menyimpan’ uang di Bank?. Iya, karena saya mengambil kredit usaha darinya. Tentu bukan bank yang memberi bunga kepada saya. tetapi justru saya yang memberinya bunga. Saya berbagi hasil dengan bank,dari keuntungan usaha. Bukan bank yang berbagi hasil dengan saya. Kenapa saya melakukan hal yang merugikan ini?,

Yah, karena hanya Bank yang bisa menjamin perkembangan modal saya. Lebih baik saya meminjam di bank dari pada rentenir, walau sebenarnya bank konvensional juga rentenir ‘resmi’ jikalau dilihat dari defenisi rentenir secara awam. Riba atau membungakan uang. Jadi alasan lain saya menyimpan uang di bank agar penagih bank tidak datang ke rumah menagih kredit. Langsung potong saja. Tiap pertengahan bulan, uang persiapan penagihan berikutnya, kembali saya tambahkan. Dengan cara ini, saya tidak perlu malu sama tetangga, kalau datang penagih yang tentu muka para penagih, Anda sudah paham semua. He he he


Lantas, bagaimana persepsi saya tentang Bak Syariah. Persepsi, sebelum saya memahami betul prinsip pengelolaan bagi hasil system syariah. Cerita traumanya seperti ini, ditahun 2005 lalu, saya membantu seorang sahabat mengurus kredit di koperasi yang mengklaim dirinya syariah. Patut dicatat, Koperasi, bukan bank. Pinjamannya hanya berkisar lima Jutaan. Apa yang terjadi?, peminjam tersebut harus dipotong berbagai pembiayaan. Dan juga disyaratkan menabung di koperasi itu (tidak boleh diambil). Jadilah uang kredit yang diterima hanya sekitar tiga jutaan.

Berselang berapa lama, Iapun tersiksa dengan pengembalian kredit karena usahanya macet. Terus diburu-buru penagih dan uang tabungannya tidak bisa lagi dia ambil. Entah bagaimana aturan sebenarnya. Saya tidak tahu, tetapi yang pasti saya melihat kawan saya itu kelabakan. Waktu itu saya ambil kesimpulan, semua pemberi kredit itu sama. Baik syariah ataupun konvensional.

Sampai saat tulisan ini dibuat, saya belum menabung di Bank Syariah. Tetapi keinginan itu sudah saya pendam sejak setahun yang lalu. Kini, setelah saya membaca beberapa tulisan tentang keunggulan Bank Syariah, saya semakin tertarik. Untuk mengetahui lebih dalam tentang perbankan syariah ini perlu diketahui dulu sejarah dan perkembangannya, agar seperti saya ini tidak salah mengambil kesimpulan, karena hanya berdasar pada apriori dan kesan traumatik pada koperasi (yang sebenarnya) hanya berkedok syariah untuk menarik nasabah.

Kini saya sudah dapat membedakan antara bank konvensional dengan bank syariah. Dimana letak perbedaannya ada pada pembagian hasil. Satu berbagi untung berdasarkan bunga dan satunya lagi berdasarkan imbalan bagi hasil (mudharabah). Tentu banyak lagi keuntungan lainnya, tetapi saya hanya ingin meretas pengetahuanku berdasarkan pengalaman salah kaprah tentang bank syariah dan konvensional.

Sangat jelas, bahwa bank syariah mengadopsi hukum ekonomi Islam dalam penerapannya. Kini bertebaran perbankan syaraiah di Indonesia, yang pada awalnya dipelopori oleh Bank Muamalat atas prakarsa MUI dan Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia pada tahun 1991. Eksistensi keberadaan bank syariah semakin bertambah kuat dengan hadirnya paying hukum berupa UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, yang memberi ruang luas bagi perkembangan bagi perbankan syariah.

Luar biasa, hingga tahun 2007 terdapat 3 institusi bank syariah di Indonesia yaitu Bank Muamalat Indonesia, Bank Syariah Mandiri dan Bank Mega Syariah. Sementara itu bank umum yang telah memiliki unit usaha syariah adalah 19 bank diantaranya merupakan bank besar seperti Bank Negara Indonesia (Persero), Bank Rakyat Indonesia (Persero)dan Bank swasta nasional: Bank Tabungan Pensiunan Nasional (Tbk). Sistem syariah juga telah digunakan oleh Bank Perkreditan Rakyat, setidaknya saat ini telah berkembang kurang lebih 104 BPR Syariah.

Nah, berdasarkan pengalaman traumatik saya di masa lalu, yang kemudian menyebarkan trauma itu disekeliling saya, maka telah menjadi iklan yang sesat bagi siapapun yang ingin berniaga sesuai prinsip muamalah. Menjadi penebar citra manfaat bank syariah harus dimulai dari kini. Dari diri sendiri. termasuk saya, yang telah salah kaprah dan ogah setelah itu, mengetahui informasinya lebih lanjut. Itulah trauma informasi, dan perlu kini terus disosialisasikan manfaat bank syariah untuk menegakkan prinsip Islam dalam bermuamalah. Prinsip Rahmatan Lil alamin.


Banteng, 25 Nopember 2010

Sumber Gambar: Di SINI dan Di SINI


22 November 2010

Dicekik Tugas Sekolah

Ini tentang cerewet, yang biasanya dituduhkan dikalangan para mamak. Cerewet tentang anaknya yang pintar, nakal, lucu, jahil, imut, mimisan, ingusan, cacingan dan banyak lagi jenis cerita cerewet tentang anak yang selalu tiada habisnya di ceritrakan. Karena anak adalah buah hati, permata jiwa, jagoan kecil, bocah usil, maka selalu saja para mamak seolah tak berkoma ketika mengulasnya dengan penuh kebanggaan. Kini saya, Si Ayah yang mau berperan cerewet. Bagaimana rasanya yah?

Seperti datang bulan. Bawaannya ngomel melulu, banyak protes. Saya, Si Ayah hanya ingin mengambil satu bawaan datang bulan ini. banyak protes. Protes cerewetnya tidak tanggung-tanggung. Mulai dari masalah buku pelajaran, Pekerjaaan Rumah yang berjubel pelik, waktu bermain sampai pada hal kebodohan si Ayah sendiri waktu bersekolah dulu. Nah, siap-siaplah membaca tulisan protes cerewet nan panjang ini.

Suatu malam, saya jadi o’ot kelimpungan. Tugas rumah Tira putri kecilku yang baru kelas IV Sekolah Dasar, tak mampu saya jawab. Wajar, Matematika adalah pelajaran ‘mematikan’ bagiku waktu bersekolah dulu. Mistar kayu Pak Guru selalu saja mencecar (maaf) pantatku ketika saya kesulitan menjawab soal perkalian. Ketika itu, saya berada di tingkat kelas yang sama dengan putriku kini. Setelah kucermati soalnya. Ternyata, pelajaran seperti itu seolah pernah saya pelajari sewaktu SMP dulu. Wah, zaman telah berubah pelajaran pun semakin sulit. Setidaknya bagi saya.

Untuk membuang rasa malu, sayapun menanyakan dimana buku cetaknya Ia simpan, mungkin ada contoh di sana yang bisa dicontek.

Tidak ada Ayah, Kata Ibu guruku, bukunya belum datang

Kenapa Nak ?. Kan, bukunya sudah di bayar…!?.

Keadaan bertambah pelik. Saya heran, kenapa bukunya belum ada. Konfirmasi ibunya, buku itu sudah dibayar sejak awal semester. Ternyata pengadaan buku di sekolah nya seperti ditender. Mungkin biar seragam. Sebenarnya bagus, tetapi jangan dong beri PR sulit kalau bukunya belum ada. Memang ada catatan sekolah dari Tira, tetapi tetap saja tidak cukup membuat ayah o’ot ini paham. Tulisannya kecil, demikian alasanku sama si kecil. Alasan dibuat-buat.

Sebelum tulisan ini di buat, buku itu sudah ada. Saya sudah membelikannya minggu lalu, biar saja uang itu ‘mati’ dan biar saja bukunya dobel, satu untuk saya. Ternyata bukunya yang sudah dibayar itu belum ada sampai saat PR itu menyulitkanku. Mungkin penerima proyek buku itu ngacir, saya yang jadi korban. Sebenarnya sudah ada sebagian teman Tira yang mendapatkannya.

Sebelumnya, memang Ibunya yang biasa membantu menjawab soal-soal PR matematika. Ibu anakku, yang juga kekasihku itu memang jago matematika. Tentang matematika, Saya hanya pemeran pengganti. PR favoritku, sebenarnya IPS dan Bahasa. Tetapi bukan Bahasa Inggris. Bahasa itu, sedikit saya benci. Membuat lidah jadi berpilin saja.

Eits tunggu dulu, jangan berhenti membaca. Tulisan selanjutnya adalah inti pesannya.

*****

Kini, biaya pendidikan memang sudah murah. Iklan kampanyenya berkalimat, Pendidikan Gratis. Program ini ditelorkan Gubernur Sulawesi Selatan Syahrul Yasin Limpo saat kampanye Pilkada Gubernur tahun 2007 lalu. Satu tekad Pak Syahrul, bahwa tak ada lagi anak tidak bersekolah hanya karena alasan biaya. Program yang luar biasa. Wajar saja, Beliau memenangkan Pilkada waktu itu, walau dengan selisih yang sangat tipis.

Gratis yang dimaksud, tidak semuanya. Buku, pakaian dan uang komite sekolah adalah pengecualian. Buku sebenarnya tidak mahal. Bukan itu yang membuatku protes. Muasal protesku cuma satu, kenapa saya tidak tahu menjawab PR matematika anak SD itu. Sebenarnya saya masih mau protes tentang kenapa buku diganti tiap semester, dan kenapa tidak pinjam saja ke kakak kelasnya seperti saya dulu. Saya berhenti protes karena khawatir saja, gurunya membaca tulisan cerewet ini. he-he-he

Selain buku, memang beban belajar anak sekarang berat. Tira, kebanyakan bertemu dengan saya menjelang magrib. Tira pulang sekolah pukul 13.00, Saya ‘tutup toko’ pukul 16.00, ibunya balik kantor pukul 14.00. Tira harus mengaji, les bahasa Inggris, latihan pramuka, atau kerja kelompok pukul 15.00. dan balik pukul 17.00. Saya dan ibunya terpaksa meminta tante nya untuk antar jemput, termasuk menjemput Tari si Bungsu yang masih TK. Praktis hanya sejam waktunya bermain, dan kadang putri kesayangan kami itu tidak menggunakannya bermain, karena tertidur kecapaian. Tidur sore sebenarnya tidak sehat, tetapi kami tidak tega melarangnya.

Setelah magrib, adalagi PR yang harus dikerjakan. Biasanya tidak hanya satu. Pernah saya mendapatkan ada tiga mata pelajaran yang harus dikerjakan bersamaan di rumah. Bahkan kadang ada tugas rumah atau kelompok berupa pekerjaan keterampilan yang PRnya di tugaskan hari Sabtu dan dikumpul hari senin. Hari minggunya pun tercerabut dari bermain bebas. Kenapa yah? apakah seabrek Les sore dan PR yang berjubel itu, mampu mendidik anak bangsa menjadi cerdas? Bagaimana dengan kurangnya waktu bermain, besosialisasi dan bersenda gurau dengan orang tuanya?. Mohon bantuannya. Mungkin saya salah.

Pernah saya menghasutnya untuk membangkang. Menolak mengerjakan PR dan tidak ikut les. Tetapi Tira membantah Ayahnya yang provokator ini. Tira sangat hormat (mungkin) takut pada gurunya. Sekolah tempatnya belajar memang favorit di kabupatenku. Anakku itu rangking 16 semester lalu. Saya sempat meledek protes. Karena waktu kelas IV dulu saya rangking II. Setelah melihat rapornya, saya malu sendiri, ternyata tidak ada angkanya yang bernilai 7. Hanya tiga angka 8, dan lainnya angka 9 atau 10. Sementara saya dulu, rangking II karena mendapat nilai rata-rata 8. Pasti yang rangking I di sekolahnya, rata-rata 10. Jadi malu deh.

Oke, sampai di sini, Anda boleh berhenti membaca.

Judul di atas, dicomot dari profil kompasianer bertalenta hebat Azalleaislin

Salam dari Ayah Cerewet: Daeng Andi

Bantaeng, 22 November 2010