06 Oktober 2009

KAMI RINDU BAPAK KAMI YANG ORDE BARU

“Karena ada hati yang tertambat,dan karena manusia memiliki identitas maka Mudik itu perlu” (Status di dinding FB ku tertanggal 13 September 2009, sehari sebelum mudik)

Dari sebuah kota kecil dan indah tempatku kini bekerja sebagai abdi Negara, kutempuh Kurang lebih 200 Kilometer menuju tambatan hati tempat kelahiranku di kampung Lita. Se sampai di rumah, Bunda yang aku panggil Ummi menyambutku dengan sumringah. Nampak betul wajah demikian bahagia terpancar di mukanya, yang walau sudah terlihat ada keriput masih nampak jelas goresan-goresan kecantikannya di 30 tahun yang lalu.

Kini umurnya 54 Tahun, namun beliau masih kuat tiap hari mengurus ayam dan itik peliharaannya. Beliau juga rutin datang berjamaah di Masjid kampung kami disetiap azan memanggilnya, serta men tadarrus mushab Al Qur’anya yang pada Pemilu tahun 1999 lalu, ada Calon Legislaif yang menghadiahkannya.

Kujabat tangannya, kucium dan tak sabar aku cepat membuka kantongan baju lebaran buatnya yang aku beli di Jakarta dua bulan lalu. Iya, aku membelinya di Jakarta, karena itu walau kualitas dan harganya sama dengan pakaian di Pasar Butung-rasanya pasti menjadi berbeda ketika itu dibeli di Jakarta, karena ada sebab kenapa anak Bunda membeli di Jakarta serta ada cerita yang membanggakan, minimal bagi Bunda dan orang-orang di kampung yang berdecak kagum akan cerita asal muasal baju itu. Bagiku pun demikian, aku bangga telah mampu membelikan beliau baju, setelah puluhan tahun tak terhitung pakaian yang Bunda belikan dan Beliau tak pernah membanggakannya. Aku harus memberinya sekarang, aku tidak mau menunggu, telah lama baju ini kusimpan dan aku harus memberinya langsung setelah kucium tangannya, yang karena Doa’nya anaknya yang goblok ini telah dianggap sukses dalam ukuran orang-orang yang sudah memakan gaji negara. “Nak, bukan karena harganya, tetapi ini adalah tanda bahwa anakku telah berhasil”, kata Bunda ketika aku berbasa-basi berkenaan dengan harga baju hadiahku yang tidak mahal dan tak sebanding dengan apa yang belia pernah berikan padaku itu.

Sukses bagi mereka, tetapi bagiku tak lebih sebagai buah doa yang tak lepas dipanjatkan di shalat tahujjud Bunda kami yang bersahaja. Aku rindu, sungguh sangat rindu. Melihatnya, terasa aku memiliki identitas. Identitas anak kampung yang lahir tidak karena bantuan perawat kesehatan. Tumbuh besar tidak karena susu ‘sapi’ formula, tetapi beras dari sawah kami sendiri dan dedaunan sayur yang dipetik di halaman rumah panggung kami. Bahkan, maaf sepupuku kusaksikan dikhitam dengan sangat sadis dengan pisau cahile bambu yang diraut tajam oleh puang guru, yang seandainya aku tidak melarikan diri dan bersembunyi hingga magrib saat itu, aku pun akan mengalami hal yang sama. Seandainya di saat sekarang aku masih bocah dan dia juga akan melakukannya padaku, tentu akan kulaporkan ke komisi Hak Azasi Manusia. Bukan apa-apa, dua minggu orang tersiksa berjalan ngangkang dan pastinya begitu menderita karenanya.

***

Ummi masih saja sederhana. Hidupnya, beliau jalani sendiri dengan damai. Duka karena berpulangnya seorang kepala desa sebelas tahun yang lalu, ayah dari kami tujuh bersaudara dari dua Ibu yang mulia. Ibu yang mencintai kami layaknya anak yang lahir dari dua ibu tapi satu rahim yang sama. Kerinduan akan hadirnya sosok penuh wibawa, keras khas Orde Baru dan bijaksana saat menyelesaikan sengketa tanah, perceraian dan penentuan jadwal turun menanam dan pesta panen kembali menyayat kerinduan hati kami disaat lebaran menjelang. Biasanya beliaulah yang di panggil Petta Desa, memberi sambutan di Masjid sebelum khutbah Id dibacakan Puang Guru, anak yang menggantikan Puang Guru sebelumnya yang penah bernafsu mengkhitamku itu. Khutbahnya dalam bahasa lontara Bugis. Saya tahu betul ketika khutbah lebaran akan dibacakan, saya dan mungkin jamaah yang lain pasti akan bergumam dalam hati “pasti salah tanggal”. Gumam yang sudah mendekati keluhan itu beralasan, soalnya apa yang dibacakan khatib tidak pernah berubah isinya dari Kakek, ke Bapak dan kini ke anaknya, turun-temurun. Hanya tanggalnya saja yang berubah dan terkadang itupun salah.

Payah, tapi kami tidak mau protes karena Bapak yang adalah kepala desa disegani itu selalu saja mempercayai Puang Guru yang tidak inovatif itu, seluruh warga desa tidak ada yang berani protes termasuk saya. Nanti setelah beliau meninggal, barulah ada perubahan setelah Kakak tertua kami, sarjana Ilmu Pemerintahan menggantikan Ayah menjadi Kepala Desa. Kakak waktu itu tidak mau jadi Kepala Desa. Apa daya, tradisi turun temuran yang nepotism di era reformasi itu masih berlaku mutlak di desa kami. Pemilihan Kepala Desa sebagai amanat UU No 23 tahun 1999 tentang pemerintahan Daerah kemudian digelar dengan rival tanding yang dipaksakan. Hasil pemilihan, hanya menyisahkan 7 suara yang memilih pesaingnya. Anehnya lagi, pesaingnya justru minta maaf mengapa suaranya bisa sebanyak itu. Yah, sekali lagi inilah demokrasi ala desaku yang juga kini menjadi identitasku. Nasib Puang Guru pun berubah. Beliau lengser dari podium pada lebaran-lebaran selanjutnya. Beruntung beliau, karena indah alunan suaranya dalam melafalzkan ayat-ayat Suci, menjadikan beliau tidak ada yang percaya diri menggantikannya sebagai Imam. Adapun yang menjadi kahatib sudah berganti-ganti karena sudah beberapa anak muda kampung kami telah disekolahkan dan beberapa diantaranya telah mengecap dunia pesantren, setelah sekian tahun lamanya hanya saya dan kakak saya yang menikmati bangku kuliah dan hanya adik saya dan salah seorang anak pedagang yang mampu bersekolah di tingkat SLTA. Jangan Tanya, berapa PNS di kampung kami. Sampai saat ini tidak ada sama sekali.

***

Kini, desa kami telah berubah banyak. Puluhan tahun lalu, warga desa yang hanya menikmati penerangan di malam hari dengan pelita minyak kemiri atau minyak tanah yang membuat hidung kami menghitam karena jelaganya, kini telah berganti bohlan lampu neon dari pembangkit listrik tenaga surya. Genset juga sudah ada sebagai penopang penguat daya yang dikelola masyarakat secara swadaya. Gosip Ibu-ibu tidak lagi hanya persoalan pendapatan anak-anak mereka sebagai TKI di Malaysia dan Arab Saudi tetapi sudah beralih pada alur cerita sinetron Cinta Fitri dan Isabella. Muda-mudi tak kalah serunya, ia sudah mampu memprediksi siapa pemenang KDI dan AFI. Bahkan berusaha mendukung idolanya dengan sms dengan singnal yang timbul tenggelam. Maklum, kampung kami yang terletak di daerah lembah dari pegunungan yang mengapitnya tidak memungkinkan peralatan komunikasi berfungsi baik untung ada anten penguat signal yang diadakan oleh adik saya yang lulusan STM itu. Kini dia berprofesi sebagai pedagang hasil Bumi Kemiri, kacang tanah dan beras. Termasuk makelar pengadaan antene, karena kehendak untuk TKI di Jepang tak kesampaian.

Air yang pada musim kemarau harus ditempuh mendaki 4 kilometer untuk menuju sember air di kaki gunung kini telah diganti dengan pipanisasi air bersih. Jalanan sudah pengerasan dan tidak lagi berlubang-lubang di musim kemarau dan berlumpur di musim hujan . Sewaktu masih SMA, jikalau liburan dan musim hujan tiba, terkadang aku harus menunggu di pinggiran sungai yang membatasi kampung kami dengan kampung sebelah selama dua hari. Derasnya air sungai tidak memungkinkan saya untuk bisa menyeberang. Kini jembatan sudah terbangun. Irigasi untuk mengaliri sawah-sawah juga sementara dibangun. Tak terasa itu hanya dimulai 6 tahun lalu, dan kini sudah dinikmati. Mungkin itulah bedanya Kepala Desa Orde Baru yang berpikiran ortodoks seperti Bapak saya dan Kepala Desa Reformasi yang masih muda seperti kakak saya. Kakak saya berumur 27 tahun ketika menjabat sebagai kepala desa.

***

Berbagai perubahan telah terjadi, yang tidak berubah hanyalah hasil dari mekanisme pemilihan Kepala Desa. Setelah Kakak terpilih sebagai Legislator Kabupaten dengan suara terbanyak di Partainya. Pemilihan kembali digelar sebelum Pemilu Legislatif 2009 lalu dilaksanakan. Karena tidak ada yang mau jadi kepala desa, terpaksa Istri dari kakak saya bertarung dengan mantan kepala desa yang juga suaminya. Aneh, dan ternyata hasilnya dimenangkan oleh istrinya. Sang Suami hanya mendapatkan 11 suara. Persis sama dengan angka pada urutan nomor Calegnya. Sekali lagi ini bukan sesuatu yang direkayasa dari kami, tapi rakyatlah yang memodifikasinya. Sungguh demokrasi di desa kami kacau buaanget.

Semua berubah, namun Ummi masih tetap bersahaja. Tidak berubah. Anggota DPRD baginya mungkin hanya dianggapnya sebagai pekerjaan biasa. Yah, mirip-miriplah PNS. PNS juga tidak beliau banggakan. Sebenarnya Ummi kami dulunya adalah seorang PNS Guru Agama yang harus mengundurkan diri sebelum bertugas karena diminta Etta untuk mundur dan memilih mengiikutinya sebagai Kepala Desa dan mendidik anak-anaknya yang nakal. Ummi malahan menganjurkan kami untuk berdagang saja supaya bisa membawanya ke tanah suci. Soalnya pedagang di desa kami adalah yang memonopoli status haji, dan beliau sampai saat ini belum mampu kami hadirkan untuk memenuhi panggilan Allah untuk berhaji. Salaamu Alaika Ya Rasul, Rindu kami berziarah ke Makam mu, Tetapi bahkan Ibu tua yang pemberiannya tak pernah ingin berbalas, belum mampu kami penuhi kerinduannya. Semoga Allah menyatukan potensi kami, dan air zam-zam dapat kami nikmati langsung dari tangan Bunda yang di dada sanubari kami bersaudara, terpahat abadi kemuliaan namanya.

Catatan ini adalah realita yang sedikit di bungkus dengan kesan hiperbola, hanya untuk menggabarkan santai, cinta sang Bunda, kesan disaat mudik, demokrasi yang kacau dan sisi perubahan di sebuah desa kecil di daratan tertinggi Kabupaten Bone. Desa yang terletak di daerah perbatasan kabupaten Gowa, Maros dan Sinjai. Terpencil, bergunung dan sangat dingin. Itulah kampung kami, tempat kami sekeluarga bersenda gurau di saat mudik. Maka benarlah bahwa Surga itu ada di telapak kaki Ibu, Energi untuk berubah lebih penting dari perubahan itu sendiri dan Demokrasi itu tidaklah berlaku universal

AKU TAK MALU IBU KU PENJUAL MADU

Bunda menelponku, beliau menelpon anaknya untuk menyapa dan memberi tahuku bahwa Ia akan ke kota untuk menemui Bibiku, yang adalah saudara tertua Ibuku. Dari seberang sana, kampungku yang berjarak sekitar 200 km dari rantau kota kecilku saat ini, kudengar suara bersahajanya yang selalu aku rindu disetiap saat, setiap hari, usai kupanjatkan doa buatnya di sujud terakhirku , di shalat magrib ku.

Nak, bagaimana kabarmu. Saya akan menemui Puang Ros mu di Palattae”, ujar Bunda di balik telepon selularnya yang seharga tiga ratus ribu itu, beliau beli bulan lalu dari gaji pensiun jandanya. Saya hanya membalas singkat dan mengatakan kabarku, cukup dengan mengucapkan hamdalah, pertanda kabarku baik dan tak perlu dikhawatirkan oleh beliau.

saya mau membawakan madu buat Puang Ros mu, sekarang musim madu, saya membelinya seharga Rp. 40.000 per botol dan rencana akan kujual Rp. 50.000” ujarnya menambahkan. Aku mendengar saja penjelasannya yang begitu bersemangat, dan sesekali kutimpali dengan perbincangan-perbincangan ringan. Dalam hatiku ada sesuatu yang miris, sedih tetapi sangat bangga. Bunda yang kini sudah janda dan cukup tua, memiliki tiga putra yang sudah mampu membantunya setiap saat beliau memintanya, memiliki gaji pensiun janda dari almarhum Ayahku yang cukup buat dirinya sendiri, bahkan Beliau telah melahirkan diriku yang sekarang digaji oleh Negara setara eselon II sebagai pejabat Negara kontrakan (baca adhock), Kakakku yang tertua adalah anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang terhormat dan adikku adalah pedagang hasil bumi yang terbilang sukses di kampung. Belum lagi menantunya adalah Kepala Desa, yang tentu adalah numbere uno di desaku.

Beliau tetap saja seperti dulu. Tetap mandiri dan tidak ingin bergantung kepada siapapun, termasuk kepada anak kandung yang telah ia besarkan dengan susah payah dengan kondisinya saat itu yang sangat tidak cukup. Kini setelah anak-anaknya berkecukupan, tetap saja beliau tidak pernah berhenti berjuang. Saat musim madu tiba seperti di kemarau saat ini, beliau mengumpulkan madu dari para petani untuk dijualnya. Ketika musim panen, aku dan saudaraku yang lain tak mampu menghalanginya ketika beliau turun ke sawahnya tetangga untuk turut memanen dengan harapan mendapat upah yang tak seberapa, saat masa bertanam tiba, itiknya sudah bertelur banyak dan beliau menjualnya di pasar. Demikian pula beliau tidak pernah berhenti pada saat hari pasar untuk menjual gula merahnya di desa tetangga. Beliau berjalan kaki usai menjalankan shalat subuh sejauh 4 kilometer dari desaku.

Ummi, ini untuk siapa. Mintalah kepada kami kalo Ummi membutuhkan uang belanja” kataku suatu ketika. Air mataku berlinang saat itu, ketika kulihat bundaku pulang dari pasar dengan peluh yang mengucur dari rambutnya yang sudah mulai beruban. Sama sekali tak kulihat wajah lelah di mukanya. Beliau hanya tersenyum kemudian menjawab dengan sederhana.

Saya senang kalau ada yang saya kerja, walau untungnya tipis saya bisa membeli barang yang saya butuhkan”.

Kalau anakku mau memberiku uang saya pun bahagia, karena itu berbeda dengan untungku menjual gula merah dan madu

Sungguh, akupun tidak tahu itu semua untuk siapa. Beliau tidak ingin dilarang, Ummi panggilanku kepadanya, pernah mengatakan bahwa aktifitasnya kini tak lebih sebagai hiburan, karena katanya kami semua anak-anaknya sudah mampu dan tak lagi perlu beliau biayai. Dulu beliau berdagang untuk sekolah kami, untuk dapur yang harus selalu mengepul dan untuk harga diri bahwa meminta itu adalah mentalitas pengemis yang memalukan.

Sedapatnya kalian memberi jikalau nanti sudah mampu berusaha, sangat memalukan orang yang meminta-minta pada orang lain. Biarpun itu adalah keluarganya sendiri. Belum lagi jikalau harus berutang. Memalukan !” Itu kata pamungkasnya setiap saat beliau menasehati kami yang goblok ini tentang keharusan berusaha sekuat tenaga untuk menghidupi diri sendiri dan keluarga. Ternyata kini, prinsipnya tentang berdiri di atas kaki sendiri masih beliau pegang teguh. Bukan beliau tidak berharap bantuan dari anak-anaknya, beliau bahkan sangat bahagia ketika sebahagian gaji pertamaku kuserahkan padanya. Ketika kuberikan saat itu, beliau hanya tersenyum kemudian diam. Aku tahu ada yang ingin diungkapkan, tapi Emmi tak mampu. Beliau kemudian masuk kamar, sejenak kemudian beliau keluar dan nampak betul Emmi barusan menyeka air matanya. Air mata haru bahagia, anaknya kini sudah mampu memberinya uang setelah hampir lebih dari 20 tahun Ia membiayainya dari gaji PNS ayahku dan tambahan laba jualan darinya.

Bunda, sungguh mulia hatimu. Wajar jikalau setiap hari kami anak-anakmu merindukanmu. Tulus Do’a mu, dan ikhlas ikhtiarmu kini menjadikan kami sesuatu yang mungkin diharapkan oleh banyak Ibu sepertimu. Engkau tidak pernah menampakkan kebanggaan kasat mata terhadap kami, Bundapun hanya meminta jikalau untuk sekolahnya si Bungsu di SLTA yang sangat nakal itu membutuhkan tambahan biaya. Hidup sederhana dan bekerja keras, ternyata masih Bunda tampakkan. Bahkan ketika saat ini harusnya beliau tak bekerja lagi. Ada makna yang tersirat bagi kami, bahwa Bunda kami yang sangat bersahaja ini, tak ingin menyia-nyiakan waktunya sedetikpun tanpa sesuatu yang bermanfaat. Beliau ingin mengajarkan, bahwa usia bukan alasan untuk berhenti karena kematian adalah penutup segalanya.

Walau Engkau pernah mengajarkan bahwa janganlah meminta kepada Allah agar umurmu di perpanjang, karena itu berarti kau tidak bersyukur dan takut mati, saya ingin mengabaikan nasehatmu ini Bunda. Aku sangat ingin melihat bunda Hidup terus sepanjang diri ini masih dikaruniai nafas oleh Sang Khalik. Yang Allah, panjangkan umur Ibu ku yang mencintaiku dan memberi tanpa berharap terbalas, kasihani beliau, curahkan lah rahmatmu agar surga di telapak kakinya untuk kami anak-anaknya beliau dapatkan ketika ia menghadap di keharibaan Mu.

Ummi, aku pesan 10 botol madu dan 30 biji gula merah, datanglah ke rumahku, ongkos transport saya tanggung, termasuk biaya pembuatan gigi palsu ta. he…he….” Aku menutup pembicaraan dengan salam, setelah sebelumnya aku memintanya menjaga kesehatan. Aku berpikir setelah nya, untuk apa madu dan gula merah sebanyak itu, akh yang penting aku berusaha menyenangkannya.

Sudah mi Pale dih Nak, walaikum musalam…….”. tinggallah saya merenung di kantorku, setelah berbincang sejenak dengan beliau siang itu. Ya Allah, berilah semua anak di dunia ini seperti kesejahaan, cinta dan kemadirian yang dimiliki Ibuku. Jadikan mereka berbangga dengan ibu yang membaluti kesehariannya dengan cinta tak berbatas terhadap anak-anak yang dilahirkannya. Hukumlah mereka yang tak menghargai Ibunya. Hukuman yang sekeras-kerasnya. Ibu, tak ada bahasa yang mampu mewakili rasa hormat dan cintaku buatmu.

Bantaeng, 5 Oktober 2008

Catatan ini, adalah cerita seseorang yang demikian mencintai Ibunya dan selalu menjemput hikmah dari kejadian-kejadian kecil. Menceritakan sesuatu yang baik, memang tidak perlu menampilkan keburukannya. Biarkan yang baik-baik itu tampil sebagai wasilah bagi yang membacanya agar lebih baik. Belum terlambat, kita mencinta Ibu kita. Lebi Cepa’ Lebi Bae’. jikapun beliau telah tiada Doa dan mencintai orang-orang terdekat semasa hidupnya adalah sesuatu yang diajarkan Rasulullah untuk berbakti kepada orang tua, bahkan ketika beliapun telah berpulang.

25 Agustus 2009

KEBAHAGIAAN HANYA AKAN BERARTI JIKALAU DIBAGI

(Cengkrama Sang Bapak Bersama dua Putri Kecilnya)
Disekelilingku ada dua putri kecilku yang lagi ceriah nikmati milo dingin, juice jeruk dan sepiring ba'wang. Sepulang dari kantor, aku membawanya ke pantai. Aku hanya ingin membayar hak mereka sebagai anak yang harus diberi ruang bermain dengan ayahnya. Kesibukan ku kini, membuatku kehilangan waktu bersenda gurau dengan mereka, kini aku telah membayarnya pada kesempatan yang pertama. Mungkin karena aku demikian seringnya bercengkerama dengan orang yang tak sebaya dengan dua putri kecilku, aku sulit menemukan kata untuk berdialog dengan mereka. Aku melamun saja sambil memandangi lepas pantai yang mulai surut hingga kelihatan bebatuan kecil pecahan karangnya. Hari itu, langit di Barat sudah menampakkan wajah kemerah-merahan, tanda senja sebentar lagi akan berakhir menjelma malam.

Indahnya paduan lautan, gunung dan kota yang dipandang di tepian Pantai Seruni telah menghanyutkan lamunanku jauh ke tengah gelora masa silam. Irama sepoinya angin laut dengan panorama senja sebagai ornamennya, memberiku ketenangan yang seolah membelai jiwaku merenungi biografi hidupku di masa silam. Celoteh dan cekikikan khas si kecil di sampingku hanya terdengar sebagai music yang mengiringi benakku merenungi sesuatu yang tidak aku alami di masa kecil. Kesan traumatic, demikianlah yang selalu membekas di batinku ketika slide demi slide ditampilkan oleh bayangku di masa kini. Akh, aku tak ingin mengingatnya, karena indah hari ini terasa akan mubazir jikalau waktu terlewat dengan kenangan kelam masa lalu dan kecemasan yang tak jelas akan masa depan.

Imam Ghozali, Sang ulama tersohor ajaran spritualnya hingga kini, pernah menanyakan sesuatu kepada muridnya:, “ Apa yang paling jauh di dunia ini?”. Murid-muridnya ada yang menjawab negara Cina, bulan, matahari, dan bintang-bintang. Lalu Imam Ghozali menjelaskan bahwa semua jawaban yang mereka berikan adalah benar. Tetapi yang paling benar adalah MASA LALU. Bagaimanapun kita, apapun kendaraan kita, tetap kita tidak bisa kembali ke masa lalu. Oleh sebab itu kita harus menjaga hari ini dan hari-hari yang akan datang, dengan perbuatan yang sesuai dengan ajaran agama. Aku merasa terjewer dengan pesan bijak dan filosofis ini. Mengapa aku memikirkan sesuatu yang tak mungkin aku akan kembali kepadanya. Tidakkah kelamnya masa lalu, kini tergantikan dengan keceriahan dua putri kecilku yang kulihat sementara senang dengan mulut belepotan dengan bakwan. Bahkan si Bungsu tidak lagi peduli dengan ingus yang hampir menyentuh bibirnya dan sebentar lagi bercampur dengan apa yang akan di telangnya. Ikh, cepat kusambar tissue dan kuhalau lumeran yang tak sehat itu, sekaligus kuhalau lamunanku yang tak penting ini.

Lamunanku pun buyar dengan sebenar-benarnya, mendengar celetuk tiba-tiba si Sulung,
"Etta…Etta…, partai ku saya Gerindra", ujarnya seadanya, setelah melihat stiker partai tersebut menempel di tiang listrik milik Negara yang seharusnya menurut aturan kampanye tidak boleh dilakukan oleh Tim sukses partai tersebut, (akh, pusing amat memikirkan aturan, Itu tugas Panwaslu…). Etta, demikian anak-anakku memanggilku, khas panggilan ayah untuk manusia bugis sepertiku.
"Kenapa Gerindra Nak ?, apa itu Gerindra" tanyaku, menyidik.
"Gerindra itu burung elang Etta" jawabnya santai, sambil mengunyah bakwan nya dan sesekali ia meneguk minuman dinginnya. Wah, si kecilku ternyata sudah terpengaruh dengan iklan para politisi di tivi, benakku membatin. Si Bungsu pun menimpali, “ Ge(L)indra…Gelindra…Gelindra…., he…he…!”, Ia menirukan suara Prabowo Subianto dengan dialek yang menggelikan karena tanpa penyebutan hurup ‘R’ sesuai Ejaan Yang Disempurnakan.

Ketika aturan kampanye melarang untuk melibatkan anak-anak yang belum memiliki hak pilih, yakni tujuh belas tahun ke atas atau sudah kawin, justru dua putri kecilku melibatkan diri nya sendiri tanpa bisa siapapun menghalanginya. Saya yakin benar, bahwa di sekolahnya ia meneriakkan iklan politik di tivi ini. Teman-temannya mendengar, gurunya dan bahkan mungkin tukang kebun di sekolahnya. Keceriaan anak-anak meneriakkan yel yel Parpol tentu, tidak akan tersadari menjadi bahagian dari kampanye Parpol tertentu. Eh, kok larinya ke politik !?, aku menegur diriku sendiri dan kemudian mengalihkan tema dialog yang lebih mendidik.
“Nak, bagaimana rasanya duduk-duduk sambil minum milo dan bakwan di sini?”, tanyaku.
“Ekh…e…e…,” kayaknya, si Sulung berusaha mencari jawaban yang tepat sambil memain-mainkan bola matanya berusaha mencari jawaban dari pertanyaan sulitku. Mungkin kata Tanya: bagaimana perasaan mu, belum mampu diolah dengan baik oleh brain si kecil. Perlukah aku merubah jawabanku untuk menemukan jawaban yang memuaskan ?, ternyata tidak, mulut kecilnya kembali nyeletuk serampangan sambil berdiri setengah berteriak, dia berucap. “ Inilah hari yang terbahagia dalam hidupku…….” “Ekh”, aku tercekak, dan tawaku pun meledak membahana mengagetkan pelanggan lain disekitarku. Aku tak peduli, aku harus menikmati kelucuan luar biasa ini. Jawaban anakku pasti gara-gara ia mengutip kata-kata sinetron yang sering ia tonton dengan Ibunya.

Akh, Iklan Parpol dan Sinetron di Tivi kini membawa banyak perubahan pada si Kecilku. Aku belum bisa menebak apakah itu positif atau negative, yang pasti kami harus bijak dengan tivi yang harus ada di zaman ini dan tidak perlu dihindari. Masa lalu di waktu kecilku tentu tidak sepadan dengan masa kini yang dihadapi dua putriku. Tak perlu aku mengembalikan memoriku dan mengajarinya untuk mengikuti hidupku di masa lalu yang tentu tidak mengkin kuputar kembali. Tak mungkin pula aku mengajarinya untuk berjalan bertelanjang kaki ke sekolah sejauh 6 kilometer, nyambi menjual kue untuk tambahan jajan, dan takut bukan main sama polisi seperti yang kualami dulu. Mengajarinya tentang beratnya perjuangan bersekolah dulu justru akan membuatnya keheranan. Sekolah saat ini gratis katanya, tak mungkin aku tak membelikannya sepatu karena Ibunya seorang PNS dan tak mungkin pula kuajari mereka menjual es lilin karena pasti tidak laku disaat sekarang ini. Masa kecil bersama orang tua yang menyayangi kita adalah masa paling indah, karena itu si sulung tadi mendeklarasikan harinya sebagai hari yang paling membahagiakan dalam hidupnya. Tak kusadari, ada rasa haru yang menyelinap disanubariku. Iya, aku juga bahagia Nak. Bahagia melihatmu ceriah dan bahagia karena kita telah berbagi cerita dibalas celoteh mu. Membekas betul di diri ini bahwa memang kebahagian akan lebih berarti hanya jikalau dibagi.

Banyak orang mencari kebahagian dalam kesendirian menyenangkan kepuasan personalnya. Bahkan ada yang mencoba menemukan bahagia itu dengan gelimang harta untuk dinikmatinya sendiri, serta tahta untuk ia menjadi penguasa tunggal kewenangan. Lantas, bagaimana setelah harta itu bertumpuk sementara kita hanya makan maksimal tiga kali sehari. Apakah bahagianya ketika kita sudah kekenyangan sementara masih bayak yang tersedia untuk dimakan ?. Lantas, bagaimana setelah puncak tertinggi kekuasaan itu kita sudah dapatkan, sementara perintah kita semua telah dilaksanakan dan setelah itu kita sakit dan akhirnya mati. Sirna, Pikirku terhenti karena analisisku sendiri tak mampu aku maknai dan kulanjutkan dengan sempurna (Eh, takut tidak nyambung dengan pargraf berikutnya).

Nak, kita harus pulang. Sebentar lagi magrib akan datang dan Panggilan Azan untuk bersujud kepada Allah Yang Maha Besar, Berkuasa dan Sang Penabur Rezeki akan berkumandang di seantero kota kecil dan mungil ini. Habiskan makanan dan minumanmu, karena entah esok apakah kita akan menikmati kebahagiaan terindahmu lagi. Sesampai di rumah, shalat berjama’ah lah dengan Ibumu, karena aku akan ke masjid mendapatkan keutamaan shalat jamaah yang pahalanya berbanding 22 kali jikalau aku shalat dirumah. Tetaplah menonton sinentron untuk menambah perbendaharaan katamu setelah engkau selesai belajar untuk sekolahmu esok. Ba’da Isya aku akan mengantar tidurmu dengan kisah Fatimah Az Zahrah Putri Rasulullah yang tidak ingin menyia-nyiakan hidupnya kecuali berzikir kepada Allah. Besok malam, agenda cerita selanjutnya adalah kisah Rabiatul Al Adawiah yang dihatinya hanya ada cinta untuk Allah SWT, sampai tidak ada kebencian pada dirinya bahkan untuk membenci Syaitan sekalipun. Dan besok malamnya lagi, akan kuberikan dongeng pamungkasku tentang Nene’ Pakande, cerita rakyat turun temurun tentang nenek yang sering memakan anak kecil karena terlambat tidur gara-gara menonton sinetron. Ikh……

12 Agustus 2009

Mashuri Mashar: Ayah itu Menakjubkan



Ayah ingin anak-anaknya punya lebih banyak kesempatan daripada dirinya,
menghadapi lebih sedikit kesulitan, lebih tidak tergantung pada
siapapun - dan (tapi) selalu membutuhkan kehadirannya.

Ayah hanya menyuruhmu mengerjakan pekerjaan yang kamu sukai.
Ayah membiarkan kamu menang dalam permainan ketika kamu masih kecil,
tapi dia tidak ingin kamu membiarkannya menang ketika kamu sudah besar.
Ayah tidak ada di album foto keluarga, karena dia yang selalu memotret.
Ayah selalu tepat janji!

Dia akan memegang janjinya untuk membantu seorang teman, meskipun
ajakanmu untuk pergi memancing sebenarnya lebih menyenangkan.

Ayah selalu sedikit sedih ketika melihat anak-anaknya pergi bermain
dengan teman-teman mereka.karena dia sadar itu adalah akhir masa kecil
mereka.

Ayah mulai merencanakan hidupmu ketika tahu bahwa ibumu hamil
(mengandungmu), tapi begitu kamu lahir, ia mulai membuat revisi.
Ayah membantu membuat impianmu jadi kenyataan bahkan diapun bisa
meyakinkanmu untuk melakukan hal-hal yang mustahil, seperti mengapung
di atas air setelah ia melepaskanya.

Ayah mungkin tidak tahu jawaban segala sesuatu, tapi ia membantu kamu
mencarinya.
Ayah mungkin tampak galak di matamu, tetapi di mata teman-temanmu dia
tampak lucu dan menyayangi.
Ayah sulit menghadapi rambutnya yang mulai menipis....jadi dia
menyalahkan tukang cukurnya menggunting terlalu banyak di puncak kepala

Ayah akan selalu memelihara janggut lebatnya, meski telah memutih, agar
kau bisa "melihat" para malaikat bergelantungan di sana dan agar
kau selalu bisa mengenalinya.
Ayah selalu senang membantumu menyelesaikan PR, kecuali PR matematika terbaru.
Ayah lambat mendapat teman, tapi dia bersahabat seumur hidup
Ayah benar-benar senang membantu seseorang... tapi ia sukar meminta bantuan.

Ayah sangat senang kalau seluruh keluarga berkumpul untuk makan
malam...walaupun harus makan dalam remangnya lilin karena lampu mati.
Ayah paling tahu bagaimana mendorong ayunan cukup tinggi untuk
membuatmu senang tapi tidak takut.

Ayah akan memberimu tempat duduk terbaik dengan mengangkatmu dibahunya,
ketika pawai lewat.
Ayah tidak akan memanjakanmu ketika kamu sakit, tapi ia tidak akan
tidur semalaman. Siapa tahu kamu membutuhkannya.
Ayah menganggap orang itu harus berdiri sendiri, jadi dia tidak mau
memberitahumu apa yang harus kamu lakukan, tapi ia akan menyatakan rasa
tidak setujunya.
Ayah percaya orang harus tepat waktu. karena itu dia selalu lebih awal
menunggumu di depan rumah untuk mengantarkanmu
dihari pertama masuk sekolah

AYAH ITU MURAH HATI.....
Ia akan melupakan apa yang ia inginkan, agar bisa memberikan apa yang
kamu butuhkan.... .
Ia membiarkan orang-orangan sawahmu memakai sweater kesayangannya. ....
Ia membelikanmu lollipop merk baru yang kamu inginkan, dan ia akan
menghabiskannya kalau kamu tidak suka.....
Ia menghentikan apasaja yang sedang dikerjakannya, kalau kamu ingin
bicara...

Ia selalu berfikir dan bekerja keras untuk membayar spp mu tiap
semester, meskipun kamu tidak pernah membantunya menghitung berapa
banyak kerutan di dahinya....
Bahkan dia akan senang hati mendengarkan nasehatmu untuk menghentikan
kebiasaan merokoknya.. ..

Ayah mengangkat beban berat dari bahumu dengan merengkuhkan tangannya
disekeliling beban itu....

Ayah akan berkata ,, tanyakan saja pada ibumu"
Ketika ia ingin berkata ,,tidak"
Ayah tidak pernah marah, tetapi mukanya akan sangat merah padam ketika
anak gadisnya menginap di rumah teman tanpa izin
Dan diapun hampir tidak pernah marah, kecuali ketika anak lelakinya
kepergok menghisap rokok dikamar mandi.
Ayah mengatakan ,, tidak apa-apa mengambil sedikit resiko asal kamu
sanggup kehilangan apa yang kamu harapkan"

Pujian terbaik bagi seorang ayah adalah ketika dia melihatmu melakukan
sesuatu persis seperti caranya....
Ayah lebih bangga pada prestasimu, daripada prestasinya sendiri....

Ayah hanya akan menyalamimu ketika pertama kali kamu pergi merantau
meningalkan rumah, karena kalau dia sampai memeluk mungkin ia tidak
akan pernah bisa melepaskannya.

Ayah mengira seratus adalah tip..
Seribu adalah uang saku..
Gaji pertamamu terlalu besar untuknya...
Ayah tidak suka meneteskan air mata ....
ketika kamu lahir dan dia mendengar kamu menangis untuk pertama
kalinya,dia sangat senang sampai-sampai keluar air dari matanya

(ssst..tapi sekali lagi ini bukan menangis)

Ketika kamu masih kecil, ia bisa memelukmu untuk mengusir rasa
takutmu...ketika kau mimpi akan dibunuh monster...
tapi.....ternyata dia bisa menangis dan tidak bisa tidur sepanjang
malam, ketika anak gadis kesayangannya di rantau tak memberi kabar
selama hampir satu bulan.

Kalau tidak salah ayah pernah berkata :" kalau kau ingin mendapatkan
pedang yang tajam dan berkwalitas tinggi, janganlah mencarinya dipasar
apalagi tukang loak, tapi datang dan pesanlah langsung dari pandai
besinya.
Begitupun dengan cinta dan teman dalam hidupmu,jika kau ingin
mendapatkan cinta sejatimu kelak, maka minta dan pesanlah pada Yang
Menciptakannya"

Untuk masadepan anak lelakinya Ayah berpesan: ,,jadilah lebih kuat dan
tegar daripadaku, pilihlah ibu untuk anak-anakmu kelak wanita yang
lebih baik dari ibumu, berikan yang lebih baik untuk menantu dan
cucu-cucuku, daripada apa yang yang telah ku beri padamu"

Dan Untuk masa depan anak gadisnya ayah berpesan :" jangan cengeng
meski kau seorang wanita, jadilah selalu bidadari kecilku dan bidadari
terbaik untuk ayah anak-anakmu kelak! laki-laki yang lebih bisa
melindungimu melebihi perlindungan Ayah, tapi jangan pernah kau
gantikan posisi Ayah di hatimu"

Ayah bersikeras,bahwa anak-anakmu kelak harus bersikap lebih baik
daripada kamu dulu....
Ayah bisa membuatmu percaya diri...
karena ia percaya padamu...
Ayah tidak mencoba menjadi yang terbaik, tapi dia hanya mencoba
melakukan yang terbaik....
Dan terpenting adalah...
Ayah tidak pernah menghalangimu untuk mencintai Tuhan, bahkan dia akan
membentangkan seribu jalan agar kau dapat menggapai cintaNya, karena
diapun mencintaimu karena cintaNya.

Ternyata ayah itu benar-benar MENAKJUBKAN. Sayangilah Ayahmu juga Ibumu.
(Dikutip: Dari catatan Mashuri Mashar 13/08/09)

06 Agustus 2009

Kata-Kata Cinta

Saya menabrak seorang yang tidak dikenal ketika ia lewat. "Oh, maafkan saya"
adalah reaksi saya. Ia berkata, "Maafkan saya juga; Saya tidak melihat Anda."
Orang tidak dikenal itu, juga saya, berlaku sangat sopan. Akhirnya kami berpisah
dan mengucapkan selamat tinggal.

Namun cerita lainnya terjadi di rumah, lihat bagaimana kita memperlakukan orang-orang
yang kita kasihi, tua dan muda.

Pada hari itu juga, saat saya tengah memasak makan malam, anak lelaki saya berdiri
diam-diam di samping saya. Ketika saya berbalik, hampir saja saya membuatnya
jatuh. "Minggir," kata saya dengan marah. Ia pergi, hati kecilnya hancur. Saya
tidak menyadari betapa kasarnya kata-kata saya kepadanya.

Ketika saya berbaring di tempat tidur, dengan halus Tuhan berbicara padaku,
"Sewaktu kamu berurusan dengan orang yang tidak kau kenal, etika kesopanan kamu
gunakan, tetapi anak-anak yang engkau kasihi, sepertinya engkau perlakukan dengan
sewenang-wenang. Coba lihat ke lantai dapur, engkau akan menemukan beberapa
kuntum bunga dekat pintu."

"Bunga-bunga tersebut telah dipetik sendiri oleh anakmu; merah muda, kuning
dan biru. Anakmu berdiri tanpa suara supaya tidak menggagalkan kejutan yang
akan ia buat bagimu, dan kamu bahkan tidak melihat matanya yang basah saat itu."


Seketika aku merasa malu, dan sekarang air mataku mulai menetes. Saya pelan-pelan
pergi ke kamar anakku dan berlutut di dekat tempat tidurnya, "Bangun, nak, bangun,"
kataku.

"Apakah bunga-bunga ini engkau petik untukku?" Ia tersenyum, " Aku menemukannya
jatuh dari pohon."

"Aku mengambil bunga-bunga ini karena mereka cantik seperti Ibu. Aku tahu Ibu
akan menyukainya, terutama yang berwarna biru."

Aku berkata, "Anakku, Ibu sangat menyesal karena telah kasar padamu; Ibu seharusnya
tidak membentakmu seperti tadi."

Si kecilku berkata, "Oh, Ibu, tidak apa-apa. Aku tetap mencintaimu."

Aku pun membalas, "Anakku, aku mencintaimu juga, dan aku benar-benar menyukai
bunga-bunga ini, apalagi yang biru."

Apakah anda menyadari bahwa jika kita mati besok, perusahaan di mana kita bekerja
sekarang bisa saja dengan mudahnya mencari pengganti kita dalam hitungan hari?
Tetapi keluarga yang kita tinggalkan akan merasakan kehilangan selama sisa hidup
mereka.

Mari kita renungkan, kita melibatkan diri lebih dalam kepada pekerjaan kita
ketimbang keluarga kita sendiri, suatu investasi yang tentunya kurang bijaksana,
bukan?

Jadi apakah anda telah memahami apa tujuan cerita di atas? Apakah anda tahu
apa arti kata KELUARGA?

KELUARGA = FAMILY.

FAMILY = (F)ATHER (A)ND (M)OTHER, (I), (L)OVE, (Y)OU

Teruskan cerita ini kepada orang-orang yang Anda pedulikan. Saya telah melakukannya

KPPS; Pahlawan Demokrasi

Pagi itu, saya membawakan materi Bimtek pemungutan dan perhitungan suara di Kecamatan Gantarang Keke Bantaeng. Para KPPS, penyelenggara pemilu tingkat TPS nampak serius mengerjakan format latihan isian formulir C1. Saya tahu mereka bingung cara mengisi format, soalnya pemilu kali ini adalah pemilu yang lumayan rumit. Berkali-kali aku menjelaskan, mereka belum paham juga. Saya mulai gusar, dan siap-siap mencerca............., tetapi kemudian saya tersadar dan mulai membatin;

" haruskah aku gusar kepada mereka yang hanya digaji oleh negara 225.000 pada hari pemungutan suara, haruskah aku marah atas ketidak tahuan mereka, sementara SDM tentu berjarak dan haruskah aku nampak pongah kepada mereka sementara pekerjaannya, tuntutan pidananya, kesejahteraannya, dan bahkan resiko yang bakal mereka hadapi sangat tidak sebanding dengan insentif yang mereka dapatkan ?"

Aku tak boleh gusar. Aku tak memiliki hak untuk marah kepada mereka. Tenaga, pikiran dan beban psikis pada hari 'H' pemilu semuanya terbebani kepada mereka. Mereka pahlawan demokrasi, KPPS lah yang akan menentukan pemilu ini berkualitas, merekalah yang akan mendudukkan anggota dewan kita yang terhormat. Merekalah yang secara tidak langsung melantik presiden yang mulia. Singkatnya, KPPS adalah penyelenggara bagi terpilihnya para pemimpin bangsa ini, yang tentu dan mungkin pemimpin yang terpilih nanti, tak akan pernah mengenal mereka, dan mungkin juga tak akan peduli terhadap apa yang mereka rasakan pada hari 'H' pemilu (of the record)

Salah seorang, diantara mereka bertanya, " Pak, saya lihat di anggaran, dana untuk makan kami hanya buat makan siang saja, sementara perhitungan suara sudah dipastikan sampai larut malam. dan sangat mungkin sampai dini hari. adakah solusi bagi kami ?". Aku tercekak, tersentak dan tak mampu menjawab dengan segera. Betul kata mereka, ada sesuatu yang kurang manusiawi. Aku membatin, mengumpulkan energi kearifan untuk menjawab pertanyaan yang tidak aku harapkan ini. Apa daya, bukan saya yang menentukan anggaran........, aku menjawab:

"Saya tahu Pak, pekerjaan dan resiko berat yang akan Bapak hadapi tidaklah sebanding dengan imbalan yang akan Bapak dapatkan. Tetapi, perlu kita semua ketahui bahwa kitalah yang menyelenggarakan pemilu yang hanya lima tahun sekali ini, kitalah yang akan mendudukkan wakil rakyat, dan kitalah yang akan menentukan siapa presiden lima tahun ke depan. Hanya karena Bapak/Ibu sekalian, maka pemimpin bangsa ini hadir. Pemimpin yang arif dan bijaksana, tentu akan membawa kesejahtaeraan buat rakyat, dan kitalah yang mencatat kan suara mereka" jawabku menyemangati.

" Kalau KPPS adalah sebuah 'pekerjaan', maka imbalan yang Bapak akan dapatkan tidaklah sesuai dengan UMR. Jangan anggap ini sebagai 'pekerjaaan', tetapi jauh dari itu, tugas ini adalah ibadah sosial. dan lebih penting lagi adalah amal jari'ah. Insentif Bapak, seharusnya jauh dari apa yang dianggarkan, tetapi karena ini bahagian dari ibadah sosiali kita, biarlah Allah SWT membayar sisanya nya diakhirat. Sebuah bayaran yang tak akan sebanding dengan dunia dan segalah isinya". jawabku, menambahkan. Aku mencoba menyentuh nurani mereka, bahwa pekerjaan tidak hanya dinilai manusia, tetapi lebih dari itu, Allah SWT. aku melihat seorang ibu, yang juga adalah ketua KPPS disebuah desa terpencil,mengusap titik air yang berlinang dipelupuk matanya. Saya tidak tahu, apakah mereka terharu dengan pekerjaan mulia mereka, ataukah karena mereka mulai berpikir....hanya sedemikianlah negaraku mampu membayar tugasku,tak apalah.....aku bekerja buat negaraku dan ada balasan yang lebih mulia.

Semua terdiam, dan aku pun tak tahu apakah jawabanku tadi sesuai sepadan dengan pertanyaan. Bagi masyarakat Bantaeng yang secara umum berprilaku santun, bertanya tentang gaji memang hal yang tabu. Mereka malu mempertanyakannya, tetapi aku tahu ada sesuatu yang miris dihati dan benak mereka . Setelah menjawab pertanyaan Bapak tadi, aku lanjutkan penjelasanku, dan kulihat mereka demikian bersemangat untuk mengetahui alur proses di hari 'H', aku gembira dan kamipun mulai melupakan semua yang berbau rupiah.

KPPS bagiku adalah pahlawan demokrasi yang tak perlu diberi tanda jasa. Mereka tak lagi membutuhkannya, kecuali perhatian yang lebih baik untuk pemilu selanjutnya. Tulisan ini, mari kita anggap bukan penyelenggara pemilu yang menuliskannya, tetapi sosok manusia biasa yang realistis dengan keadaan. Jujur, aku tak ingin menjadi KPPS..........Aku hanya ingin mereka dipedulikan, ingin beban dipundak mereka diringankan dan tentu aku sangat marah jikalau mereka dianggap tak becus mengurus pemilu ini. Selamat bekerja KPPS ku, pemilu 9 April mendatang semakin mendekat, lupakan semuanya tentang imbalan karena pada hari H nanti Anda lah PENGUASA NYA.

Jujur, Santun dan Mendidik adalah prinsip dan karakter kita sebagai penyelenggara pemilu. Ciptakanlah TPS yang sejuk buat para pemilih, layani para calon legislator kita dengan lebih baik, berilah kebanggaan buat bangsa tercinta ini. Buktikan, bahwa 'pengabdian' lebih baik daripada 'pekerjaan', keikhlasan lebih bersahaja daripada pamrih. Peluhmu adalah keringat pahlawan sejati yang tak pernah mau lelah sebelum semua pekerjaan tuntas. Ingat, jangan tergoda dengan tawaran kesejahteraan dan ajakan untuk curang. Pidana di dunia dan neraka diakhirat adalah kerugian yang sangat besar, jangan sia-siakan !. Sukses, bahagia dan sejehtera selalu buatmu sahabat..................

Kuingin aku menjadi layak untuk merindukan Mu

Aku malu meminta kemuliaan yang hanya milik Mu, walau hanya sedikit. Aku malu, karena selalu lalai dari titah Mu yang lurus.

Aku mengapung...... Berjuang keras untuk tidak cemas, pula berusaha raibkan kesumat masa lalu yang rapuh, zalim dan keji. Entahlah, selalu saja hati ini dipenuhi titik kebohongan, rasa pongah, sombong dan berbagai serbuan-serbuan nafs yang menggelora untuk berbuat atas dasar keinginan, bukan kebutuhan. Sejenak terlintas di benakku tentang kematian, terpikir apa gunanya sebuah keinginan material, dan kemudian terbersit pula sebuah kata yang terlontar begitu saja : "Kehidupan yang jujur akan berbuah kematian yang tenang"

Aku berusaha untuk tidak menginginkan kematian, walau harus yakin itu sebuah kepastian.
Tak ada yang berhenti, bahkan kematianpun bukanlah akhir. Kematian bukanlah sesuatu yang penting, tetapi justru seperti apa kita maknai hidup ini.

Ya Allah, Engkau Maha dari Segalah Maha
Bismikallahi Tawakkaltu Alal'lah, Wakafaa Billahi Wakilaa.

Disunting Ulang Catatan 6 Juni 2006


08 Januari 2009

Menanti Kemudahan Dengan Sabar

Kalut, menebar dirasaku menjadi kesumat rasa benci terhadap realita. Malas membuncah, sementara rasa iri akan kesenangan hidup terus menterorku untuk tegak bersaing dengan ketak-cukupan. Kontradiksi kini bertarung dalam benak dan hatiku. Religiulitas ku memaknai takdir pun kini telah lumpuh, tertebas waktu yang semakin bergerak menyoraki orang-orang yang telah sukses mendahuluiku. Aku tersudut dalam diam, tetapi hati terus berkecamuk mendambakan kesetaraan yang sebenarnya layak, dan mampu aku lakukan.

Astagfirullahal Azim, aku telah membahayakan akalku dan juga mulai mengkerdilkan hatiku. Akal adalah berkah Allah SWT untuk mencari jalan keluar dari problem yang membuntu, dan hati adalah pembersih segala kesumat yang didenguskan syaitan kepada manusia yang lalai mengingat nikmat Allah Yang Maha pemurah. “Saat paling berbahaya bagi akal adalah manakala pemiliknya menganggur dan tak berbuat apa-apa. Orang seperti itu ibarat mobil yang berjalan dengan kecepatan tinggi tanpa sopir, akan mudah oleng ke kanan dan ke kiri.” Nasehat Aidh’ Al Qarni mengejutkanku. Benar apa yang penulis fenomenal ini katakan. Aku mengeluh seperti ini karena hari-hari ku saat ini tak terdorong oleh terobosan-terobosan, dan pula stagnasi yang aku alami tak aku maknai sebagai sebuah peringatan untuk menemukan solusi baru.

Dan sebaik-baiknya ibadah adalah menanti kemudahan dengan sabar. Betapun, hari hari demi hari akan terus bergulir, tahun demi tahun akan selalu berganti, malam demi malam pun datang bergiliran. Meski demikian, yang gaib akan tetap tersembunyi, dan Sang Maha Bijaksana tetap pada keadaan dan segala sifat-Nya. Dan Allah mungkin akan menciptakan sesuatu yang baru setelah itu semua. Tetapi sesungguhnya, setelah kesulitan itu tetap akan muncul kemudahan.*)

Bantaeng,12 Juni 2008
(17.19 Wbti)