25 Agustus 2009

KEBAHAGIAAN HANYA AKAN BERARTI JIKALAU DIBAGI

(Cengkrama Sang Bapak Bersama dua Putri Kecilnya)
Disekelilingku ada dua putri kecilku yang lagi ceriah nikmati milo dingin, juice jeruk dan sepiring ba'wang. Sepulang dari kantor, aku membawanya ke pantai. Aku hanya ingin membayar hak mereka sebagai anak yang harus diberi ruang bermain dengan ayahnya. Kesibukan ku kini, membuatku kehilangan waktu bersenda gurau dengan mereka, kini aku telah membayarnya pada kesempatan yang pertama. Mungkin karena aku demikian seringnya bercengkerama dengan orang yang tak sebaya dengan dua putri kecilku, aku sulit menemukan kata untuk berdialog dengan mereka. Aku melamun saja sambil memandangi lepas pantai yang mulai surut hingga kelihatan bebatuan kecil pecahan karangnya. Hari itu, langit di Barat sudah menampakkan wajah kemerah-merahan, tanda senja sebentar lagi akan berakhir menjelma malam.

Indahnya paduan lautan, gunung dan kota yang dipandang di tepian Pantai Seruni telah menghanyutkan lamunanku jauh ke tengah gelora masa silam. Irama sepoinya angin laut dengan panorama senja sebagai ornamennya, memberiku ketenangan yang seolah membelai jiwaku merenungi biografi hidupku di masa silam. Celoteh dan cekikikan khas si kecil di sampingku hanya terdengar sebagai music yang mengiringi benakku merenungi sesuatu yang tidak aku alami di masa kecil. Kesan traumatic, demikianlah yang selalu membekas di batinku ketika slide demi slide ditampilkan oleh bayangku di masa kini. Akh, aku tak ingin mengingatnya, karena indah hari ini terasa akan mubazir jikalau waktu terlewat dengan kenangan kelam masa lalu dan kecemasan yang tak jelas akan masa depan.

Imam Ghozali, Sang ulama tersohor ajaran spritualnya hingga kini, pernah menanyakan sesuatu kepada muridnya:, “ Apa yang paling jauh di dunia ini?”. Murid-muridnya ada yang menjawab negara Cina, bulan, matahari, dan bintang-bintang. Lalu Imam Ghozali menjelaskan bahwa semua jawaban yang mereka berikan adalah benar. Tetapi yang paling benar adalah MASA LALU. Bagaimanapun kita, apapun kendaraan kita, tetap kita tidak bisa kembali ke masa lalu. Oleh sebab itu kita harus menjaga hari ini dan hari-hari yang akan datang, dengan perbuatan yang sesuai dengan ajaran agama. Aku merasa terjewer dengan pesan bijak dan filosofis ini. Mengapa aku memikirkan sesuatu yang tak mungkin aku akan kembali kepadanya. Tidakkah kelamnya masa lalu, kini tergantikan dengan keceriahan dua putri kecilku yang kulihat sementara senang dengan mulut belepotan dengan bakwan. Bahkan si Bungsu tidak lagi peduli dengan ingus yang hampir menyentuh bibirnya dan sebentar lagi bercampur dengan apa yang akan di telangnya. Ikh, cepat kusambar tissue dan kuhalau lumeran yang tak sehat itu, sekaligus kuhalau lamunanku yang tak penting ini.

Lamunanku pun buyar dengan sebenar-benarnya, mendengar celetuk tiba-tiba si Sulung,
"Etta…Etta…, partai ku saya Gerindra", ujarnya seadanya, setelah melihat stiker partai tersebut menempel di tiang listrik milik Negara yang seharusnya menurut aturan kampanye tidak boleh dilakukan oleh Tim sukses partai tersebut, (akh, pusing amat memikirkan aturan, Itu tugas Panwaslu…). Etta, demikian anak-anakku memanggilku, khas panggilan ayah untuk manusia bugis sepertiku.
"Kenapa Gerindra Nak ?, apa itu Gerindra" tanyaku, menyidik.
"Gerindra itu burung elang Etta" jawabnya santai, sambil mengunyah bakwan nya dan sesekali ia meneguk minuman dinginnya. Wah, si kecilku ternyata sudah terpengaruh dengan iklan para politisi di tivi, benakku membatin. Si Bungsu pun menimpali, “ Ge(L)indra…Gelindra…Gelindra…., he…he…!”, Ia menirukan suara Prabowo Subianto dengan dialek yang menggelikan karena tanpa penyebutan hurup ‘R’ sesuai Ejaan Yang Disempurnakan.

Ketika aturan kampanye melarang untuk melibatkan anak-anak yang belum memiliki hak pilih, yakni tujuh belas tahun ke atas atau sudah kawin, justru dua putri kecilku melibatkan diri nya sendiri tanpa bisa siapapun menghalanginya. Saya yakin benar, bahwa di sekolahnya ia meneriakkan iklan politik di tivi ini. Teman-temannya mendengar, gurunya dan bahkan mungkin tukang kebun di sekolahnya. Keceriaan anak-anak meneriakkan yel yel Parpol tentu, tidak akan tersadari menjadi bahagian dari kampanye Parpol tertentu. Eh, kok larinya ke politik !?, aku menegur diriku sendiri dan kemudian mengalihkan tema dialog yang lebih mendidik.
“Nak, bagaimana rasanya duduk-duduk sambil minum milo dan bakwan di sini?”, tanyaku.
“Ekh…e…e…,” kayaknya, si Sulung berusaha mencari jawaban yang tepat sambil memain-mainkan bola matanya berusaha mencari jawaban dari pertanyaan sulitku. Mungkin kata Tanya: bagaimana perasaan mu, belum mampu diolah dengan baik oleh brain si kecil. Perlukah aku merubah jawabanku untuk menemukan jawaban yang memuaskan ?, ternyata tidak, mulut kecilnya kembali nyeletuk serampangan sambil berdiri setengah berteriak, dia berucap. “ Inilah hari yang terbahagia dalam hidupku…….” “Ekh”, aku tercekak, dan tawaku pun meledak membahana mengagetkan pelanggan lain disekitarku. Aku tak peduli, aku harus menikmati kelucuan luar biasa ini. Jawaban anakku pasti gara-gara ia mengutip kata-kata sinetron yang sering ia tonton dengan Ibunya.

Akh, Iklan Parpol dan Sinetron di Tivi kini membawa banyak perubahan pada si Kecilku. Aku belum bisa menebak apakah itu positif atau negative, yang pasti kami harus bijak dengan tivi yang harus ada di zaman ini dan tidak perlu dihindari. Masa lalu di waktu kecilku tentu tidak sepadan dengan masa kini yang dihadapi dua putriku. Tak perlu aku mengembalikan memoriku dan mengajarinya untuk mengikuti hidupku di masa lalu yang tentu tidak mengkin kuputar kembali. Tak mungkin pula aku mengajarinya untuk berjalan bertelanjang kaki ke sekolah sejauh 6 kilometer, nyambi menjual kue untuk tambahan jajan, dan takut bukan main sama polisi seperti yang kualami dulu. Mengajarinya tentang beratnya perjuangan bersekolah dulu justru akan membuatnya keheranan. Sekolah saat ini gratis katanya, tak mungkin aku tak membelikannya sepatu karena Ibunya seorang PNS dan tak mungkin pula kuajari mereka menjual es lilin karena pasti tidak laku disaat sekarang ini. Masa kecil bersama orang tua yang menyayangi kita adalah masa paling indah, karena itu si sulung tadi mendeklarasikan harinya sebagai hari yang paling membahagiakan dalam hidupnya. Tak kusadari, ada rasa haru yang menyelinap disanubariku. Iya, aku juga bahagia Nak. Bahagia melihatmu ceriah dan bahagia karena kita telah berbagi cerita dibalas celoteh mu. Membekas betul di diri ini bahwa memang kebahagian akan lebih berarti hanya jikalau dibagi.

Banyak orang mencari kebahagian dalam kesendirian menyenangkan kepuasan personalnya. Bahkan ada yang mencoba menemukan bahagia itu dengan gelimang harta untuk dinikmatinya sendiri, serta tahta untuk ia menjadi penguasa tunggal kewenangan. Lantas, bagaimana setelah harta itu bertumpuk sementara kita hanya makan maksimal tiga kali sehari. Apakah bahagianya ketika kita sudah kekenyangan sementara masih bayak yang tersedia untuk dimakan ?. Lantas, bagaimana setelah puncak tertinggi kekuasaan itu kita sudah dapatkan, sementara perintah kita semua telah dilaksanakan dan setelah itu kita sakit dan akhirnya mati. Sirna, Pikirku terhenti karena analisisku sendiri tak mampu aku maknai dan kulanjutkan dengan sempurna (Eh, takut tidak nyambung dengan pargraf berikutnya).

Nak, kita harus pulang. Sebentar lagi magrib akan datang dan Panggilan Azan untuk bersujud kepada Allah Yang Maha Besar, Berkuasa dan Sang Penabur Rezeki akan berkumandang di seantero kota kecil dan mungil ini. Habiskan makanan dan minumanmu, karena entah esok apakah kita akan menikmati kebahagiaan terindahmu lagi. Sesampai di rumah, shalat berjama’ah lah dengan Ibumu, karena aku akan ke masjid mendapatkan keutamaan shalat jamaah yang pahalanya berbanding 22 kali jikalau aku shalat dirumah. Tetaplah menonton sinentron untuk menambah perbendaharaan katamu setelah engkau selesai belajar untuk sekolahmu esok. Ba’da Isya aku akan mengantar tidurmu dengan kisah Fatimah Az Zahrah Putri Rasulullah yang tidak ingin menyia-nyiakan hidupnya kecuali berzikir kepada Allah. Besok malam, agenda cerita selanjutnya adalah kisah Rabiatul Al Adawiah yang dihatinya hanya ada cinta untuk Allah SWT, sampai tidak ada kebencian pada dirinya bahkan untuk membenci Syaitan sekalipun. Dan besok malamnya lagi, akan kuberikan dongeng pamungkasku tentang Nene’ Pakande, cerita rakyat turun temurun tentang nenek yang sering memakan anak kecil karena terlambat tidur gara-gara menonton sinetron. Ikh……

Tidak ada komentar: