03 Agustus 2011

Ziarah Ke Makam Belanda




Ritual ziarah ke makam menjelang Ramadhan, sudah tradisi mayoritas muslim di Indonesia. Seperti halnya di kota saya, tiga hari sebelum puasa para peziarah memenuhi makam demi mendoakan para leluhur.
Di antara para peziarah, Ada sekelompok orang yang mungkin berlaku aneh bagi sebagian yang melihatnya. seperti apa kisahnya?
Dua Kuburan Berbentuk Tugu
Sebulan sebelum Ramadhan, saya dan beberapa teman bersepakat untuk berkunjung ke beberapa situs bersejarah. Berkunjung ke situs jadi pilihan, tentu dengan satu maksud ingin menulisnya.
Saya hendak berbagi tentang mengapa Bantaeng sebagai salah satu Kabupaten di Sulsel dijuluki Butta Toa atau Tanah Tua. Tentu ada sejarah yang menguatkannya.

Karena kesibukan masing-masing, jadilah waktu berkunjung kami tepat sehari sebelum Ramadhan. Saat ketika banyak orang berkunjung ke makam kerabat mereka. Sasaran pertama adalah situs kuburan Belanda. Kuburan itu, paling sepi dikunjungi para peziarah. Kenapa sepi? pasti pembaca sudah tahu jawabnya.
Makam itu dikelilingi padatnya pemukiman penduduk. Banyak mata yang melihat kami, sebagian dari mereka pasti heran, karena kami berkunjung diwaktu dan tempat yang tak lazim. Mungkin pula ada yang mengira kami adalah kerabat mendiang yang telah berbaring lebih seabad yang lalu itu.

Tapi kok, ada turunan Belande yang matanya tak hijau, rambutnya tak pirang, badannya tak jangkung, juga hidungnya tak mancung. Sekadar info, saya ini pesek, ikal hampir keriting, langsing untuk tak mengatakan kerempeng tetapi mata ini begitu menggoda. Hati ini tulus ingin berbagi kisah tentang kota kami, bekas afdeling Belanda, zaman VOC.

Peduli amat dengan anggapan orang-orang. Toh, sehari sebelumnya kami pun sudah melaksanakan tradisi nyekar ke makam kerabat. Lagian kegiatan ini mulia menurut kami, yaitu berziarah ke makam Belanda yang kerabatnya jauh di negeri kincir angin. Hanya satu makam yang sering dikunjungi keluarganya, yakni makam G.T.C Bosch. Orang sekitar menyebutnya Tuan Bos.
Gerbang Menuju Makam, Ada Kambing Nyalib Lensa.

Makam yang terdiri puluhan itu, berada di Jl. Pemuda,kelurahan Pallantikang, kecamatan Bantaeng. Posisinya berada di tengah kota. Kenapa di sebut “Pallantikang”, karena di sekitar tempat itu terdapat pohon beringin tua di tengah pekuburan para keluarga karaeng (turunan raja). Pohon beringin itu pertanda, di sanalah bermula kerajaan Bantaeng.
Di bawah pohon beringin itu dulunya, para pangeran dilantik menjadi Raja. Masih terdapat, Pappuniagang, yakni batu tempat dimana posisi calon raja berdiri untuk diberkati sebagai pemegang tahta kekaraengang. Sekitar 50 meter di depan kompleks makam Belanda, juga terdapat Palangirang, yakni batu berlubang tempat para karaeng membasuh diri sebelum dilantik oleh dewan adat (ada’ sampulongrua) yang berfungsi sebagai legislator kala itu.
Kalau Anda bertanya, mengapa makam Belanda berada dekat pelantikan para raja? maka itu pun menjadi pertanyaan saya. Beruntung saya dapat jawaban dari sumber yang tepat, karena saat itu saya serombongan dengan Ibu Nurbaeti teman kerja saya. Karaeng Beti, biasa Ia akrab disapa, adalah cucu Karaeng Bantaeng terakhir, A. Massuwalie Kr. Gassing.

Menurut Kr. Beti, wilayah itu memang kompleks pekuburan di masa lalu. Terdapat empat kelompok makam di area yang sudah dipadati pemukiman warga di sekitarnya itu, semua telah dipagari untuk membedakan status kompleks makam. Di sebelah jalan makam Belanda, terdapat makam keluarga karaeng Bantaeng yang letaknya di sekitar pohon beringin. Di sampingnya terdapat krlompok makam warga biasa, yang pada zaman kerajaan adalah pemakaman para pelayan raja.

Komplek pemakaman yang paling penting, berada di bagian Selatan. Lokasi itu adalah komplek Makam Latenriruwa dan raja-raja Bantaeng. Makam itu, juga disebut taman Purbakala yang memiliki nilai sejarah tinggi. Kompleks pemakaman itu telah dipugar, dan kini terlihat asri dan menjadi salah satu objek wisata budaya yang kami banggakan. Tentang makam itu, ceritranya lebih seru, kali lainlah saya kisahkan.

Kembali ke pemakaman Belanda. Kompleks itu terlihat tidak terpelihara. Beberapa makam, memang masih terdapat nama almarhum, tetapi itu karena keramik tempat namanya diukir terlalu tebal dan kuat untuk dicungkil para vandalism. 

Tangan-tangan jahil, telah merusak beberapa bagian makam. Banyak makam yang sudah tak bernama karena tegelnya pecah atau hilang diambil penjahat kuburan. Beberapa kuburan juga rusak, karena genangan banjir. banjir bandang yang pernah terjadi Bantaeng, 4 tahun lalu, telah merusak beberapa makam. Salah satunya makan tertinggi di tempat itu.

Kompleks itu memang berada di kerendahan, juga terletak di pinggir sungai Calendu. Sebelum dibangunnya Cekdam Balang Sikuyu dua tahun lalu, makam itu selalu tergenangi air luapan saat musim hujan datang.
Karena banyaknya plat nama makam yang raib, saya tak bisa mengindentifikasi yang mana kuburan tertua di sana. Kuburan tertua yang saya lihat saat itu, bertahun 1861.

Di lihat dari tahunnya, para mendiang meninggal saat kota kami dijadikan wilayah administrasi pemerintahan Belanda atau afdeling. Setiap afdeling, terdiri dari beberapa onderafdeling, setingkat Kabupaten.

Asal tahu saja, kota kami yang walaupun kabupaten kedua terkecil di sulsel saat ini, pernah menjadi wilayah setingkat propinsi, sebelum Soekarno-Hatta memproklamirkan dihapusnya penjajahan di muka bumi ini. Karena Belanda, kota kami terdesain seperti kota-kota di Eropa. Sayang, beberapa bangunan Belanda telah hancur, dan perumahan dari segi bentuk dan lokasi, kurang tertata setelahnya.

Makam Belanda itu juga terdapat beberapa bentuk. Ada yang berbentuk datar seperti umumnya, juga ada yang berbentuk tugu. Saya belum memahami, makna dari bentuk itu. Ahli sejarah lebih tahu, karena memang saya hanyalah ahli jalan-jalan. Kuburan tertua yang ada di situ berbentuk tugu.

Ahli klenik juga pernah ingin mengungkapnya dengan rencana syuting progam uka-uka oleh salah satu tivi swasta. Acara tivi yang telah di banned MUI itu, ternyata tidak sempat syuting. Mungkin karena terlalu seram, atau malah tak seram lagi. Saya sendiri merasa tidak seram, karena memang saya hanya mau datang ke kuburan saat siang, itu pun bersama banyak orang.
Kondisi Makam Memprihatinkan
Makan Berbentuk Datar
Sempat pula saya bertanya dalam hati, kapan yah Belanda menjajah Bantaeng? Betulkah Bantaeng dijajah selama tiga abad? Sepertinya kuburan Belanda itu bisa bercerita. Bukan yang ada di dalamnya, tetapi apa yang tertulis dipertanda tahun keramiknya.

Saya belum pernah mendengar cerita tentang siksaan para demang ataupun kerja rodi para meneer. Kalau Jepang, Iya. Kisah Romusha dan kelaparan begitu mengerikan.

Sebenarnya saya bisa menelusuri lebih jauh dengan bertanya kebeberapa saksi sejarah ataupun budayawan. Masih banyak yang berupa penasaran, karena memang sumber referensi sejarah tentang Bantaeng masihlah sangat minim. Masih banyak perlu diungkap, termasuk ditemukannya arca polinesia baru-baru ini. Dari informasi Koran, arca itu termasuk sangat tua dan langka di Indonesia. Selain Arca, juga ditemukan kerangka mongoloid.

Sejarah memang panjang, bisa membosankan kalau saya terlalu banyak cincong. Sebagai “antek-antek” Belanda yang berziarah ke makam itu,  saya hanya berharap semoga yang mengurusi kelestarian situs dan lokasi wisata bisa menjaganya dengan baik.

Akhirnya, Apa pun itu, sangat layak tulisan ini dikritik. Kebenarannya patut diverifikasi. Mohon maaf atas segalah salah dan khilaf.
Penulis Kuburan Mengucapkan Selamat Menjalankan Ibadah Ramadhan


Bantaeng, 31 Agustus 2011
Tentang ditemukannya 600 Artefak dan Arca Polinesia baru-baru ini, bisa dibaca di SINI