03 Agustus 2011

Ziarah Ke Makam Belanda




Ritual ziarah ke makam menjelang Ramadhan, sudah tradisi mayoritas muslim di Indonesia. Seperti halnya di kota saya, tiga hari sebelum puasa para peziarah memenuhi makam demi mendoakan para leluhur.
Di antara para peziarah, Ada sekelompok orang yang mungkin berlaku aneh bagi sebagian yang melihatnya. seperti apa kisahnya?
Dua Kuburan Berbentuk Tugu
Sebulan sebelum Ramadhan, saya dan beberapa teman bersepakat untuk berkunjung ke beberapa situs bersejarah. Berkunjung ke situs jadi pilihan, tentu dengan satu maksud ingin menulisnya.
Saya hendak berbagi tentang mengapa Bantaeng sebagai salah satu Kabupaten di Sulsel dijuluki Butta Toa atau Tanah Tua. Tentu ada sejarah yang menguatkannya.

Karena kesibukan masing-masing, jadilah waktu berkunjung kami tepat sehari sebelum Ramadhan. Saat ketika banyak orang berkunjung ke makam kerabat mereka. Sasaran pertama adalah situs kuburan Belanda. Kuburan itu, paling sepi dikunjungi para peziarah. Kenapa sepi? pasti pembaca sudah tahu jawabnya.
Makam itu dikelilingi padatnya pemukiman penduduk. Banyak mata yang melihat kami, sebagian dari mereka pasti heran, karena kami berkunjung diwaktu dan tempat yang tak lazim. Mungkin pula ada yang mengira kami adalah kerabat mendiang yang telah berbaring lebih seabad yang lalu itu.

Tapi kok, ada turunan Belande yang matanya tak hijau, rambutnya tak pirang, badannya tak jangkung, juga hidungnya tak mancung. Sekadar info, saya ini pesek, ikal hampir keriting, langsing untuk tak mengatakan kerempeng tetapi mata ini begitu menggoda. Hati ini tulus ingin berbagi kisah tentang kota kami, bekas afdeling Belanda, zaman VOC.

Peduli amat dengan anggapan orang-orang. Toh, sehari sebelumnya kami pun sudah melaksanakan tradisi nyekar ke makam kerabat. Lagian kegiatan ini mulia menurut kami, yaitu berziarah ke makam Belanda yang kerabatnya jauh di negeri kincir angin. Hanya satu makam yang sering dikunjungi keluarganya, yakni makam G.T.C Bosch. Orang sekitar menyebutnya Tuan Bos.
Gerbang Menuju Makam, Ada Kambing Nyalib Lensa.

Makam yang terdiri puluhan itu, berada di Jl. Pemuda,kelurahan Pallantikang, kecamatan Bantaeng. Posisinya berada di tengah kota. Kenapa di sebut “Pallantikang”, karena di sekitar tempat itu terdapat pohon beringin tua di tengah pekuburan para keluarga karaeng (turunan raja). Pohon beringin itu pertanda, di sanalah bermula kerajaan Bantaeng.
Di bawah pohon beringin itu dulunya, para pangeran dilantik menjadi Raja. Masih terdapat, Pappuniagang, yakni batu tempat dimana posisi calon raja berdiri untuk diberkati sebagai pemegang tahta kekaraengang. Sekitar 50 meter di depan kompleks makam Belanda, juga terdapat Palangirang, yakni batu berlubang tempat para karaeng membasuh diri sebelum dilantik oleh dewan adat (ada’ sampulongrua) yang berfungsi sebagai legislator kala itu.
Kalau Anda bertanya, mengapa makam Belanda berada dekat pelantikan para raja? maka itu pun menjadi pertanyaan saya. Beruntung saya dapat jawaban dari sumber yang tepat, karena saat itu saya serombongan dengan Ibu Nurbaeti teman kerja saya. Karaeng Beti, biasa Ia akrab disapa, adalah cucu Karaeng Bantaeng terakhir, A. Massuwalie Kr. Gassing.

Menurut Kr. Beti, wilayah itu memang kompleks pekuburan di masa lalu. Terdapat empat kelompok makam di area yang sudah dipadati pemukiman warga di sekitarnya itu, semua telah dipagari untuk membedakan status kompleks makam. Di sebelah jalan makam Belanda, terdapat makam keluarga karaeng Bantaeng yang letaknya di sekitar pohon beringin. Di sampingnya terdapat krlompok makam warga biasa, yang pada zaman kerajaan adalah pemakaman para pelayan raja.

Komplek pemakaman yang paling penting, berada di bagian Selatan. Lokasi itu adalah komplek Makam Latenriruwa dan raja-raja Bantaeng. Makam itu, juga disebut taman Purbakala yang memiliki nilai sejarah tinggi. Kompleks pemakaman itu telah dipugar, dan kini terlihat asri dan menjadi salah satu objek wisata budaya yang kami banggakan. Tentang makam itu, ceritranya lebih seru, kali lainlah saya kisahkan.

Kembali ke pemakaman Belanda. Kompleks itu terlihat tidak terpelihara. Beberapa makam, memang masih terdapat nama almarhum, tetapi itu karena keramik tempat namanya diukir terlalu tebal dan kuat untuk dicungkil para vandalism. 

Tangan-tangan jahil, telah merusak beberapa bagian makam. Banyak makam yang sudah tak bernama karena tegelnya pecah atau hilang diambil penjahat kuburan. Beberapa kuburan juga rusak, karena genangan banjir. banjir bandang yang pernah terjadi Bantaeng, 4 tahun lalu, telah merusak beberapa makam. Salah satunya makan tertinggi di tempat itu.

Kompleks itu memang berada di kerendahan, juga terletak di pinggir sungai Calendu. Sebelum dibangunnya Cekdam Balang Sikuyu dua tahun lalu, makam itu selalu tergenangi air luapan saat musim hujan datang.
Karena banyaknya plat nama makam yang raib, saya tak bisa mengindentifikasi yang mana kuburan tertua di sana. Kuburan tertua yang saya lihat saat itu, bertahun 1861.

Di lihat dari tahunnya, para mendiang meninggal saat kota kami dijadikan wilayah administrasi pemerintahan Belanda atau afdeling. Setiap afdeling, terdiri dari beberapa onderafdeling, setingkat Kabupaten.

Asal tahu saja, kota kami yang walaupun kabupaten kedua terkecil di sulsel saat ini, pernah menjadi wilayah setingkat propinsi, sebelum Soekarno-Hatta memproklamirkan dihapusnya penjajahan di muka bumi ini. Karena Belanda, kota kami terdesain seperti kota-kota di Eropa. Sayang, beberapa bangunan Belanda telah hancur, dan perumahan dari segi bentuk dan lokasi, kurang tertata setelahnya.

Makam Belanda itu juga terdapat beberapa bentuk. Ada yang berbentuk datar seperti umumnya, juga ada yang berbentuk tugu. Saya belum memahami, makna dari bentuk itu. Ahli sejarah lebih tahu, karena memang saya hanyalah ahli jalan-jalan. Kuburan tertua yang ada di situ berbentuk tugu.

Ahli klenik juga pernah ingin mengungkapnya dengan rencana syuting progam uka-uka oleh salah satu tivi swasta. Acara tivi yang telah di banned MUI itu, ternyata tidak sempat syuting. Mungkin karena terlalu seram, atau malah tak seram lagi. Saya sendiri merasa tidak seram, karena memang saya hanya mau datang ke kuburan saat siang, itu pun bersama banyak orang.
Kondisi Makam Memprihatinkan
Makan Berbentuk Datar
Sempat pula saya bertanya dalam hati, kapan yah Belanda menjajah Bantaeng? Betulkah Bantaeng dijajah selama tiga abad? Sepertinya kuburan Belanda itu bisa bercerita. Bukan yang ada di dalamnya, tetapi apa yang tertulis dipertanda tahun keramiknya.

Saya belum pernah mendengar cerita tentang siksaan para demang ataupun kerja rodi para meneer. Kalau Jepang, Iya. Kisah Romusha dan kelaparan begitu mengerikan.

Sebenarnya saya bisa menelusuri lebih jauh dengan bertanya kebeberapa saksi sejarah ataupun budayawan. Masih banyak yang berupa penasaran, karena memang sumber referensi sejarah tentang Bantaeng masihlah sangat minim. Masih banyak perlu diungkap, termasuk ditemukannya arca polinesia baru-baru ini. Dari informasi Koran, arca itu termasuk sangat tua dan langka di Indonesia. Selain Arca, juga ditemukan kerangka mongoloid.

Sejarah memang panjang, bisa membosankan kalau saya terlalu banyak cincong. Sebagai “antek-antek” Belanda yang berziarah ke makam itu,  saya hanya berharap semoga yang mengurusi kelestarian situs dan lokasi wisata bisa menjaganya dengan baik.

Akhirnya, Apa pun itu, sangat layak tulisan ini dikritik. Kebenarannya patut diverifikasi. Mohon maaf atas segalah salah dan khilaf.
Penulis Kuburan Mengucapkan Selamat Menjalankan Ibadah Ramadhan


Bantaeng, 31 Agustus 2011
Tentang ditemukannya 600 Artefak dan Arca Polinesia baru-baru ini, bisa dibaca di SINI

30 Juni 2011

Rimba Menara Selular dan Iklan Tembok Rumah


Martin Cooper, penemu telepon seluler, telah mengibaratkan dunia seperti dalam genggaman telepon. Jagad raya begitu luas dan memang tidaklah selebar daun kelor, karena itu para ilmuwan mencipta berbagai model perangkat telekomunikasi.

Kini jarak, ruang dan waktu, telah serasa dekat, sempit dan singkat. Kabel fiber optic yang kini sudah melintang panjang di bawah samudera pasifik , telah membuat seluruh manusia di dunia bisa terhubung dengan mudah.

Ponsel, bukan lagi barang langka. Alat komunikasi yang generasi pertamanya ditemukan tahun 1973 ini, bisa dibeli ibarat kacang goreng. Para operator selular juga berlomba menawarkan harga pulsa yang murah, berikut iming-iming hadiah penyerap pulsa yang kadang seperti tipuan menggiurkan bagi pelanggan yang gagap teknologi.

Jikalau Anda berada di udara atau puncak gunung, maka kota terlihat seperti rimba menara selular. Tower yang tingginya jauh mengalahkan tugu kota ataupun monument pahlawan kemerdekaan itu, adalah menara BTS ((Base Transeiver Station) pemancar sinyal, yang kini diusahakan dapat menjangkau desa terpencil sekalipun.

Permenkominfo No. 2 / 2008 tentang Pembangunan dan Penggunaan Menara Bersama, adalah solusi. Mungkin karena visi bisnis yang berbeda, tetap saja menara yang tingginya minimal 42 meter itu malang melintang di berbagai kota.

Jikalau tak ada keinginan bersama untuk menyatukan BTS para operator, maka kelak tower-tower itu bakal berubah seperti jejeran pohon besi tak berdaun.

Jikalau semakin banyak, maka menara yang luasnya se kapling perumahan itu, akan mengganggu estetika kota. Selain estetika, dapat juga merugikan penduduk sekitar, semisal sambaran petir pada menara BTS yang pernah terjadi di Bandung. Kejadian itu ditengarai penyebab rusaknya peralatan elektronik warga sekitar. Bahkan ada warga yang kakinya tersambar petir.

Kasus di atas, seperti yang ditulis Abdul Syakur dari Departemen Electrical Engineering UNDIP, Menurutnya, kehadiran BTS di suatu tempat, akan meningkatkan angka jumlah sambaran petir di tempat tersebut. Sehingga, frekuensi sambaran petir di sekitar menara akan meningkat, dibandingkan sebelum ada tower BTS.

Seorang kenalan yang digunakan tanahnya untuk tower, justru merasa senang karena tanahnya yang terbengkalai dikontrak sepuluh juta pertahun. Mahal juga yah? Karena mahalnya, seorang kawan saya yang bekerja sebagai teknisi tower akhirnya menjawab pertanyaan heran saya, kenapa banyak tower yang berdiri di lokasi pekuburan.

Awalnya, saya berbenak klenik. Mungkin karena sinyal tak terlihat, miriplah dengan sifat setan yang banyak di kuburan. Sempat juga ada kawan yang berguyon, mungkin karena itu, ada operator selular yang menggunakan nama setalindo. Aha, ternyata tanah di pekuburan harganya murah dan juga mungkin gratis, karena pemiliknya sudah berbaring di bawah tower.

Karena perusahaan selular adalah komersil, tentu mereka memakai prinsip ekonomi, biaya sedikit hasil banyak. Setidaknya ada 10 operator selular di Indonesia dengan berbagai produknya. Kesepuluh operator itu telah membuat saya empat kali ganti kartu perdana. Karena kartu itu murah bahkan ada yang gratis. Jangan heran kalau para peselingkuh, teroris, koruptor, dan orang yang banyak utang, gonta-ganti nomor handphone.

Sudah murah, promosi juga semakin gencar. Prinsip ekonomi kembali dijalankan. Rumah-rumah penduduk, tembok pagar dan tembok lainnya di branding jadi iklan. Kalau Anda ke Makassar, cobalah lanjutkan perjalanan ke Kabupaten Bantaeng, kota saya. Di sepanjang jalan protokol, akan dijumpai banyak reklame selular yang mencolok di dinding rumah-rumah penduduk.

Kenapa di rumah penduduk? Ternyata biayanya murah karena tidak terkena pajak reklame. Iklan di tempat milik pribadi ini berkategori reklame sidebar yang dikecualikan sebagai objek pajak.

Reklame yang sidebar, adalah reklame memberi manfaat atau bermanfaat bagi yang menerima. Manfaatnya apa? Tentu, toko atau rumahnya yang kedapatan iklan akan di cat gratis.

Selain itu, apa lagi? Kerabat saya yang memiliki gerai handphone, mendapat imbalan 10 lembar vocher pulsa seharga Rp. 20.000, setelah dindingnya di branding kuning dan merah mengkilap. Artinya, perusahaan hanya mengeluarkan uang Rp. 200.000 untuk penerima ‘manfaat’, dan perusahaan selular bebas mencat sepuasnya, seluas dinding. Murahkan?

Anda tahu, Negara ini menerapkan tarif pajak reklame sebesar 25% dalam UU Nomor 34 tahun 2000. Tarif ini adalah yang tertinggi kedua setelah pajak hiburan yang sebesar 35%. Karena keingin tahuan, saya yang tidaklah sehebat Gayus Tambunan menghitung pajak ini, mencoba menghitung pajak reklame seperti yang disosialisasikan pemerintah Kota Batam.

Ternyata, untuk billboard seukuran 6×4 meter pada lokasi jalan protokol A, pajaknya bisa mencapai kurang lebih Rp. 60.000.000 pertahunnya. Tidak murah kan? Itu kalau dibandingkan dengan harga 10 lembar vocher 20. Kenapa saya sebut jumlahnya “kurang lebih”, karena biasanya pajak bisa dinegoisasikan, itu kata orang-orang.

Strategi perusahaan menghindari pajak yang mahal, itu wajar. Kata anak gaul, “namanya juga usaha…..”. Agar tidak terkesan sirik tanda tak mampu, saya sekali lagi hanya menyoal estetika. Keindahan kota sepertinya agak terganggu dengan reklame mencolok di rumah-rumah penduduk ini, yang jumlahnya saya yakin akan semakin bertambah.

13080157671379533944

Sekilas pernah saya membaca di Koran, iklan-iklan yang mencolok di jalan protokol bisa mencelakakan pengguna jalan. Tetapi iklan yang dimaksud adalah iklan komersil yang dikenakan bea pajak. Menurut saya, iklan-iklan di rumah penduduk yang bisa tiga kali lebih besar dari ukuran billboard atau sepanjang ukuran pagar sangat berpotensi penyebab kecelakaan.

Terbayang, bagaimana kalau penjual obat, penjual tomat, wortel dan cabe keriting, juga mencat rumah-rumah penduduk untuk iklan murah. Cobalah Anda tidak membayangkannya, karena ada bakal tersenyum geli. Seperti geli dan herannya saya, ketika banyak orang yang bahkan ingin menawarkan rumahnya di cat iklan.

Perkembangan tekhnologi telepon genggam, yang kini sudah semakin canggih dan perusahaan operatornya yang juga semakin bersaing ketat, tentu akan memanjakan konsumen. Mekanisme pasar akan memberi harga murah untuk konsumen. Karena harganya murah, maka biaya oleh perusahaan juga semakin ditekan, semisal mencari tanah untuk tower di pekuburan atau memasang reklame yang sidebar.

Sumbangsih perusahaan selular untuk keindahan kota dan keselamatan warga, saya kira perlu. Perusahaan memiliki tanggunggung jawab sosial, dengan meminimalkan efek negatif promosi komersilnya. Bahkan perusahaan rokok pun banyak beriklan sambil mensponsori acara olahraga, lingkungan dan panjat tebing sebagai bagian dari tanggung jawab sosialnya di bidang kesehatan dan lingkungan (mungkin). Aneh kan?

Salam Kompasiana!

Bantaeng, 12 Juni 2011

Jabatan Baku Dorong dan Pemilu Aneh di Masjid

Jangan pemilih pemimpin yang terlalu mau dan pula pemimpin yang sangat tidak ingin. Pesan bijak ini pantas direnungi, saat ketika banyak orang yang begitu bernafsu memburu jabatan dengan berbagai cara. Tidak hanya memburu, jikalau perlu merebut. Baik dengan cara yang resmi melalui serangkaian lobi, kampanye dan pencitraan, maupun dengan cara membunuh karakter demi menjatuhkan pesaing.

Tidak heran jikalau banyak yang meradang karena kehilangan jabatan, membocorkan skandal mantan bosnya dan sibuk menebar keburukan orang yang mengalahkannya. Jabatan sungguh hal yang menggiurkan, karena di situ ada penghargaan, pengikut dan mungkin banyak uang.

Terlepas dari tingginya libido berkuasa saat ini di rimba manusia,ternyata ada jabatan yang tidak menggiurkan. Jabatan itu terhormat, memiliki pengikut yang banyak, pekerjaannya mulia dan efek jabatannya berlaku sampai setelah kita mati. Tetapi mengapa tak menggiurkan? Saya ingin berbagi cerita.

Setelah ditunda dua kali sebab minimnya peserta malam kemarin, Jum’at 24 Juni 2011 berlangsung rapat pengurus Masjid Nurul Ikhwan di kompleks perumahanku. Rapat itu untuk memilih ketua pengurus Masjid. Rapat yang dilaksanakan usai shalat isya itu, dihadiri sekitar 30 an jama’ah dari lebih 150 orang kepala keluarga yang bermukim di sekitar Masjid.

Dapat dilihat, bahwa animo warga untuk masalah masjid yang peruntukannya akhirat itu sangatlah kecil, malahan rapat sebelumnya yang ditunda hanya dihadiri belasan orang. Setelah undangan disebar, diikuti pengumuman berkali-kali, rapat malam itu sudah dianggap representatif untuk memilih pengurus masjid yang baru.

Singkat cerita, digelarlah pemilihan itu. Sebagai panitia, saya didaulat memimpin sidang. Sebenarnya, saya merasa risih memimpin sidang terhormat itu. Bukan apa-apa, saya terbilang warga baru dan paling muda diantara para tetua masjid. Mau diapa lagi, bahkan menjadi pimpinan rapat pun peserta rapat saling tunjuk. Dalam istilah kami, baku dorong (saling dorong).

Setelah Laporan Pertanggung jawaban pengurus yang diterima dengan ikhlas itu, akhirnya tibalah masa pencalonan. Tiga calon yang diusulkan peserta. Setelah saya menanyai kesiapannya, dua calon menyatakan tidak siap, satunya lagi menyatakan mundur. Ha, deadlock tanpa calon. Saya kebingungan sendiri. Setelah buntu, saya meminta usulan calon lain, ternyata kembali seperti semula. Baku dorong.

Keadaan ini, sama sekali tidak seperti pada Pemilu Legislatif dan Pilpres, dimana orang bahkan saling dorong untuk menjatuhkan pesaing. Di masjid saya, orang baku dorong untuk maju sebagai ketua. Dalam posisi sebagai pimpinan sidang, tentu saya bebas dari pencalonan karena saya sudah menyampaikan kriteria pengurus masjid. Salah satunya, adalah yang dituakan, saya sama sekali tidak ingin dianggap tua. Bebaslah saya.

Pernah saya membaca, bahwa di Korea Selatan sangat sedikit orang yang mau menjadi pemimpin publik. Baginya, jabatan publik adalah beban yang sangat berat. Sangat sulit menemukan calon untuk menjadi lurah, kepala dinas , menteri bahkan anggota DPR seperti di negeri kita yang berjubel masalah ini.

Seperti di Jepang, pejabat di sana merasa malu kalau bersalah dan tidak bisa memenuhi janji. Mereka kesatria menyatakan mundur kalau gagal. Bahkan banyak pejabat yang bunuh diri. Kegagalan adalah rasa malu bagi mereka. di negeri kita? kegagalan justru ajang untuk menguji keampuhan jurus bersilat lidah untuk menangkis, menghindar, berkelit dan balik memukul.

Membandingkan antara pemilihan pengurus di Masjid di kompleks saya dengan budaya kepemimpinan Jepang dan Korea, memang tidaklah setara. Satu yang ingin saya utarakan, bahwa di Indonesia, ternyata masih ada jabatan yang tidak diinginkan, setelah bahkan pemilihan RT pun diperebutkan. Kata tetangga saya, RT itu bagus walau tak bergaji karena bisa mengurus KTP dan menagih pajak.

Kembali ke rapat pengurus Masjid. Karena kebingungan, saya pun mem veto keadaan, dengan memberikan kesempatan kepada peserta untuk kembali menunjuk calon secara musyawarah. Siapa pun yang ditunjuk dianggap representatif dan tidak boleh mundur. Ini demi kemaslahatan dunia dan akhirat, kata saya sedikit bernada ustad.

Pemilihan ulang pun di gelar, tanpa fatwa dari Mahkamah Konstitusi yang juga sudah mulai mempersoalkan suap dan korupsi. Hasil munsyawarah menetapkan dua calon. Calon yang ditetapkan adalah calon yang tidak bersedia tadi. Saya menawarkan pemilihan tertutup atau pemilihan terbuka, ternyata, peserta menginginkan yang terbuka, dengan cara mengangkat tangan, tanda contreng telah dilakukan. Bukan tanda menyerah.

Kenapa mengangkat tangan, biar ketahuan siapa yang memilih calon ini dan itu. Alasannya, dengan ketahuan orang yang memilih, maka pilihannya bisa dia pertanggungjawabkan. Bagi saya inilah demokrasi yang jantan dan jujur, tanpa lobi dan potensi money politik.

Bapak Zamzam, SH yang seorang pengacara, adalah calon pertama. Calon lainnya, Bapak Drs. Muhammad Nurung, seorang guru Madrasah Aliyah. kedua-duanya adalah mantan pengurus periode lalu. Pak Zamzam adalah mantan wakil ketua, dan Pak Nurung Sekretaris. dibukalah sesi pemilihan antara pengacara dan guru ini.

Ternyata, calon pertama memilih calon ke dua, demikian sebaliknya. Masing-masing calon tidak memilih dirinya sendiri. Sesama calon saling menghargai. Adapun peserta, cenderung memilih Bapak pengacara itu untuk menjadi ketua mereka yang baru. Jumlah angkat tangan jamaah, lebih banyak ke sang pengacara. saya sendiri memilih abstain, untuk menjaga netralitas saya sebagai penyelenggara pemilihan. (he he he)

Jikalau pembaca melihat kelihaian pengacara membela koruptor di tivi, pasti menurut Anda tidak ada diantara mereka yang layak jadi ketua Masjid. Jangankan pengacara koruptor, saya pun jengah dengan pengacara perceraian artis. Di Masjid saya lain, pengacaralah yang dipilih jadi ketua Masjid. Tentu, pengacara ini bukanlah seperti yang biasa kita lihat di tivi. Bapak Zamzam SH ini, adalah pengacara local yang terkenal, tetapi juga amanah dalam menjalankan profesinya.

Usai pemilihan ketua, maka dipilihlah pengurus-pengurusnya. Semua yang ditunjuk oleh ketua juga tidak boleh menolak. Terpilihlah saya sebagai wakil sekretaris, tanpa boleh menyatakan siap atau tidak siap. Menjadi sekretaris di masjid, sebenarnya tidak lebih sebagai juru ketik. Karena saya wakil sekretaris, maka saya ini wakil juru ketik. Apapun yang akan diketik, maka saya siap mewakili.

Bantaeng, 25 Juni 2011

Tulisan ini pernah di muat di kompasiana.com

02 Mei 2011

Ramuan Judul Pemikat Tulisan

Tidak perlu membaca seabrek teori agar pembaca terpikat dengan karya tulis Anda. Anda hanya butuh keahlian meramu judul. Bahan ramuan tak harus dicari di rimba belantara atau pada kedalaman samudera, tidak juga pada dukun pelaris. Judul ada pada diri kita, pada benak yang menyimpan sejuta inspirasi. Pada ide yang kadang melintas begitu saja.

Aha! Betapa anggun mahkota Kate Middleton, saat Pangeran William menggandengnya menuju altar pernikahan, berjuta mata tertuju padanya. Iya, Judul adalah mahkota pemikat. Judul adalah kulit pembungkus isi, cadar putih transparan seperti yang dikenakan Kate di gaun pengantinnya. Semua ini hanya ibarat, karena judul bisa dipersepsikan apa saja. Judul pada intinya adalah sesuatu yang mudah diingat, dikenal, juga dikenang pada sesuatu yang pernah dilihat dan baca.

Semua dari kita menyukai sesuatu yang menarik, mengemuka, sederhana, padat dan singkat. Jikalau ingin tulisan Anda dibaca keseluruhan isinya, tentu tidak cukup dengan rangkaian kata yang memikat saja, tetapi juga judul yang menggabarkan isi dan tentu tidak menipu.

Sayang, jikalau pembaca Anda lari, karena judul yang Anda hidangkan sulit dicerna – tak dipahami. Sebaik-baiknya isi tulisan, tak akan dilirik banyak orang jikalau dari judulnya saja sudah membuat kening pembaca berkerut. Ingat, kita sementara tidak membahas judul penelitian ilmiah. Judul yang sementara ingin kita pelajari, adalah judul dari karya tulis bebas.

Anda ingin tahu? Berikut berapa trik yang bukan dari buku teori menulis, tetapi dari pengalaman saya sebagai pewarta warga (citizen journalism). Apa itu pewarta warga? Saya juga belum tahu persis. Citizen journalism adalah istilah yang disematkan pada seseorang yang bukan penulis atau wartawan professional. Saya hanya penulis, yang menulis karena hobby dan ingin berbagi manfaat.

Anda jangan heran, jikalau trik menulis saya kampungan, karena memang saya adalah penulis kampungan. Penulis yang senang menulis tentang kesehajaan kampung. Sesuatu yang alami dan tidak banyak neko-neko.

Eits,….Jangan berhenti membaca, nikmatilah tips ramuan pemikat di bawah ini, jikalau Anda ingin terperosok sebagai penulis kampungan seperti saya.

Menarik dan Aktual

Judul adalah mahkota tulisan. Perlu dibuat semenarik mungkin untuk memancing minat pembaca. Judul yang menarik bagi semua orang adalah barisan kata yang bisa mewakili keingin tahuannya terhadap apa yang disenangi. Anda tahu apa yang disenangi semua orang? sex dan uang.

Sex pasti akan menarik, karena semua manusia membutuhkannya, demikian pula dengan uang atau harta secara umum. Sanrego; Khasiat Perkasa Kuda Jantan , demikian judul yang pernah saya tuliskan. Tulisan ini di kunjungi banyak pembaca saat terposting di kompasiana. Kompasiana adalah salah satu portal kompas.com. Bukan lelaki normal yang tak menginginkan keperkasaan, juga bukan perempuan yang justru bermanja dengan keloyoan. Bukankah demikian?

Ingin Kaya!? Jangan Jadi PNS, adalah judul yang berangkat dari keheranan saya akan berjubelnya pendaftar PNS setiap tahun. Tulisan ini saya posting, saat masa pendaftaran PNS. Selain bernilai aktual, judul ini, juga disenangi karena berkait dengan harta. Semua dari kita menginginkan kekayaan, karena harta inheren dengan kehidupan.

Jujur, sebenarnya saya pernah sedikit menipu dengan judul bombastis; “Citra Mesum, Berganti Geliat Cakar Impor”. Page view tulisan ini melonjak di kompasiana.com, tetapi yang berkomentar sedikit. Kenapa?

Postingan saya di kompasiana itu bergaya reportase. Saya ingin mengabarkan bahwa di Pantai Seruni Bantaeng, ada yang namanya ‘cakar’. Cakar atau Cap Karung tentu tidak akrab di daerah lain, karena hanya diistilahkan di Sulsel. Setiap malam minggu di sepanjang tanggul di Pantai Seruni, hanya dijadikan muda-mudi memadu kasih. Setelah adanya pedagangan pakaian bekas impor ini, citra mesum itu berubah menjadi hiruk tawar-menawar.

Citra Mesum, hanya sedikit saya singgung, karena memang bukan itu poinnya. Walau demikian, tetap saya berusaha memberi kabar, bahwa program pemerintah Bantaeng ini cukup jitu menghindari keremangan Pantai Seruni, menggerakkan ekonomi rakyat, dan yang lebih penting meredam gejolak nafsu dua insan yang dibuai asmara tak bermuhrim.

Mewakili dan Tak Menipu

Jangan terpaku pada keindahan judul, karena bisa jadi itu menipu. Sangat banyak judul-judul di internet yang bombastis tetapi isinya kosong. Setiap kali kita membuka internet, pasti ada pancingan judul bertema sex. Saya menyebutnya judul ‘berlendir’. Judul tentang bagaimana mendapatkan uang dengan mudah juga sangat banyak.

Judul bombastis ini dimaksudkan penulisnya agar blognya banyak pengunjung. Rating pengunjung yang meningkat akan mendatang iklan di sana. Iklan itulah yang akan menjadi sumber penghasilan pemilik blog dengan menjual postingan bertema sex. Ada juga yang sengaja menulis tema sex dengan maksud untuk menggiring pembaca pada tawaran bisnis yang bisa jadi juga menipu. Hati-hati, jika di klik terkadang judul seperti demikian mengandung virus komputer. Judul berlendir, biasa pula sekadar iseng dari penulisnya.

Anda tahu, apa isi dari judul Sanrego Berkhasiat Perkasa Kuda Jantan? Saya hanya ingin mengabarkan bahwa di Sulawesi Selatan ada juga tumbuhan herbal keperkasaan, yang tentu tak kalah hebat dengan pasak bumi atau batu jahannam. Ramuan Sanrego ini hanyalah jamu yang dicipta dan di patenkan oleh Ilmuwan Unhas. Mempromosikan Sanrego, adalah untuk mengenalkan Sulsel, member manfaat penggunanya. Lebih penting lagi saya ingin memberitahu, bahwa saya besar di perkampungan yang bernama Sanrego, yang terletak di Kabupaten Bone.

Judul saya tidak menipu, hanya memancing. Isinya pun bermanfaat, menarik dan unik. Penilaian itu bukan dari saya, tetapi menurut pembaca yang berkomentar di tulisan itu. Judul yang tak mewakili isi, mungkin saja tidak bakal dibaca tuntas oleh pembaca. Reputasi kita sebagai penulis juga akan turun. Maksud penulis adalah untuk tulisannya dibaca. Membuat judul tak berkait isi, hanya akan mengurangi pembaca setia pada tulisan berikutnya.

Singkat Tak Menyiksa

Anda tidak sementara membuat karya Ilmiah, walau isi tulisan anda Ilmiah. Judulnya pun perlu dibuat agar tak menyiksa pembaca. Terkadang baru judul yang dibaca, kepala sudah dibuat pening. Saya ingin mencontohkan satu judul: “Esensi dari Hakikat Fungsi Mahasiswa dalam Ekspektasi Publik

Belum isinya, judulnya saja sulit dicerna. Lalu apa maksud kita menulis. Apakah kita ingin dikatakan hebat dan ilmiah dengan banyaknya serapan bahasa asing? Tentu, maksud menulis adalah untuk menyenangkan pembaca, tidak justru meribetkan pikirannya. Menulis tidak sekadar aktualisasi, tetapi juga buat berbagi manfaat. Kemampuan menyederhanakan dan menjinakkan bahasa adalah penting, agar maksud tersampaikan.

“Kesederhanaan adalah kekuatan”, demikian kata Jack Trout. The Power of Cimplicity, adalah judul bukunya yang sampai hari ini masih saya ingat. judul itu singkat, padat dan menarik. Isi buku itu sebenarnya ‘berat,’ tetapi penulisnya merangkai kalimat dengan lugas. Membaca judulnya saja, kita sudah terpancing menyelami isinya.

Trout, banyak membahas tentang rangkaian kata dalam visi perusahaan atau Negara. Ia banyak menemukan kata-kata rumit dengan arti yang berulang. Kesannya memang ilmiah, tetapi hanya dipahami oleh beberapa kalangan. Gaya jurnalis adalah gaya bahasa awam, informative dan memikat. Ingat, maksud menulis untuk dibaca. Agar terbaca, jinakkanlah bahasa. Buatlah kalimat itu membumi dan dipahami umum.

Judul; Dimana Bermula?

Judul pastilah bermula dari ide yang kita ingin tuliskan. Pertanyaannya, apakah harus membuat judul dulu baru mulai menulis atau nanti setelah tulisan kelar. Bebas! Anda bebas menentukan kapan Anda mulai meramu rangkaian kata untuk judul. Boleh di awal, tengah dan di akhir. Andalah tuan dari tulisan Anda.

Jikalau tulisan adalah patung dan pena alat ukir, maka kata-kata adalah bahannya. Judul adalah Mahkota yang memiliki kekuatan magis untuk memikat pembaca melirik isinya. Mahkota bisa dibuat sebelum keseluruhan patung selesai dipahat. Bisa pula saat kita jedah di pertengahan dan tiba-tiba inspirasi melintas. Pula bisa Anda selesaikan setelah semua tulisan rampung.

Sekali lagi, Anda bebas menentukan judul. Bagaimana dengan saya? Saya terbiasa membuat judul lengkap setelah tulisan saya rampung. Judul awal hanyalah penanda ide untuk memancing saya menagalirkan kata demi kata. Judul yang saya buat di awal, kadang malah membuatku terkungkung. Terbatasi dengan judul yang telah saya buat.

Jikalau di pertengahan – saat saya sementara menulis ispirasi judul itu muncul. Saya berhenti dan menuliskannya, biar tidak terlupa. Inspirasi yang melintas begitu saja, sebenarnya memiliki kekuatan kata karena terbersit dari imajinasi alami kita. Tapi jangan terjebak dan menunggu, biarkan ia muncul begitu saja. Kalaupun tidak muncul, bacalah ulang tulisan Anda yang tak berjudul itu, pasti akan ditemukan judul yang mewakili isi.

Anda ingin membuktikan keampuhan daya pikat judul Anda? Mulailah menulis. Menulis apa? Tentang apa saja. Anda bebas dengan tulisan Anda, bebas yang diikuti tanggung jawab tentunya, ketika tulisan itu diperuntukkan ke public. Bukan judul tanpa isi, karena itu jangan terjebak dengan judul. Judul tidak lebih sebagai pemanis, tetapi kopi pasti akan terasa sangat pahit tanpa gula.

Tulisan saya hanyalah pengalaman, tiada maksud untuk menggurui. Menulis bagi saya hanyalah hobby, sekaligus terapi untuk melepaskan, mencurahkan, sekaligus kadang menghempaskan ide yang menumpuk di benak. Karena hanyalah sebagai hobby, menulis bagi saya tidak jauh dari keinginan untuk memuaskan diri dan pembaca dengan berbagi manfaat bersamanya.

Bantaeng, 2 Mei 2011

Tulisan Terkait

Kearifan Tangga Morowa, Secantik pramugari Makassar Tidak Kasar, Rahasia Perjalanan Dinas legislator , Tulisan kompasianer dikutip Media Lokal, Eremerasa Bersumber Mata Air Pegunungan,Wisata Mistis di Gua Batu Ejayya, Pedas Barobbo Berpadu Hijau Alam Dapoko, Bersama pallu Kaloa Serasa pulang kampung (juara), Berbagi kesan Traumatik, Bank dalam Citra Rentenir Resmi(nominator), Iklan Pemerintah Terbang terbawa Angin, Dengusan Jantan Kuda Prabowo, Janji Lucu Pak Beye, Bantaeng Memancing menteri Menatap Bali, Nama Jawa Bertabur Indah di Makassar, Membuang Penat di Pantai Lambocca, Sensasi Berburu Escolar Di Lepas Pantai Bira, Aku Tak Malu Ibuku Penjual Madu

01 Mei 2011

Diskusi Jurnalistik Menyambut Hardiknas di Baling-Baling

Menyambut Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas), Warkop Baling-Baling menggelar Diklat Jurnalistik Pemuda mulai dari tanggal 1-2 Mei 2011. Inisiator acara, Ir. Arfan Doktrin, menjadikan kegiatan yang rencananya berlangsung selama dua malam ini, sebagai media bagi anak muda Bantaeng untuk berkreasi lewat tulisan.

Kegiatan ini, bagian dari sumbangsih kita terhadap Bantaeng. Saya berharap diklat ini bisa menghasilkan penulis atau wartawan yang dapat mencitrakan Bantaeng. Jikalau bisa, setelah acara ini kita buat buletin khusus yang wartawannya adalah peserta diklat,” kata Arfan dalam sambutan pembukanya.

Andi Harianto yang bertindak sebagai moderator, menjelaskan keterkaitan antara Hardiknas, jurnalistik dan Pemuda. Menurutnya, Ki Hajar Dewantara sebagai Bapak Pendidikan adalah penulis dan wartawan yang hebat. Ki Hajar telah menulis di berbagai media saat Ia masih berusia sangat muda.

Tulisan-tulisan Ki Hajar, telah terbit pada enam media dizaman Hindia Belanda. Umur beliau ketika itu 24 tahun. Lewat tulisan, Ia berjuang memajukan pendidikan pribumi. Hardiknas, jurnalistik dan Pemuda adalah sesuatu yang berkait,” ungkap Harianto, menjelaskan momentum acara ini.

Diklat yang dirancang dalam bentuk diskusi ringan ini, dihadiri 23 peserta yang diundang secara terbuka melalui facebook. Eka Nugraha, adalah salah satu fasilitator yang pada malam itu (1/5) memaparkan kaidah dasar jurnalistik. Eka yang juga wartawan Harian Fajar, Biro Bantaeng, banyak mengulas tentang pengalamannya sebagai reporter.

Dalam paparannya, Eka menjelaskan pentingnya 1 S (savety), selain 5W + 1 H yang menjadi prinsip penulisan berita. Menurutnya, syarat savety atau amannya berita bergantung pada terhindarnya opini wartawan dalam liputannya, juga pada sumber berita yang berimbang Opini dalam penulisan berita harus dihindari, karena wartawan hanya menuliskan apa yang dilihatnya berdasarkan sumber yang terkait dengan berita. Konfirmasi ke sumber sangat perlu dilakukan,” jelas eka.

Selain berkenaan dengan prinsip dasar menulis berita, Eka juga menjelaskan bagaimana membuat kepala berita, membuat judul yang menarik, aktual dan bernilai berita. Eka banyak memberi contoh berita yang pernah Ia tulis, salah satu di antaranya tentang kasus penculikan dan pemerkosaan anak yang lagi marak di Bantaeng. Pelaku Diduga Memakai Ilmu Hitam, adalah judul yang pernah ditulisnya di Harian Fajar.

Menurut Eka, berita itu mengambil sudut pandang pada pelaku yang diduga memakai Ilmu hitam. Tulisan itu membuat opini masyarakat berubah dan tidak hanya terpaku pada kinerja polisi yang belum mampu mengungkap pelakunya. “Wartawan adalah penentu opini masyarakat, makanya wartawan harus membuat berita yang benar,” ungkap Eka menyinggung sisi lain penculikan anak di Bantaeng.

Peserta diklat cukup antusias. Acara yang berlangsung mulai pukul 20.00 s.d 23.00 WITA ini, melahirkan banyak pertanyaan dan diskusi. Muhammad Anwar, salah satu peserta menyinggung prilaku wartawan yang citranya buruk. “Wartawan itu ditakuti, buktinya banyak pejabat yang bersembunyi ketika ada wartawan”, singgung Anwar melihat maraknya fenomena wartawan “bodreks” yang ditengarai biasa hanya memeras sumbernya.

Peserta lainnya, mempertanyakan bagaimana tips menulis yang baik. “Saya terkadang hanya mampu menulis satu paragraph, tetapi setelah itu buntu, bagaimana cara agar kita bisa menulis dengan lancar,” Tanya Asri, yang dalam perkenalannya ingin menjadikan menulis sebagai hobbi baru.

Pertanyaan ini dijawab Eka dengan menceritakan pengalaman menulisnya. Eka yang tidak pernah mengecap pendidikanilmu komunikasi ini mampu menulis berlembar-lembar setiap hari. Selain Eka, Harianto sebagai moderator dan Syahrul Bayan, Mantan Kabag Humas Bantaeng sebagai salah satu inisiator kegiatan, juga berbagi pengalaman menulis dalam diskusi itu. Harianto sebagai moderator menginformasikan, bahwa trik menulis, akan dibahas medalam pada materi malam berikutnya (2/5).

Di akhir acara, Arfan Doktrin sebagai inisiator dan juga pemilik Warkop Baling-Baling ini, mengusulkan agar setiap peserta membuat berita tentang acara diklat itu sebagai bahan latihan. Peserta juga menyepakati di buatnya Group Facebook “Bantaeng Menulis” sebagai wadah memposting tulisan, juga media saling berbagi informasi tentang tips-tips menulis.

08 Februari 2011

Jejak Tiga Kekaisaran Cina Penanda Kelahiran Butta Toa

Tiga Dinasty kekaisaran China telah menjadi penanda sejarah lahirnya Bantaeng. Kabupaten yang berada 120 KM dari Makassar ini, menetapkan hari lahirnya pada tanggal 7 Bulan 12 Tahun 1254.Tahun dimana Wayne A. Bougas, seorang arkeolog Amerika membuktikannya dengan temuan keramik yang berasal dari dinasti Sung yang berkuasa di daratan Cina tahun 960-1279. Selain Dinasti Sung, juga ditemukan keramik yang berasal dari Dinasti Yuan (1279-1368)

Adapun dinasti Ming, menandai kehadirannya dengan sebuah guci yang didalamnya terdapat bongkahan emas murni. Guci itu, kini masih terlihat di kubah Masjid Tua Tompong yang dibangun 1887 oleh Raja Bantaeng, Karaeng Panawang. Guci dari dinasti Ming yang telah mengukuhkan penyatuan Cina ini, dibawah sendiri oleh para pedagang Cina. Pedagang Cina di Bantaeng, telah bermukim pertama kali, di sebuah kampung yang bernama Lembang Cina.

Ambae.exe, seorang putra Bantaeng, dalam komentarnya terkait tulisan ini di kompasiana mengungkap versi lain tentang awal kedatangan etnis China. Menurutnya, berdasarkan sejarah, Bangsa China pertama kali berlabuh di Cidondong Parring-Parring yang terletak di Utara Bantaeng. Di tempat itu ditemukan berbagai artefak seperti guci.

Selain keterkaitan dengan Cina ini, Bantaeng juga tercatat dalam ekspedisi Mahapatih Gaja Mada.Tahun 1254 dalam atlas sejarah Dr. Muhammad Yamin, telah dinyatakan wilayah Bantaeng sudah ada, ketika kerajaan Singosari dibawah pemerintahan Raja Kertanegara memperluas wilayahnya ke daerah timur Nusantara untuk menjalin hubungan niaga pada tahun 1254-1292. Bantaeng tercatat dalam kitab negarakertagama dengan sebutan “buttayya ri bantayang”.

Bantaeng dulu, memang adalah pelabuhan tempat singgahnya kapal-kapal niaga. Penentuan autentik Peta Singosari ini jelas membuktikan Bantaeng sudah ada dan eksis ketika itu. Bahkan menurut Prof. Nurudin Syahadat, Bantaeng sudah ada sejak tahun 500 masehi, sehingga dijuluki Butta Toa atau Tanah Tua (Tanah bersejarah).

Temuan artefak sejarah dari Dinasti Sung, Yuan dan Ming, adalah jejak kehadiran bangsa Cina. Tidak hanya itu, Bantaeng yang juga disebut Bantayang oleh Majapahit dan Bonthaink oleh Belanda, di awal mula kerajaannya pada tahun 1254, disebutkan bahwa kerjaan ini mulanya dipimpin oleh mula tau yang digelar To Toa, kemudian digantikan oleh Raja Massaniaga. Raja ini memiliki seorang putri yang kembali menceritakan ke generasi saat ini, bahwa Bantaeng juga, bisa jadi bertalian kerabat dengan kaisar China. Apa betul?

Versi lain dari sejarah mengatakan bahwa yang menikahi Dala, putri RajaMassniaga adalah seorang pangeran dari Cina (Salam 1997: 24). Pernikahan ini dikaruniai kelahiran anak bernama Karaeng Loe. Kelahiran Karaeng Loe yang menjadi cikal bakal raja-raja Bantaeng, diperingati setiap pada 10 Sya’ban di tiap tahunnya dan disebut upacaraPa’jukukang. Hal ini memungkinkan, karena Karaeng Loe sendiri memerintah pada tahun 1293 – 1332, dimana dinasti Sung ketika itu sudah berkuasa di daratan cina mulai tahun 960M.

Versi lainnya lagi, adalah ketika Sawerigading, salah satu tokoh utama dalam epos terpanjang di dunia, La Galigo. Pangeran kerajaan Luwu ini, mengunjungi Bantaeng dan berlabuh di Nipa-Nipa, pantai Pa’jukukang, saat ini berada di jalan poros Bantaeng-Bulukumba. Di hari keempat, Sawerigading kemudian naik menuju Gantarang Keke, sebuah perbukitan di Kecamatan Gantarang Keke saat ini. Di sini, Sawerigading menikahi Dala, putri Bantaeng. Kerjaan Luwu sendiri adalah kerajaan tertua yang ada di Sulawesi Selatan.

Saweregading sebagai leluhur suku Bugis, sebagaimana dituliskan ditulis Cristian Pelras dalam ‘Manusia Bugis’, juga lekat dikisahkan perantauannya ke negeri Cina untuk meminang We Cudai yang dalam cerita itu sesungguhnya adalah saudara kandung dari Saweregading sendiri. Jikalau ini benar adanya, maka keterhubungan silsilah antara kekaisaran Cina dan Raja-Raja Bantaeng, menarik untuk dikaji kembali.

Berangkat dari kebenaran sejarah ini, eksistensi etnis Tionghoa telah menandakan bahwa pembauran Cina dan etnis pribumi baik melalui berdagangan dan berkawinan sudah ada sejak dahulu. Entah mengapa, saat sekarang ini apalagi di jaman Soeharto Etnis Cina terkesan ekslusif dan terasa sulit berbaur dengan pribumi. Kesenjangan sosial berkenaan dengan etnis ke tiga terbesar di Indonesia ini, telah berbuah kerusuhan di Makassar. Ketika itu, yang saya saksikan sendiri dengan tatapan ngeri pada tahun 1997.

Di Bantaeng, kerusuhan antar etnis tidak pernah terjadi. Bahkan keluarga Karaeng (keturunan Raja) menikah dengan Etnis ini. Bantaeng jaga adalah Kabupaten terbanyak (selain Makassar) yang dihuni Etnis Tionghoa. Setidaknya di daerah Selatan-Selatan, Propinsi Sulawesi Selatan. Menurut Ambae, Kota Kecil ini juga sering dijuluki kota Tionghoa.

Di Bantaeng, terdapat pekuburan Cina, kampung cina dan pasar yang didominasi oleh etnis yang memang ahli dalam hal perdagangan. Berbaur dengan penduduk lokal sangat jarang terlihat, walau demikian etnis Tionghoa ini berjasa menggerakkan perekonomian Bantaeng. Keramahan etnis Tionghoa, itu sudah pasti. Mana ada pedagang yang tidak ramah kepada pembelinya.

Sebagai orang yang bermukim di Bantaeng sekitar 5 (lima) tahun yang lalu, saya mengenal Bantaeng sangat kaya budaya, negeri elok dengan banyak lokasi wisata, mungil tetapi cantik berhiaskan pantai, pegunungan dan daratan. Sayur, Ikan, beras serta buah-buahan sangat mudah dan murah ditemui dan dibeli di tempat ini. Satu lagi, di sini ada perkebunan strawberry.

Gong Xi Fa Chae…..

Tulisan ini telah diedit, setelah sebelumnya dimuat di kompasiana.

Bantaeng, 5 Februari 2011

Bersama Pallu Kaloa, Serasa Pulang Kampung


Semua tersentak, kemudian riuh tepuk tangan membahana saat Barrack Obama spontan berucap “Pulang kampung, nih….” Kurang lebih 6000 undangan di Balairung UI saat itu, tehipnotis pesona Obama.

Saya sedikit menebak, bahwa lidah Obama saat itu, terbawa suasana makan malamnya dengan Pak Beye. Makan malam dengan kuliner khas Indonesia. Nasi goreng, bakso dan emping, adalah kesukaan Presiden Amerika ini, sewaktu masih bocah di Menteng Dalam.

Tak hendak saya mengupas tentang Obama, hanya ingin berbual tentang kesan ‘pulang kampung,’ saat beberapa hari lalu (16/12), bersama keluarga menikmati kuliner khas Bugis-Makassar, Nasu Pangi. Di bilangan Jl. Sultan Alauddin, tepatnya di depan, sebelah kanan Kampus Universitas Muhammadiyah Makassar, terdapat sebuah warung yang ramai pengunjung. Warung Pangkep, namanya. Pallu (masakan), Kaloa/pangi (Kluwak). Masakan Kluwak.

Pallu Kaloa, sama saja dengan Nasu Pangi. Satu dalam bahasa Makassar dan satunya lagi sebutan bahasa Bugis. Dua suku yang kini ‘menyatu’ dalam sebutan Bugis-Makassar. Sebagai orang Bugis, yang kini bermukim di wilayah Makassar (Bantaeng), Pallu Kaloa adalah masakan favorit nenek saya di kampung. Menyantapnya ketika itu, serasa ikan kakap sebagai bahan utama kuliner khas ini, membawa saya seolah mengintip dapur almarhum nenek saya, yang dulu memasak dengan kayu, dari ranting pohon jati.

Pallu kaloa, memang harus dimasak dengan kadar panas yang tinggi. Kayu jati atau puhon asam adalah penghasil bara api yang baik. Itu di kampung, sekarang gas elpiji 3 kg sudah bisa menyainginya. Sayang mudah meledak. Bisa berubah, mendadak jadi bom hijau. Pallu Kaloa yang berbahan ikan kakap, kelapa ½ butir, daun salam, biji pala, sereh, biji cengkeh dan bawang goreng ini, berbumbu khusus yang mebedakan rasanya dengan masakan ikan khas lainnya di Makassar. Semisal Pallu Mara, Pallu Kacci atau Pallu Basa.

Rahasia bumbunya, ada pada buah kluwak. Sama halnya dengan masakan Pindang Tetel, yang ada di kecamatan Kedungwuni, daerah Pekalongan. Makanan khas tersebut semacam rawon namun menggunakan ‘kluwak’ dengan tetelan daging (bukan tetelan pindang ikan) ditambah dengan sambal manis dan disajikan dengan krupuk ‘usek’ yang diremas. Lain di Pekalongan lain di Makassar. Pindang Tetel hanya saya rasakan nikmatnya melalui info Wikipedia, sementara Pallu Kaloa telah membuat rasaku mengawan kembali ke kampung, dimana pohon kluwak banyak tumbuh disana.

Pohon kluwak, dalam bahasa Bugis kami sebut sebagai aju pangi. Buahnya memiliki kulit yang keras membatu, ketika buah menjadi tua. Dulu, saya sering diminta nenek menanamnya di bawah tangga kayu rumah panggung kami. Setelah menunggu waktu 40 hari, baru digali kembali. Buahnya di bakar, kemudian dipecah, di campur dengan daun bawang, cabe, lalu di tumis. Jadilah sambel yang enak, mirip terasi. Sangat nikmat disepadankan dengan nasi santan.

Kluwak yang menjadi bumbu Pallu Kaloa bukanlah, buah yang tua, tetapi irisan buah yang muda. Buah kluwak ini kemudian ditumbuk halus sebagai bumbu utama. Satu porsi pallu kaloa, yang berisi belahan kepala ikan kakap, hanya seharga Rp. 20.000. Tumisan bawang, taburan gorengan kelapa, berpadu nikmat dengan aroma pala, lengkuas dan biji cengkeh.

Sedikit rahasia, walau masakan di warung ini enaknya bukan kepalang, tetapi tetap lebih nikmat masakan nenek saya di kampung. Mungkin karena psikologi Human Touch. Sentuhan manusiawi nenek saya ketika menghidangkan masakan ini telah memanjakan kami, para cucunya. Ikan di kampung sangat jarang, sehingga masakan ini hanya dapat kami nikmati saat kakek menerima gajian pesiunannya, dan singgah di pasar membeli ikan atau daging sapi. Pallu kaloa juga bisa berbahan utama daging sapi.

Ludes saya menghabiskannya. Sisa kepala ikan yang tak mampu dihabiskan istri dan putri bungsuku pun, saya embat. Ehe, semakin mengabsahkan saja diriku ini balala (sedikit rakus). Tak apalah. Kata kakek, jangan sisahkan makanan walau itu hanya sebiji nasi. Makanan adalah kehidupan, menyia-nyiakannya sama saja kita tak menghargai hidup ini. Sombong.

Tamasya kecilku bersama keluarga, minus putri sulungku karena lagi semesteran, telah menjadi kesan pulang kampung, walau tanah kelahiranku di Kabupaten Bone, masih sejauh 190 kilometer dari kota Makassar. Sebenarnya, tamasya itu hanya saya manfaatkan untuk menyenangkan keluarga. Tujuan utamaku sebenarnya, adalah menghadiri pertemuan kantor dan sekaligus mengikuti acara pembukaan Musyawarah Provinsi, di salah satu organisasi pemuda, dimana saya menjadi presidiumnya.

Semua adalah ‘sekaligus’, aji mumpung positif. Mumpung kendaraan lagi lowong, mumpung saya ke Makassar, mumpung ada pallu kaloa yang sudah sangat jarang saya nikmati. Tamasya mendadak bersama keluarga di sela kesibukan pekerjaan adalah nikmat tersendiri. Anak-anak merasa diperhatikan. Romantisme ‘berpacaran’ dengan mantan kekasihku, yang kini menjadi ibu dua putriku, terasa begitu lengket kayak perangko, harga 5000.

Bantaeng, 19 Desember 2010

Tulisan ini juga dimuat di kompasiana, meraih tulisan tervaforit untuk lomba My Holiday