05 Maret 2012

Legenda Batu Lakipadada



1319437087506554196
Patung Lakipadada Memegang Tombak di Tanah Toraja (Image:lovelyindo.wordpress.com)
Entah umurnya berapa ratus tahun, beringin itu tetap kokoh menjulang tinggi. Karena usia, beberapa bagian batang nampak lapuk. Tiga juntai akarnya yang kini telah berubah menjadi batang, terlihat seolah penopang yang memapah tegaknya pohon tua itu.

Tumbuh di antara banyaknya makam keluarga para raja, mejadikan kesan mistis melingkupi suasana. Seolah menjadi saksi, beringin itu tetap bertahan hingga kini sebagai penanda bahwa dalam teduh rerimbunan daunnya, terdapat banyak kisah di baliknya. Sebagian kisahnya tercatat apik dalam sejarah, tetapi lebih banyak bagian lainnya tersisa sebagai mitos yang melegenda. Di bawah pohon itulah, salah satu kerajaan tua di Sulawesi Selatan bermula.

Beringin tua, dimana Bantaeng bermula
Lokasinya terletak di tengah kota, dalam wilayah Kelurahan Pallantikang. Pallantikangjuga berarti “tempat pelantikan”. 

Di bawah pohon beringin itulah raja – raja Bantaeng dilantik oleh dua belas dewan adat yang dikenal nama Ada’Sampulonrua. Dewan adat ini, semacam legislator di masa lalu.

Terdapat dua batu penanda yang berada di bawah pohon raja itu. Batu pertama yakni batu tempat berdirinya calon raja ketika dilantik yang dinamakan pappuniagang

Satunya lagi, terdapat batu memanjang yang tidak terlalu besar. Batu sejenis Koral itu, kelihatan berpori. Kurang lebih ukurannya 60 centimeter. Batu legenda itu, tepat berada di bawah pohon beringin.

Batu memanjang mirip kepompong itulah yang hendak saya kisahkan karena berkait dengan sebuah nama yang juga adalah legenda beberapa kerajaan besar di jazirah Sulawesi, termasuk kerajaan Gowa, dimana Pahlawan nasional Sultan Hasanuddin pernah bertahta.

Batu itu tak bernama. Dilihat sepintas, juga tidaklah istimewa karena tidak berbentuk sesuatu sebagai sebuah mitos, seperti misalnya batu Maling Kundang yang berbentuk terkutuk. Walau tak unik, ataupun seram dari segi bentuk, batu itu dipenuhi potongan daun pandan dan kembang kertas. Bahkan terdapat wadah dupa pada batu pelantikan yang terletak di sebelahnya.

Jelaslah, batu itu dikeramatkan oleh sebagian warga Bantaeng yang mempercayainya. Nurbaeti, yang akrab saya panggil Karaeng (Kr) Beti, menceritakan mitos keberadaan batu yang berkait dengan nama LAKIPADADA, seorang tokoh masa lalu yang juga dipercaya menjadi mitos lahirnya beberapa kerajaan besar di sulawesi.

Disebutkan, bahwa Lakipadada adalah bangsawan dari Tanah Toraja, sebuah Kabupaten yang juga dikenal saat ini sebagai salah tujuan wisata paling terkenal di Sulsel. Di masa lalu, sang tokoh dikisahkan bersedih karena kematian saudara perempuannya. Paranoid dengan kematian, membuatnya merantau untuk mencari mustika berkhasiat hidup abadi. Mustika itu bernama Tang Mate (Tak Pernah Mati).

Siang yang beranjak makin terik, menjadi teduh di bawah beringin. Di tempat itulah Kr. Beti yang adalah cucu langsung Karaeng (raja) Bantaeng terakhir, Andi Massowalie mengisahkan legenda itu. Ia menceritakan Legenda Lakipadada versi Bantaeng.

Dikisahkan lisan turun temurun, bahwa batu memanjang itu adalah tempat dimana Lakipadada turun ke bawah tanah untuk mengambil pusaka Karaeng Bantaeng. Pusaka itu sejenis tombak yang bergelar ba’bala ejayya, yang berbalut kain merah di pangkal mata tombaknya.
1319437202224100105
Batu mirp kepompong, Leganda Lakipadada
Tombak itu sebelumnya dipinjam Lakipadada kepada karaeng untuk berburu babi hutan. Dikisahkan, bahwa raja sangat menjaga tombak pusakanya, tetapi karena Lakipadada yang juga memiliki kesaktian melebihi manusia biasa itu berjanji akan menjaganya dengan baik, maka diberikanlah kepadanya.

Singkat cerita, acara berburu itu pun berlangsung. Seekor babi ketimban tombak Lakipada. Sial baginya, tombak yang sudah menancap di punggung babi itu di bawa lari masuk ke dalam tanah, tepat di bawah batu memanjang itu. Tentu Lakipadada heran dan juga khawatir raja bakal murka karena tombaknya hilang di telan bumi.

Walau tak rasional, tetap saja saya serius mendengarkan cerita itu. Kr. Beti yang juga adalah Ketua Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Bantaeng, mengingatkan bahwa ceritanya hanyalah mitos, penanda sebuah peristiwa yang dilegendakan. Walau demikian, syarat sebuah mitos tentu dipercaya benar-benar pernah terjadi di masa lampau, setidaknya oleh yang empunya cerita ataupun pengikutnya.

biar kisahnya tak membosankan, saya menyingkatnya. Lakipadada yang juga memiliki kesaktian luar biasa ternyata memegang komitmen. Ia pun masuk ke dalam tanah dan ditemuinya sebuah istana megah. Di luar Istana ia mendapati para perempuan menumbuk padi, Ia pun bertanya bagaimana caranya bertemu dengan Raja. Dengan muka murung, perempuan itu pun berkata bahwa Raja sedang sakit. Tak seorang pun bisa menemui sang raja di pembaringan.

Tak kehabisan akal, Lakipadada menyamar jadi dukun. Pengawal istana kemudian mengizikannya untuk mengobati sang raja. Ia pun masuk ke bilik raja dan mendapati tombak ba’bala Ejayya tertancap di punggungnya. Ternyata Babi itu adalah jelmaan seorang raja yang bertahta di bawah tanah.

Sebelum mencabut tombak, ia kembali keluar dari peraduan raja yang kesakitan itu. Pada pengawal yang berjaga, ia berpesan, “ Janganlah kalian kaget, saat kalian mendengar baginda berteriak. Itu bertada obatnya bekerja”. Aha, akal cerdik Lakipadada berhasil. Ia tidak ingin pengawal kaget dan membunuhnya, karena menyakiti pasiennya saat mencabut tombak yang dipinjamnya.

Aneh, setelah mencabut tombak itu, raja pun sembuh. Oleh raja Ia diberi hadiah sebilah tombak yang mirip dengan Ba’bala Ejayya. Kembalilah ia ke hadapan Karaeng Bantaeng dan menyerahkan tombak itu. Tombak satunya ia pegang dan kemudian Ia bawa ke Kerajaan Gowa untuk petualanganselanjutnya.Tombak itu, bukanlah mustika keabadianTang Mate yang ia cari hinga jauh dari tanah kelahirannya. Adapun tombak kembarannya, tetap sebagai pusaka kerajaan Bantaeng dan masih tersimpan sampai kini.
1319437296189827466
Karaeng Beti, cucu Raja Bantaeng terakhir pengisah Lakipada
Lakipadada atau Karaeng Bayo yang selanjutnya ke tanah Gowa, dalam sebuah kisah menyebutkan bahwa Ia mempersunting putri Raja Gowa, dan selanjutnya menjadi raja. Dalam satu sumber, saya menemukan beberapa versi yang berbeda.

Ada yang menganggap bahwa Karaeng Bayo, juga adalah nama lain Lakipadada. Tetapi dalam versi yang lain, bahwa Karaeng Bayo adalah saudara atau teman Lakipadada yang bersamanya ke Gowa. Karaeng Bayo itulah yang menurunkan raja-raja selanjutnya di Kerajaan Gowa.

Di Bantaeng, Lakipadada juga dikenal dengan karaeng to terang-terang, atau orang yang kakinya dipenuhi tiram. Dalam mitos yang disepakati beberapa budayawan, disebutkan bahwa Lakipada yang sakti mandraguna ini, dalam perjalanannya bergelantung di kaki burung Kuwajeng, sejenis  burung Garuda.

Sang Kuwajeng kemudian menjatuhkannya ke pantai. Dalam perjalanan selanjutnya, Lakipadada berjalan kaki menyusuri pantai hingga sampai ke Bantaeng. Kakinya dipenuhi tiram (terang-terang) karena lamanya Ia berjalan. Memang banyak gelaran terhadapnya, ia juga berjuluk to tetea ri jennek (orang yang berjalan di atas air) atauManurungge Ri Jennek (Orang yang turun ke atas air).

Budayawan Sulsel,  Prof Dr A.Zainal Abidin, memberikan analisis sejarahnya. Bahwa Karaeng Bayo yang dimaksud (entah Lakipadada sendiri atau saudaranya) juga bernama Patta La Bantang. Tokoh inilah yang pertama menemukan Bantaeng, yang kemudian ke Gowa dan menjadi raja di sana. Dari namanya, memang terkesan identik dengan nama Bantaeng, walau dalam penuturan yang lain, nama Bantaeng dalam versi Kr. Imran Massowallie berasal dari nama sebuah pohon, yakni pohon Taeng.

salah satu situs di Pallantikang
Sekali lagi nama Patta La Bantang menuai versi yang berbeda. Dalam silsilah kerajaan tradisional Toraja menyebutkan bahwa Patta La Bantang atau La Bantan yang di maksud adalah anak dari Lakipadada, hasil perkawinannya dengan putri raja Gowa. 

Disebutkan dalam tulisan itu, bahwa Lakipadada memiliki tiga orang putra yang masing-masing menjadi raja di Luwu (Patta La Bunga), Gowa (Patta La merang) dan Toraja sendiri (Patta La Bantan).

Sayang memang, lakon tokoh Lakipadada hanya dituturkan lisan turun temurun. Tidak ada manuscript berupa kitab kuno atau pun prasasti yang menuliskannya, sehingga terjadi kesimpan siuran sejarah. Perlu ditelusuri lebih jauh tentang tokoh fenomenal ini.

Ada pun diakhir cerita, ternyata Lakipadada tak menemukan mustika yang dimaksud, sehingga hidupnya tidaklah abadi. Keabadiannya adalah kisahnya yang sampai saat ini terus diceritrakan.

Berbeda halnya dengan tokoh Saweregading , tokoh dari kerajaan Luwu, Sulsel yang juga dipercaya sebagai leluhur Bugis-Makassar ini tercatat dalam sebuah kitab kuno. Kisah Saweregading terangkum dalam manuscript epos Lagaligo. Epos ini adalah kitab terpanjang di dunia, mengalahkan Epos Mahabarata di India.
*****
Catatan : Tulisan ini sangatlah dangkal, kebenarannya sangat patut diverifikasi. Kepada pembaca dimohon koreksinya. Tulisan ini juga telah di publish di Catatan Facebook, 17 Agustus 2011 dan Kompasiana.com.
Bantaeng, 24 Oktober 2011


22 Februari 2012

Kumuhnya Asrama Prajurit Kita *)

HL | 08 February 2012 | 11:10830 52  3 dari 3 Kompasianer menilai aktual


13286727971137151646
Image:http://purnamatunggal.org/berita-190-sejarah-tentara-nasional-indonesia.html
Pembawaannya asyik, tak mirip seperti tentara kebanyakan yang jika bicara mirip senapan dikokang. Sebut saja namanya Pak Ramang, karena jikalau menyebut nama aslinya, bisa Ia dijewer komandannya karena menjadi narasumber rahasia saya. Pangkatnya saya tak tahu, karena memang beliau warga baru di kompleks kami.

Strata kepangkatan di TNI dan Polri memang saya tak paham, kecuali pangkat Briptu Polri yang pernah disandang Norman Kamaru. Artis dadakan itu sekarang telah dipecat di kesatuan Brimob karena ingin fokus bergoyang chayya chayya. Polisi sekelas Briptu saja sudah berjaya, walau itu dangdutan.

Pangkat Jenderal bintang lima Soeharto, juga tak saya lupa, karena andaikan ada jenderal bintang tujuh, mendiang presiden kita itu juga bisa menyandangnya dengan mudah, biarpun rakyat harus sakit kepala. Konon, pangkat menantunya saja didongkrak berkali-kali. Saat Pak Harto berkuasa, tentara berjaya.

Pak Ramang bertugas di Kostrad, divisi Lintas Udara (Lanud) Hasanuddin. Beliau pernah bertugas meredam bara konflik di Aceh sebelum perdamaian Helsinki, juga pernah menjaga perbatasan di Papua. Singkatnya, beliau punya pengabdian cemerlang membela tanah air tercinta.
Foto lawas, prajurit lagi berlatih
Semalam, bersama empat tetangga lainnya kami berbincang santai sambil ngopi. Sebagai tuan rumah, tentu saya tak mau mengakhiri sepihak perbincangan kami walau jam sudah menunjuk separuh malam. Pak Iwan montir sepeda, tetangga saya lainnya, sudah terlihat sembunyikan kantuk. Tak beranilah dia pulang, karena tentara lagi bicara.

Pak Ramang yang ternyata sering ditugaskan sebagai koki karena terbilang junior di kompinya itu, memang begitu bersemangat berkisah tentang tugasnya di Aceh dan Papua. “Ditugaskan untuk berperang adalah kehormatan bagi setiap prajurit, Pak” ungkapnya bersemangat sambil menerawang, seolah mengingat kontak senjata yang pernah ia lakoni di tepian sungai, di daerah Aceh Timur.

Sayang yah Pak, kita melawan rakyat sendiri…….” Kata saya, nyeletuk, tak sengaja. Pak Ramang hanya tersenyum, saya jadi khawatir pasukan elit yang pernah (harus) memakan ular piton sebesar paha itu akan tersinggung. Ternyata tidak, “ he, he, he, karena tugas Pak!”, ungkapnya singkat. Sepertinya, pertanyaan ceplos saya sulit dijawab.

Usai kisah perang, nyambung ke bincang bangunan. Pak Ramang yang juga jago memasang batu bata rumahnya sendiri berkisah tentang kokohnya Asrama Kariango, Sulsel. Di barak yang terletak di Kabupaten Maros itulah kini ia bermukim sendiri saat bertugas. Asrama yang pembangunannya di komandoi almarhum Panglima M. Yusuf itu masih sangat kuat hingga kini.

Istri Pak Ramang tinggal dan bertugas sebagai PNS di Bantaeng. Setiap sabtu atau saat libur, sepanjang 130 km dari Kabupaten Maros, ia harus memacu motornya ke Bantaeng, kembali melepas rindu ke pangkuan “ibu pertiwi”.
13286730951267872527
Walau sengnya berkarat, Asrama ini masih tetap hijau
Mungkin, karena kuatnya bangunan panglima itu, rumah dinas yang ditempati komandan saya sampai sekarang tidak juga di rehab”. Kata Pak Ramang, terkesan satir.

Saya menyelidik, serasa ada kekecewaan di hati Pak Ramang. Serasa ingin Ia mengungkap bahwa prajurit di era korupsi ini tak lagi diperhatikan. Bahkan bangunan untuk tempat komandannya saja belum pula direnovasi. “Bagaimana keadaan prajurit di barak-barak tentara Pak?” Saya memancingnya untuk berkata “kecewa”, tetapi ternyata beliau tentara sejati. Tak Ia layani pertanyaan saya, dia hanya tersunging manis dalam ukuran senyum tentara.

Anggapan saya, Pak Ramang tak mau menjelekkan Negara yang ia cintai dan bela ini dengan kata protes darinya, walau sempat juga ia berkata santai sambil tertawa renyah, bahwa semenjak George Toissuta jadi Pangkostrad, tak ada lagi hadiah lebaran buat tentara.

Mungkin Pak Josh tak ingin memanjakan kami-kami ini”, ungkapnya sambil tetap tak mau menyalahkan komandannya. Ryamizard Ryacudu, adalah Komandan yang menurutnya paling hebat. Bagi saya sih, paling seram. Ryamisard menurutnya memiliki banyak inovasi serta pintar mendorong prajurit agar tak gentar di medan laga.

” biarpun alutista yang kita miliki minim, tapi jangan pernah ragukan kemampuan dan semangat prajurit saya “demikian salah satu kalimat yang pernah diucapkan Jenderal Ryamizard, seperti yang saya kutip di SINI.
13286732051482276345
Salah satu rumah dinas mantan prajurit, yang kini ditempati keluarganya
Yah, mereka para bala tentara saat sekarang ini memang tak seperti ketika dwi fungsi ABRI berlaku. Prajurit tegap itu diharuskan kembali ke barak oleh “paksaan” gerakan mahasiswa tahun 1998.

Barak tempat mereka kembali, ternyata juga tak dibuat nikmat. Kesan kumuh dan rapuh terlihat dibeberapa asrama tentara.

Kalau rumah dinas komandan Pak Ramang belum pula dibenahi hingga kini, sama halnya dengan rumah Komandan Kodim di Bantaeng. Terlihat rumah bekas bangunan kompeni itu memang tetap kokoh, tetapi temboknya mulai terkelupas. 

Kantor kodim juga demikian adanya, terlihat nampak tua dan lelah, kata lagu Iwan Fals.

Cat asrama dan kantor tentara juga tak berubah, hijau kombinasi hitam yang nampak suram karena mungkin jarang dicat ulang. Saran saya, kalau bisa cat kantor itu dirubah merah atau pink biar lebih jrengg. Eits, ada yah asrama tentara berwarna merah jambu, saya kok jadinya ngaco bin ngelantur.

Sejak kecil saya benci tentara karena (takut). Melihat loreng saja saya sudah ngumpet sambil nunggingdi kandang milik si Babon, ayam betina saya kala bocah dulu. Kini, saya kasihan setelah melihat sendiri bagaimana keadaan Asrama Kalokko, Bantaeng, kota tempat saya bermukim. Hanya beberapa biji rumah yang terlihat layak, lainnya hanya berdinding batu setengah-kayu setengah. Pagarnya dari bambu atau kayu yang nampak lapuk.

Di Asrama Kalokko, beberapa istri tentara menjual kue atau barang campuran. Tanah kosong di belakang asrama, meraka jadikan empang dan kebun sayur. Pak Ramang cukup lumayan, karena tentara beranak satu ini telah mencicil rumah tahun ini. Harga rumah di komplek saya memang murah, karena itu saya nyempil di kompleks RSSSSS ini.
13286734011024755203
Empang ikan Nila, milik Kodim Bantaeng
Tak mau saya berbicara tentang kesejahteraan tentara sama Pak Ramang, karena sepertinya beliau kurang berminat. Baginya, tentara adalah hal membanggakan, apa pun keadaannya. Setiap sore bulan ini, saya melihat banyak loreng tercebur di empang milik Kodim Bantaeng karena para tentara itu lagi membenahi empang yang baru saja disemai bibit ikan nila, buat gizi para prajurit tentunya.

Andaikan kantor DPR yang menentukan anggaran prajurit, juga memiliki empang seperti Kodim Bantaeng, tak perlulah mereka memakan daging peninggi kolesterol dari nasi kotak yang dikonsumsinya tiap hari. Andaikan benar lansiran ICW bahwa ada banyak rekening gendut milik para jenderal, maka menjadi miris melihat kondisi asrama tentara di daerah.

Beranikah KPK mengungkap rekening gendut itu, kalau saya sih tak berani, walau ada kawan saya bilang, wajah saya paduan antara paras Abraham Samad dan Bambang Widjayanto. Andaikan Abraham betul-betul berhasil mengungkap rekening gendut itu, semoga uang korup itu diperuntukkan melepas tentara dari garis (seolah) kemiskinan.

Serdadu seperti peluru // Tekan picu melesat tak ragu//Serdadu seperti belati//Tak dirawat tumpul dan berkarat………...(Penggalan lagu “Serdadu“, Iwan Fals)

*) Diteribitkan ulang, setelah sebelumnya Headline di kompasiana.
Bantaeng, 7 Februari 2012

19 Februari 2012

Bisnis Menggoda Si Tukang Balon

HL | 31 January 2012 | 11:05

725 38  3 dari 6 Kompasianer menilai menarik

1327981331790979526
Godaan Balon Udara
Mengapa yah, pakaian anak sekecil itu harganya mahal. Pula saya membenak, pakaian perempuan kok banyak gayanya. Setiap waktu, trend berpakaian mode terbaru memenuhi majalah wanita. Mainan para bocah sungguh laris, pakaian dan kosmetik ibu-ibu butuh lemari tersendiri. Sebagai lelaki saya protes, setahun palingan beli selembar-dua lembar pakaian. Terkadang menjelang lebaran, saya kayak anak-anak saja.

Adakah yang bisa mendiamkan tangisan melolong si kecil saat mengamuk minta mainan? di tempat ramai pula. Malu rasanya tak membelikannya, saat anak tersayang memaksa (setengah histeris) minta uang beli balon. Jangan protes istri Anda yang senang berbelanja, karena memang itu urusan perempuan. Konon, istri politisi dan para artis, buat sekadar beli parfum harus jauh-jauh ke Paris.

Aha, Pak Heri si tukang balon udara, sabang hari memberi saya kiat bisnis menarik.

“Siapakah yang paling banyak menghabiskan uang?”
“Orang kaya”
“salah!”
“Siapa Pak?”
“Perempuan dan anak-anak”
13279814781966050882
Pak Heri Mengoperasikan Tabung Balon Gasnya
Orang kaya atau pun pengusaha, malah irit keluarkan uang, semua serba dihitung karena mereka tahu bagaimana sulitnya mencari sepeser rupiah. Perempuan memang senang berbelanja, modenya butuh biaya. Memang perempuan mengurusi sesuatu yang “dikeluarkan”, ada pun lelaki dapat jatah “memasukkan”

Anak sedari bayi, sudah dibelikan pakaian tercantik sebab rasa kasih yang mendalam, walau sebulan saja pakaian itu tak cocok lagi. Bahagia kelihatan si ibu jika momongannya berpakaian indah dan lucu yang semenit kemudian basah karena pipis.

Anak disayang malah semakin menjadi, manjanya tak ketulungan. Tak dihiraukan, bisa meraung, menangis tak henti hingga ingusnya pun meleleh. Karena sayang, terpaksa si ibu membelikannya mainan. Sebentar saja, mainan rusak pula.

Demikian kira-kira teori Pak Heri tentang berdagang yang saya modifikasi dengan bahasa sendiri. Maklum, penjual balon yang sehari-hari mangkal di sekolah taman kanak-kanak dan rumah sakit itu hanya tamatan sekolah dasar. Bahasa Indonesianya tak memenuhi standar Ejaan Yang Disempurnakan (EYD).

Dilihat dari pakaiannya, kita tak bakal menyangka bahwa Bapak yang pernah merantau ke beberapa daerah ini ternyata memiliki anak yang bisa Ia kuliahkan. Beliau juga harus berbuat adil untuk dua orang istri yang memberinya sembilan anak. Wah, subur juga Pak Heri ini.
13279819636803116
Nah, liat. Ibu-ibu pun berebutan balon
Tak juga saya menyangka, laba menjual balon yang sering membuat anak-anak menangis ini ternyata sangat lumayan. Saya pun heran kenapa Ia menceritrakan rahasianya kepada saya, mungkin dia tahu bahwa saya tak mungkin menyainginya menjual balon. Tak tahulah dia, bahwa saya pun menyukai sesuatu yang menggelembung.

Siapa tak senang jikalau usaha “ringan” seperti itu mendatangkan untung menggelembung, hanya modal se-gope’ dapat segepok. Bisnis balon yang pasarnya anak ingusan itu memang ampuh memaksa kasih ibu ke anaknya berubah menjadi lembar rupiah untuk si tukang balon. tak lebih dua hari kemudian, si balon telah berubah menjadi sampah plastik yang sulit terurai.

13279818562020638470
Tabung Gas Malaysia, ternyata jauh lebih kuat.
Ternyata, modalnya hanya tabung gas LPJ, Soda Api, kaleng minuman kemasan, balon dan tentunya sepeda motor untuk membonceng. Tabung gas itu Ia dapatkan dari keluarganya yang merantau ke Malaysia.

Kata Pak Heri, tabung gas Malaysia lebih tebal, besar, tak mungkin meledak dan bisa mengisi 30 – 40 balon gas. Tabung Indonesia tak perlu dicerita, karena beritanya sering meledak. Lagian tabung biru Indonesia itu, hanya berkapasitas 5-10 balon.

Wouw! ternyata gasnya, juga tak dibeli. Pak Heri yang memiliki cacat bawaan pada kakinya karena panyakit folio ini hanya membeli kaleng minuman berbahan aluminium. Ia mencipta gas sendiri dengan memasukkan soda api, kaleng dan air kedalam tabung kedap udara.

Ujung selang untuk mengisi balon pun, hanya ujung pulpen. Butuh waktu setengah jam, gas buatan sudah siap dan balon yang modalnya hanya Rp. 2000 itu pun terjual Rp. 10.000 untuk jenis balon udara yang berbentuk tokoh kartun anak-anak.

Gambar Ipin dan upin kartun Malaysia paling digemari anak-anak, juga ada model Sponge Bob, spiderman, barbie dan lainnya. Model kartun Indonesia seperti Si Unyil tak ada. Kenapa yah?

Pak Heri bisa menjual sehari sampai 50-an balon, cukup menguntungkan bagi saya dan benarlah kata beliau bahwa bisnis yang berhubungan dengan anak-anak dan perempuan memang meraup laba menggiurkan. Satu saya herankan, kenapa orang bersuku Bugis yang juga menikah dengan orang bersuku Makassar ini bisa menjual balon, setahu saya penjual balon atau pun mainan anak akrab dipanggil “Mas!”.

Iya, penjual mainan anak yang berdagang keliling di Sulawesi ini banyak dilakoni para perantau kreatif dari tanah Jawa. Demikian pula penjual makanan seperti bakso, nasi goreng, mie pangsit, dan sari laut akan berbeda rasanya jikalau bukan racikan dari para Mbak atau Mas. Para Daeng, dalam berdagang bisanya berkapasitas truk, seperti hasil bumi, sapi, kambing dan bahan bangunan.

saya memang belajar dari orang jawa Pak” kata Pak Heri yang tak mau pelit berbagai rahasia kalau ada yang bertanya, karena menurutnya, dia pun diajarkan seorang yang baik hati bagaimana  cara membuat balon gas. Usaha yang merubah hidupnya ini ditemukan saat Ia merantau ke kota Kendari.

Sulitnya, orang Makassar itu inginnya yang besar-besar, padahal yang ringan seperti balon gas pun untungnya lebih banyak daripada sekarung jagung” sambung Pak Heri mengeluarkan jurus bisnisnya.
Penjual balon yang awalnya saya kecele memanggilnya “Mas” ini, berbincang denganku saat saya memesan balon untuk ulang tahun ke 10 dan ke 6, dua putri kecil kesayangan kami.

Ternyata, Pak Heri juga tak protes kalau dipanggil “Mas” harusnya kan panggil “Daeng” atau “Pak” saja karena dia bukan dari Jawa. Kenapa Ia tak protes?

Kalau orang memanggil saya, Mas! maka orang tahu kualitas balon itu pasti bagus” kata Pak Heri dalam bahasa Indonesia bercampur Bugis.

Belajar dari yang melakoni seperti Pak Heri, akan lebih detail daripada hanya seorang teoritis seperti saya. Ia tahu seluk beluk bisnisnya, bagaimana strateginya, karena telah menjalaninya bertahun-tahun. Usaha yang pasarnya perempuan dan anak-anak layak untuk diadaptasi. Usaha apa yah? “ Setiap Orang Adalah Guruku, Setiap Tempat Adalah Sekolahku”.
Bantaeng, 31 Januari 2011
1327982404776573230
Selamat ulang tahun Nak! Sangat dalam kasih ayah kepadamu……

Karena Pesona Pohon Kerdil Karena Pesona Pohon Kerdil


1327893782202855479
Mame Si Bonsai Mini
Segalah apa yang di bumi, dicipta Tuhan bagi manusia untuk dikelola dan dikembangkan buat kehidupan sebagai manfaat. Keindahan atau pula keunikan pada lekukan cabang, akar yang menjalar serta batang yang seolah tua adalah manfaat bagi jiwa yang gersang, penenang hati saat memandangnya serta decak kagum buat kretifitas penggiatnnya.

Anggapan saya, para penggiat bonsai itu penyiksa tanaman, itu dulu. Keharusan menggunting setiap bakal pucuk yang hendak menanda matahari, adalah tindak sedikit kejam bagiku, demikian pula kegiatan melilitkan kawat ke cabang-cabangnya, seolah seperti cengkraman menyiksa buat pohon yang hendak bertumbuh. Duh, kasian.

Estetika, adalah manfaat buat manusia, demikian kesabaran yang perlu dimiliki para penggiat bonsai juga bagian dari nilai hidup yang penting. Persepsi saya tentang ‘penyiksa’ tanaman berubah saat saya pun mulai memuliakan tanaman kerdil ini. Dari semua tanaman hias, bakal bonsai paling tersayang.

13278938831423064149Sebenarnya, penggiat bonsai adalah pencinta fanatik. Kerelaan menerobos hutan, memanjat tebing, serta menyusuri tepian sungai demi sebatang bakal bonsai adalah petualangan tak biasa. 

Ular, biawak, nyamuk dan binatang jelek lainnya terkadang jadi pengaget yang memang menakutkan tetapi menyisahkan cerita seru yang kadang lucu juga kadang menyeramkan.

Tanaman yang sejatinya berbatang raksasa tetapi direkayasa menjadi mini ini, indahnya tak bisa nampak sekejap. Para penggemarnya harus menunggu dalam hitungan tahun. 

Semakin tua pohon kerdil itu nilai estika serta keunikannya juga semakin tinggi, harganya pun semakin melangit.

Tahukah Anda, bahwa para penggiat bonsai bisa mewariskan tanamannya, bisa jadi si bonsai tersayang umurnya lebih panjang dari pemiliknya.

Jiwa petualang, kreatifitas, kesabaran serta semangat menghijaukan bumi adalah peran para penghobby bonsai yang mulanya dikembangkan di negeri Sakura Jepang ini. Anda akan merasakan kecintaan yang dalam saat bakal yang ditanam sudah mulai menampakkan lekukan uniknya, juga rasa memanjakan yang “terlalu”, saat bakal pohon baru dipindah ke wadah baru. 

Setiap terbangun dipagi hari, Anda bakal keluar halaman dan menanyakan kabar, apakah nyenyak tidurnya Si Mini semalam.

Sedikit gila memang, tetapi itulah tanaman yang hijau daunnya memang membuat kita jatuh cinta, lekukan batangnya membuat kita rindu segera pulang menyiramnya. Jikalau bonsai adalah jenis yang berbunga seperti Biraeng atau pun berbuah seperti jeruk kingkit, tak bakal kita biarkan orang lain memetiknya. Biarkan ia jatuh sendiri, tidak karena campur tangan para bocah jahil yang tak memahami cinta gila itu.
13278941671967671279
Beringin Memeluk Cadas
Ketika Anda berkenan berkunjung ke halaman sempit dan taman jelek saya, tak bakal ditemukan bonsai indah. Baru setahun lalu saya mulai menggelutinya, belum ada yang benar-benar telah jadi bonsai idaman. Karena kesabaran tak terlalu baik, saya terkadang bosan menanti cabangnya berkembang terharapkan.

Karena juga jiwa seni sungguh jongkok, saya pun sering salah memotong (cutting) daun ataupun menekuk cabangnya dengan kawat. Anda tahu, tak ada bonsai yang mirip, karena itu Ia khas. Terkadang kita ingin membentuk batangnya seperti visi kita, ternyata bakal bonsai tetap bertumbuh sesuai keinginannya. Terkadang kehendak pohon itulah yang membuatnya indah walau tanpa intervensi pemiliknya.
13278942341662922642
Tamarin, Erasa, Dollar dan Barana
Buat Anda yang baik hati, biarkan saya sedikit pamer. Terdapat empat jenis beringin di halaman saya, dua batang jeruk kingkit, tiga pohon tamarin, sebatang adelia, erasa’, kolasa’ dan juga sebatang pohon dollar.

Maaf No Sale, karena memang semua bakal bonsai itu sama sekali tak berharga, karena juga pemiliknya tak lebih seorang amatir.


Jikalau anda ingin menyumbang oksigen buat bumi tempat kita ini manusia sombong mengangkanginya, bertanamlah! Pohon memberi nafas bagi hidup ini.

Hadirkan tanah gembur, minimal di pot-pot kecil kita sebagai pertanda bahwa kita berkhidmat pada asal darimana kita tercipta.

Polusi semakin parah, lapisan ozon semakin bolong, debu penyakit beterbangan. Biarkanlah daun dari pohon yang kita tanam melindungi kita. Bertanamlah! Tanganmu adalah sumber air dan nafasmu udara segar. Go Green!
Bantaeng, 30 Januari 2012
Telah dipublish dan Headline di Kompasiana, 30 Januari 2012

Di Bantaeng, Etnis Tionghoa Dianggap Warga Asli

Imlek, jejeran toko sepanjang Jl. Manggis sepi
Sehari kemarin (23/01/12), Imlek dirayakan tak demikian semarak di kota kecil kami, Bantaeng, Sulsel. Tak nampak lampion menghiasi kawasan Jl. Manggis atau pun sepanjang Jl. Mangga, yang walau tak kami sebut wilayah Pecinan, tetapi disepanjang jalan itulah etnis Tionghoa berdagang sekaligus bermukim.

Malam sebelumnya, hanya sesekali terdengar dentuman petasan atau pun kilatan indah kembang api. Tentu kita semua tahu, bahwa penjual kembang api yang mulanya diciptadi daratan China itu sudah menjadi bahagian dari perayaan etnis Tionghoa yang di Bantaeng sesungguhnya telah bermukim sangat lama.

Temuan keramik Cina yang tertua berasal dari Dinasti Sung dan Yuan yang berkuasa di daratan China antara tahun 960-1368. Dari beberapa sumber, Etnis Tionghoa diperkirakan sudah ada di Bantaeng sejak abad ke 12. Para perantau yang hebat dalam berniaga ini, pertama kali bermukim di kampung yang bernama Lembang Cina yang berposisi dekat pantai.
1327552383587088438
Gua Batu Ejayya, dimana ditemukan keramik peninggalan dinasti Sung

Ternyata, Tahun baru Cina kali ini sudah yang ke 2563, ini jauh lebih tua dari tahun baru Masehi atau pun tahun baru Islam yang waktunya dirayakannya hampir berhimpitan. 

Imlek yang juga berkesesuaian dengan Shio Naga Air ternyata memang menyemburkan angin kencang bercampur air hujan. Banyak ranting pohon yang patah. Selembar seng atap rumah milik Daeng Sapo’ tetangga saya, juga di terbangkan angin.

Imlek di kota saya tidak pernah dirayakan gegap gempita, kecuali dua tahun lalu dihadirkan tarian baronsai. Daeng Iwang, warga bersuku Makassar yang juga membuka bengkel sepeda di persimpangan Jl. Mangga mengatakan, bahwa prosesi Imlek di Bantaeng memang tak dinampakkan kecuali pembagian ampao untuk anak-anak kurang mampu, bermain gaplek dimalam hari serta ritual sembahyang untuk leluhur.

Saat melewati Jl. Manggis di hari Imlek kemarin, saya menyaksikan antrian anak-anak menerima ampao di toko milik A Hong dan juga rumah Baba Ciang. Karena hari raya Imlek, juga bermakna ritual bagi etnis Tionghoa, maka mungkin angpao adalah bahagian dari bagi-bagi rejeki untuk menyambut hoki tahun selanjutnya.

Akh, sayang, saya tak bertemu dengan Gozal langganan bahan bangunan saya pada hari itu. Mungkin kalau berjumpa akan ada ampao buat saya dan saya pun bisa bertanya lebih jauh tentang mengapa mereka tak merayakan Imlek semeriah mungkin agar kami saudara sebangsanya dari etnis Bugis dan Makassar bisa ikut menikmati dan menghormati perayaannya.
Diminta antri, anak-anak malah berkerumun menunggu angpao
Gozal yang adalah pemilik Toko Pelita Jaya di seputaran pasar baru Bantaeng, adalah generasi ke empat pelanjut usaha milik buyutnya. Karena baru sekitar tujuh tahunan saya bermukim di kota yang penggerak utama ekonominya adalah etnis Tionghoa, saya tak menyangka Gozal dan etnis Tionghoa lainnya ternyata tak sedikit pun berbicara dengan dialek a’ hayaaaaa’.

Seperti disebutkan sebelumnya, bahwa etnis minoritas Tionghoa yang ada di Bantaeng sudah sejak lama ada di Bantaeng, bahkan versi sejarah menuliskan bahwa yang menikahi Dala, putri RajaMassaniaga adalah seorang pangeran dari Cina (Salam 1997: 24). Pernikahan putri Karaeng (raja) Bantaeng ini dikaruniai kelahiran anak bernama Karaeng Loe.

Karaeng Loe sendiri menjadi cikal bakal raja-raja Bantaeng dan diperingati setiap pada 10 Sya’ban di tiap tahunnya dan disebut upacara Pa’jukukang. Hal ini memungkinkan, karena Karaeng Loe sendiri memerintah pada tahun 1293 – 1332, dimana dinasti Sung yang keramiknya ditemukan di Bantaeng ketika itu sudah menjadi kaisar di daratan Cina sejak tahun 960M.

Walau sejarah itu masih perlu diverifikasi lebih dalam, setidaknya Bantaeng memang sudah menjadikan etnis Tionghoa sebagai bahagian dari warga asli daerah penghasil sayur, ikan dan buah-buahan ini.Menurut Daeng Ngiwang yang sering berinteraksi dengan Etnis Tionghoa karena bermukim sejak kecil di wilayah Jl Mangga, bahwa etnis ini juga memiliki sawah dan kebun yang diserahkan penggarapannya kepada orang desa.

Sepanjang pengetahuan saya, tidak pernah saya temukan orang Cina membeli beras” kata Daeng Ngiwang, membenarkan bahwa para orang Tionghoa mengkonsumsi beras, sayur-sayuran bahkan ikan dari sawah, kebun atau empang milik mereka sendiri. Bahkan, distributor jagung kuning yang menjadi andalan Kabupaten Bantaeng juga dilakoni etnis yang memang unggul dalam hal perniagaan ini.

Bukti bahwa etnis Tionghoa adalah penyedia beragam kebutuhan warga Bantaeng, terlihat saat sehari sebelum Imlek. Saya kesulitan mendapatkan tabung gas serta harus berputar-putar demi mendapatkan selang dan paku untuk keperluan renovasi kolam kecil saya di hari libur kemarin.

 Toko-toko pada tutup, kecuali dua toko bangunan milik orang beretnis Bugis dan milik orang beretnis Mandar. Itu pun dengan harga yang sedikit lebih mahal.

Kecemburuan sosial berkenaan dengan dikuasainya asset-aset ekonomi rakyat beretnis asli mungkin pernah terasa, tetapi tidaklah bisa disalahkan karena memang etnis Tionghoa hanya ahli di bidang usaha dagang ini. Interaksi yang cukup panjang antara Tionghoa dan warga Bantaeng yang mayoritas beretnis Makassar membuat kecemburuan sosial ini teredam dan tak pernah terjadi kerusuhan.

Beberapa etnis Tionghoa ada yang menganut agama Islam dan Kristen, bahkan beberapa juga menikah dengan orang Bantaeng. Keturunan karaeng (raja) Bantaeng pun ada yang menikah dengan perempuan etnis Tionghoa ini. Dari sisi bahasa, dialek dan interaksi, bisa dibilang bahwa Etnis Tionghoa yang ada di kota saya adalah penduduk asli Bantaeng.

Akhirnya, walau terlambat - buat saudara saya sebangsa dari etnis Tionghoa saya ucapkan Go Xi Fa Cai, Go Xi Fa Sin, Selamat semoga banyak rejeki di tahun naga air ini. Semoga air hujan tak membuat kota kita menjadi banjir dan juga angin tak membuat robohnya tembok bangunan yang mengharuskan toko bahan bangunan milik A’ Tang ramai mendapat pelanggan.
HAPPY CHINESE NEW YEAR.
Bantaeng, 25 Januari 2012

16 Februari 2012

Irex Sinjai, Jangan Pulang Sebelum Magrib

Kado khusus buat papa
Setiap saya ke Sinjai, Lappa dan Irex selalu saja menggoda untuk dinikmati. Lappa adalah tempat dimana pelalangan ikan terbesar di Sulsel berada, sementara Irex adalah nama yang awalnya membuat saya tersenyum “ehm” .

Mendengar kata Irex terbayang penggalan iklan, “kado khusus buat mama”. Yah, Irex memang sejenis obat kuat khusus pria, tetapi di Sinjai lain.

Sambil menunggu ikan bakar siap di santap, Irex menjadi minuman pembuka. Hiruk pikuk dan hawa panas pelabuhan malam itu membuat gerah ini terobati dengan dinginnya minuman khas yang diolah dengan cara fermentasi itu. Irex terbuat dari ramuan tape, madu, susu dan kuning telur.

Nampak dari bahannya, minuman yang terdinginkan dalam freezer dan terkemas sederhana dalam botol air kemasan itu, memang bisa untuk mengembalikan stamina kami, setelah seharian di Sinjai menggelar pertemuan kantor. Hari itu, 30 November 2011. Bersama empat orang teman sekerja, saya berkunjung ke kabupaten berlambang kepala kuda putih itu. Di Sinjai, Kuda dimaknai sebagai simbol keperkasaan, ketekunan dan semangat kerja keras.

Jarak Bantaeng kabupaten saya, dengan Sinjai hanya ditempuh maksimal 2 jam. Kalau Anda berangkat dari Makassar dengan kendaraan bermotor, Anda akan menikmati perjalanan menyusuri tepian laut melewati kabupaten Gowa, Takalar, Jeneponto, Bantaeng dan Bulukumba. Waktu tempuh kurang lebih 4 jam dengan jarak 195 km.

Beberapa kali saya berkunjung ke daerah yang juga penghasil durian Ottong ini, selalu saja ditawarkan makan ikan di Pelabuhan Lappa, tetapi baru malam itu saya menikmati kelezatan ikan bakar dan nasi kuning santannya serta menyerumput nikmat Irex yang bernama seksi itu. Biasanya, saya hanya mengunjungi Rumah Makan Nikmat yang terletak di pusat kota yang juga menyajikan menu favorit ikan bakar.
Nasi kuning santan, makanan sepadan ikan bakar
Kesan kumuh pastilah mewarnai setiap area pelelangan ikan di Indonesia, termasuk di Sinjai. Suasana ini tidak menjadikan pelabuhan Lappa sepi dengan orang bergaya mentereng untuk datang ke tempat itu, sekadar menikmati ikan bakar di warung yang berjejer di sepanjang pelabuhan. Becek dan bau anyir ikan akan segera terhapus setelah kepulan asap hasil bakaran ikan Baronang, cepak, sunu, katamba’, udang dan cumi-cumi mengepul menggoda selera.

Ada sesuatu yang khas, pelanggan sendiri yang memilih ikan di area pelelangan. Membayarnya, kemudian membawanya ke warung untuk dibakarkan. Nasi dan cobe’-cobe serta irex disiapkan pemilik warung. Anda tahu, harga ikan di Lappa sangat murah. Lima ekor ikan cepak dan baronang seukuran dua sandal jepit, saya beli hanya seharaga Rp. 50.000. Murah, karena di pasar biasanya berharga minimal Rp. 30.000 per ekornya.

Karena saat itu saya di traktir alias makan gratis, uang yang dikeluarkan teman baik saya yang warga Sinjai itu saya taksir hanya sekisaran Rp. 300.000 – Rp. 500.000, kami empat belas orang sudah bisa menikmati menu ikan laut bermacam-macam. Heran juga, kok bisa semurah itu. Selain heran juga senang karena gratis lah yaouw….

Kala itu, Timnas Indonesia Selection juga menjelang laga melawan Tim LA Galaxi. Makan malam itu, juga kami jadikan momentum menunggu tendangan pisang David Beckham. Memang semua warung, termasuk RM Yuli tempat kami makan mengarahkankan remoute tivinya ke pertandingan itu. Pelabuhan Lappa ternyata demam sepak bola.
Siap-siap melahap
Belum mampu terhabiskan semua makanan, kick off babak pertama dimulai, kami pun bergerombol sambil membawa piring masing-masing ke depan tivi. Sial, sebiji cabe rawit tergigit tak sengaja. Huah….!Pedasnya menyengat bukan kepalang, ditambah keringat bercucuran karena nikmat dan hawa panas di sekitar pelabuhan.

Pelalangan Sinjai ternyata tak hanya dikunjungi kapal nelayan lokal dan kapal regular dari pulau-pulau Sembilan. Persinggahan ikan paling ramai di Sulsel itu ternyata juga dikunjungi kapal nelayan dari luar Sinjai seperti Jeneponto, Takalar, Pangkep, Sinjai, Bone dan Bulukumba. Bahkan ada yang dari Sulawesi Barat dan Kalimantan.

Rata-rata kapal yang berlabuh di Pelelangan itu 1172 kapal pertahun menurut data tahun 2000. Sepuluh tahun yang lalu, 11.500 ton ikan terhampar dipelelangan.Tentu saat sekarang ini pasti lebih meningkat, karena pelabuhannya telah diperluas. Memang malam itu, sepanjang pantai, hanya terlihat jejeran kapal para nelayan.

Suasana Malam Pelabuhan Lappa Sinjai
Pelabuhan Lappa yang hanya berjarak sekitar 15 menit dari Ibu kota Sinjai tak pernah sepi. Pukul 16.00 kapal sudah ramai bersandar dan semakin bertambah saat setelah menjelang malam. Puncaknya pada pukul 03.00 dini hari.

“ Jangan pulang sebelum magrib”, kata kawan saya yang orang Sinjai itu saat menahan saya agar tak segera balik ke Bantaeng. Menurutnya, hanya setelah magrib Sinjai bisa dinikmati. Nikmat ikannya, segar dan menggetarkan sajian irexnya. Irex akan menjadi nama yang bakal membuat penasaran bagi yang belum pernah menikmatinya.
Bantaeng, 12 Desember 2011