HL | 31 January 2012 | 11:05
725 38 3 dari 6 Kompasianer menilai menarikMengapa yah, pakaian anak sekecil itu harganya mahal. Pula saya membenak, pakaian perempuan kok banyak gayanya. Setiap waktu, trend berpakaian mode terbaru memenuhi majalah wanita. Mainan para bocah sungguh laris, pakaian dan kosmetik ibu-ibu butuh lemari tersendiri. Sebagai lelaki saya protes, setahun palingan beli selembar-dua lembar pakaian. Terkadang menjelang lebaran, saya kayak anak-anak saja.
Adakah yang bisa mendiamkan tangisan melolong si kecil saat mengamuk minta mainan? di tempat ramai pula. Malu rasanya tak membelikannya, saat anak tersayang memaksa (setengah histeris) minta uang beli balon. Jangan protes istri Anda yang senang berbelanja, karena memang itu urusan perempuan. Konon, istri politisi dan para artis, buat sekadar beli parfum harus jauh-jauh ke Paris.
“Siapakah yang paling banyak menghabiskan uang?”
“Orang kaya”
“salah!”
“Siapa Pak?”
“Perempuan dan anak-anak”
Orang kaya atau pun pengusaha, malah irit keluarkan uang, semua serba dihitung karena mereka tahu bagaimana sulitnya mencari sepeser rupiah. Perempuan memang senang berbelanja, modenya butuh biaya. Memang perempuan mengurusi sesuatu yang “dikeluarkan”, ada pun lelaki dapat jatah “memasukkan”
Anak sedari bayi, sudah dibelikan pakaian tercantik sebab rasa kasih yang mendalam, walau sebulan saja pakaian itu tak cocok lagi. Bahagia kelihatan si ibu jika momongannya berpakaian indah dan lucu yang semenit kemudian basah karena pipis.
Anak disayang malah semakin menjadi, manjanya tak ketulungan. Tak dihiraukan, bisa meraung, menangis tak henti hingga ingusnya pun meleleh. Karena sayang, terpaksa si ibu membelikannya mainan. Sebentar saja, mainan rusak pula.
Demikian kira-kira teori Pak Heri tentang berdagang yang saya modifikasi dengan bahasa sendiri. Maklum, penjual balon yang sehari-hari mangkal di sekolah taman kanak-kanak dan rumah sakit itu hanya tamatan sekolah dasar. Bahasa Indonesianya tak memenuhi standar Ejaan Yang Disempurnakan (EYD).
Dilihat dari pakaiannya, kita tak bakal menyangka bahwa Bapak yang pernah merantau ke beberapa daerah ini ternyata memiliki anak yang bisa Ia kuliahkan. Beliau juga harus berbuat adil untuk dua orang istri yang memberinya sembilan anak. Wah, subur juga Pak Heri ini.
Tak juga saya menyangka, laba menjual balon yang sering membuat anak-anak menangis ini ternyata sangat lumayan. Saya pun heran kenapa Ia menceritrakan rahasianya kepada saya, mungkin dia tahu bahwa saya tak mungkin menyainginya menjual balon. Tak tahulah dia, bahwa saya pun menyukai sesuatu yang menggelembung.
Siapa tak senang jikalau usaha “ringan” seperti itu mendatangkan untung menggelembung, hanya modal se-gope’ dapat segepok. Bisnis balon yang pasarnya anak ingusan itu memang ampuh memaksa kasih ibu ke anaknya berubah menjadi lembar rupiah untuk si tukang balon. tak lebih dua hari kemudian, si balon telah berubah menjadi sampah plastik yang sulit terurai.
Kata Pak Heri, tabung gas Malaysia lebih tebal, besar, tak mungkin meledak dan bisa mengisi 30 – 40 balon gas. Tabung Indonesia tak perlu dicerita, karena beritanya sering meledak. Lagian tabung biru Indonesia itu, hanya berkapasitas 5-10 balon.
Wouw! ternyata gasnya, juga tak dibeli. Pak Heri yang memiliki cacat bawaan pada kakinya karena panyakit folio ini hanya membeli kaleng minuman berbahan aluminium. Ia mencipta gas sendiri dengan memasukkan soda api, kaleng dan air kedalam tabung kedap udara.
Ujung selang untuk mengisi balon pun, hanya ujung pulpen. Butuh waktu setengah jam, gas buatan sudah siap dan balon yang modalnya hanya Rp. 2000 itu pun terjual Rp. 10.000 untuk jenis balon udara yang berbentuk tokoh kartun anak-anak.
Gambar Ipin dan upin kartun Malaysia paling digemari anak-anak, juga ada model Sponge Bob, spiderman, barbie dan lainnya. Model kartun Indonesia seperti Si Unyil tak ada. Kenapa yah?
Pak Heri bisa menjual sehari sampai 50-an balon, cukup menguntungkan bagi saya dan benarlah kata beliau bahwa bisnis yang berhubungan dengan anak-anak dan perempuan memang meraup laba menggiurkan. Satu saya herankan, kenapa orang bersuku Bugis yang juga menikah dengan orang bersuku Makassar ini bisa menjual balon, setahu saya penjual balon atau pun mainan anak akrab dipanggil “Mas!”.
Iya, penjual mainan anak yang berdagang keliling di Sulawesi ini banyak dilakoni para perantau kreatif dari tanah Jawa. Demikian pula penjual makanan seperti bakso, nasi goreng, mie pangsit, dan sari laut akan berbeda rasanya jikalau bukan racikan dari para Mbak atau Mas. Para Daeng, dalam berdagang bisanya berkapasitas truk, seperti hasil bumi, sapi, kambing dan bahan bangunan.
“saya memang belajar dari orang jawa Pak” kata Pak Heri yang tak mau pelit berbagai rahasia kalau ada yang bertanya, karena menurutnya, dia pun diajarkan seorang yang baik hati bagaimana cara membuat balon gas. Usaha yang merubah hidupnya ini ditemukan saat Ia merantau ke kota Kendari.
“Sulitnya, orang Makassar itu inginnya yang besar-besar, padahal yang ringan seperti balon gas pun untungnya lebih banyak daripada sekarung jagung” sambung Pak Heri mengeluarkan jurus bisnisnya.
Penjual balon yang awalnya saya kecele memanggilnya “Mas” ini, berbincang denganku saat saya memesan balon untuk ulang tahun ke 10 dan ke 6, dua putri kecil kesayangan kami.Ternyata, Pak Heri juga tak protes kalau dipanggil “Mas” harusnya kan panggil “Daeng” atau “Pak” saja karena dia bukan dari Jawa. Kenapa Ia tak protes?
“Kalau orang memanggil saya, Mas! maka orang tahu kualitas balon itu pasti bagus” kata Pak Heri dalam bahasa Indonesia bercampur Bugis.
Belajar dari yang melakoni seperti Pak Heri, akan lebih detail daripada hanya seorang teoritis seperti saya. Ia tahu seluk beluk bisnisnya, bagaimana strateginya, karena telah menjalaninya bertahun-tahun. Usaha yang pasarnya perempuan dan anak-anak layak untuk diadaptasi. Usaha apa yah? “ Setiap Orang Adalah Guruku, Setiap Tempat Adalah Sekolahku”.
Bantaeng, 31 Januari 2011
1 komentar:
hmm.. trik bisnis yang sangat bagus
Posting Komentar