Imlek, jejeran toko sepanjang Jl. Manggis sepi |
Malam sebelumnya, hanya sesekali terdengar dentuman petasan atau pun kilatan indah kembang api. Tentu kita semua tahu, bahwa penjual kembang api yang mulanya diciptadi daratan China itu sudah menjadi bahagian dari perayaan etnis Tionghoa yang di Bantaeng sesungguhnya telah bermukim sangat lama.
Temuan keramik Cina yang tertua berasal dari Dinasti Sung dan Yuan yang berkuasa di daratan China antara tahun 960-1368. Dari beberapa sumber, Etnis Tionghoa diperkirakan sudah ada di Bantaeng sejak abad ke 12. Para perantau yang hebat dalam berniaga ini, pertama kali bermukim di kampung yang bernama Lembang Cina yang berposisi dekat pantai.
Ternyata, Tahun baru Cina kali ini sudah yang ke 2563, ini jauh lebih tua dari tahun baru Masehi atau pun tahun baru Islam yang waktunya dirayakannya hampir berhimpitan.
Imlek yang juga berkesesuaian dengan Shio Naga Air ternyata memang menyemburkan angin kencang bercampur air hujan. Banyak ranting pohon yang patah. Selembar seng atap rumah milik Daeng Sapo’ tetangga saya, juga di terbangkan angin.
Imlek di kota saya tidak pernah dirayakan gegap gempita, kecuali dua tahun lalu dihadirkan tarian baronsai. Daeng Iwang, warga bersuku Makassar yang juga membuka bengkel sepeda di persimpangan Jl. Mangga mengatakan, bahwa prosesi Imlek di Bantaeng memang tak dinampakkan kecuali pembagian ampao untuk anak-anak kurang mampu, bermain gaplek dimalam hari serta ritual sembahyang untuk leluhur.
Saat melewati Jl. Manggis di hari Imlek kemarin, saya menyaksikan antrian anak-anak menerima ampao di toko milik A Hong dan juga rumah Baba Ciang. Karena hari raya Imlek, juga bermakna ritual bagi etnis Tionghoa, maka mungkin angpao adalah bahagian dari bagi-bagi rejeki untuk menyambut hoki tahun selanjutnya.
Akh, sayang, saya tak bertemu dengan Gozal langganan bahan bangunan saya pada hari itu. Mungkin kalau berjumpa akan ada ampao buat saya dan saya pun bisa bertanya lebih jauh tentang mengapa mereka tak merayakan Imlek semeriah mungkin agar kami saudara sebangsanya dari etnis Bugis dan Makassar bisa ikut menikmati dan menghormati perayaannya.
Diminta antri, anak-anak malah berkerumun menunggu angpao |
Gozal yang adalah pemilik Toko Pelita Jaya di seputaran pasar baru Bantaeng, adalah generasi ke empat pelanjut usaha milik buyutnya. Karena baru sekitar tujuh tahunan saya bermukim di kota yang penggerak utama ekonominya adalah etnis Tionghoa, saya tak menyangka Gozal dan etnis Tionghoa lainnya ternyata tak sedikit pun berbicara dengan dialek a’ hayaaaaa’.
Seperti disebutkan sebelumnya, bahwa etnis minoritas Tionghoa yang ada di Bantaeng sudah sejak lama ada di Bantaeng, bahkan versi sejarah menuliskan bahwa yang menikahi Dala, putri RajaMassaniaga adalah seorang pangeran dari Cina (Salam 1997: 24). Pernikahan putri Karaeng (raja) Bantaeng ini dikaruniai kelahiran anak bernama Karaeng Loe.
Karaeng Loe sendiri menjadi cikal bakal raja-raja Bantaeng dan diperingati setiap pada 10 Sya’ban di tiap tahunnya dan disebut upacara Pa’jukukang. Hal ini memungkinkan, karena Karaeng Loe sendiri memerintah pada tahun 1293 – 1332, dimana dinasti Sung yang keramiknya ditemukan di Bantaeng ketika itu sudah menjadi kaisar di daratan Cina sejak tahun 960M.
Walau sejarah itu masih perlu diverifikasi lebih dalam, setidaknya Bantaeng memang sudah menjadikan etnis Tionghoa sebagai bahagian dari warga asli daerah penghasil sayur, ikan dan buah-buahan ini.Menurut Daeng Ngiwang yang sering berinteraksi dengan Etnis Tionghoa karena bermukim sejak kecil di wilayah Jl Mangga, bahwa etnis ini juga memiliki sawah dan kebun yang diserahkan penggarapannya kepada orang desa.
“Sepanjang pengetahuan saya, tidak pernah saya temukan orang Cina membeli beras” kata Daeng Ngiwang, membenarkan bahwa para orang Tionghoa mengkonsumsi beras, sayur-sayuran bahkan ikan dari sawah, kebun atau empang milik mereka sendiri. Bahkan, distributor jagung kuning yang menjadi andalan Kabupaten Bantaeng juga dilakoni etnis yang memang unggul dalam hal perniagaan ini.
Bukti bahwa etnis Tionghoa adalah penyedia beragam kebutuhan warga Bantaeng, terlihat saat sehari sebelum Imlek. Saya kesulitan mendapatkan tabung gas serta harus berputar-putar demi mendapatkan selang dan paku untuk keperluan renovasi kolam kecil saya di hari libur kemarin.
Toko-toko pada tutup, kecuali dua toko bangunan milik orang beretnis Bugis dan milik orang beretnis Mandar. Itu pun dengan harga yang sedikit lebih mahal.
Kecemburuan sosial berkenaan dengan dikuasainya asset-aset ekonomi rakyat beretnis asli mungkin pernah terasa, tetapi tidaklah bisa disalahkan karena memang etnis Tionghoa hanya ahli di bidang usaha dagang ini. Interaksi yang cukup panjang antara Tionghoa dan warga Bantaeng yang mayoritas beretnis Makassar membuat kecemburuan sosial ini teredam dan tak pernah terjadi kerusuhan.
Beberapa etnis Tionghoa ada yang menganut agama Islam dan Kristen, bahkan beberapa juga menikah dengan orang Bantaeng. Keturunan karaeng (raja) Bantaeng pun ada yang menikah dengan perempuan etnis Tionghoa ini. Dari sisi bahasa, dialek dan interaksi, bisa dibilang bahwa Etnis Tionghoa yang ada di kota saya adalah penduduk asli Bantaeng.
Akhirnya, walau terlambat - buat saudara saya sebangsa dari etnis Tionghoa saya ucapkan Go Xi Fa Cai, Go Xi Fa Sin, Selamat semoga banyak rejeki di tahun naga air ini. Semoga air hujan tak membuat kota kita menjadi banjir dan juga angin tak membuat robohnya tembok bangunan yang mengharuskan toko bahan bangunan milik A’ Tang ramai mendapat pelanggan.
HAPPY CHINESE NEW YEAR.
Bantaeng, 25 Januari 2012
Bersumber dari tulisan sebelumnya : Jejak Tiga Kekaisaran Cina Penanda Lahirnya Butta Toa
Tidak ada komentar:
Posting Komentar