08 Februari 2011

Jejak Tiga Kekaisaran Cina Penanda Kelahiran Butta Toa

Tiga Dinasty kekaisaran China telah menjadi penanda sejarah lahirnya Bantaeng. Kabupaten yang berada 120 KM dari Makassar ini, menetapkan hari lahirnya pada tanggal 7 Bulan 12 Tahun 1254.Tahun dimana Wayne A. Bougas, seorang arkeolog Amerika membuktikannya dengan temuan keramik yang berasal dari dinasti Sung yang berkuasa di daratan Cina tahun 960-1279. Selain Dinasti Sung, juga ditemukan keramik yang berasal dari Dinasti Yuan (1279-1368)

Adapun dinasti Ming, menandai kehadirannya dengan sebuah guci yang didalamnya terdapat bongkahan emas murni. Guci itu, kini masih terlihat di kubah Masjid Tua Tompong yang dibangun 1887 oleh Raja Bantaeng, Karaeng Panawang. Guci dari dinasti Ming yang telah mengukuhkan penyatuan Cina ini, dibawah sendiri oleh para pedagang Cina. Pedagang Cina di Bantaeng, telah bermukim pertama kali, di sebuah kampung yang bernama Lembang Cina.

Ambae.exe, seorang putra Bantaeng, dalam komentarnya terkait tulisan ini di kompasiana mengungkap versi lain tentang awal kedatangan etnis China. Menurutnya, berdasarkan sejarah, Bangsa China pertama kali berlabuh di Cidondong Parring-Parring yang terletak di Utara Bantaeng. Di tempat itu ditemukan berbagai artefak seperti guci.

Selain keterkaitan dengan Cina ini, Bantaeng juga tercatat dalam ekspedisi Mahapatih Gaja Mada.Tahun 1254 dalam atlas sejarah Dr. Muhammad Yamin, telah dinyatakan wilayah Bantaeng sudah ada, ketika kerajaan Singosari dibawah pemerintahan Raja Kertanegara memperluas wilayahnya ke daerah timur Nusantara untuk menjalin hubungan niaga pada tahun 1254-1292. Bantaeng tercatat dalam kitab negarakertagama dengan sebutan “buttayya ri bantayang”.

Bantaeng dulu, memang adalah pelabuhan tempat singgahnya kapal-kapal niaga. Penentuan autentik Peta Singosari ini jelas membuktikan Bantaeng sudah ada dan eksis ketika itu. Bahkan menurut Prof. Nurudin Syahadat, Bantaeng sudah ada sejak tahun 500 masehi, sehingga dijuluki Butta Toa atau Tanah Tua (Tanah bersejarah).

Temuan artefak sejarah dari Dinasti Sung, Yuan dan Ming, adalah jejak kehadiran bangsa Cina. Tidak hanya itu, Bantaeng yang juga disebut Bantayang oleh Majapahit dan Bonthaink oleh Belanda, di awal mula kerajaannya pada tahun 1254, disebutkan bahwa kerjaan ini mulanya dipimpin oleh mula tau yang digelar To Toa, kemudian digantikan oleh Raja Massaniaga. Raja ini memiliki seorang putri yang kembali menceritakan ke generasi saat ini, bahwa Bantaeng juga, bisa jadi bertalian kerabat dengan kaisar China. Apa betul?

Versi lain dari sejarah mengatakan bahwa yang menikahi Dala, putri RajaMassniaga adalah seorang pangeran dari Cina (Salam 1997: 24). Pernikahan ini dikaruniai kelahiran anak bernama Karaeng Loe. Kelahiran Karaeng Loe yang menjadi cikal bakal raja-raja Bantaeng, diperingati setiap pada 10 Sya’ban di tiap tahunnya dan disebut upacaraPa’jukukang. Hal ini memungkinkan, karena Karaeng Loe sendiri memerintah pada tahun 1293 – 1332, dimana dinasti Sung ketika itu sudah berkuasa di daratan cina mulai tahun 960M.

Versi lainnya lagi, adalah ketika Sawerigading, salah satu tokoh utama dalam epos terpanjang di dunia, La Galigo. Pangeran kerajaan Luwu ini, mengunjungi Bantaeng dan berlabuh di Nipa-Nipa, pantai Pa’jukukang, saat ini berada di jalan poros Bantaeng-Bulukumba. Di hari keempat, Sawerigading kemudian naik menuju Gantarang Keke, sebuah perbukitan di Kecamatan Gantarang Keke saat ini. Di sini, Sawerigading menikahi Dala, putri Bantaeng. Kerjaan Luwu sendiri adalah kerajaan tertua yang ada di Sulawesi Selatan.

Saweregading sebagai leluhur suku Bugis, sebagaimana dituliskan ditulis Cristian Pelras dalam ‘Manusia Bugis’, juga lekat dikisahkan perantauannya ke negeri Cina untuk meminang We Cudai yang dalam cerita itu sesungguhnya adalah saudara kandung dari Saweregading sendiri. Jikalau ini benar adanya, maka keterhubungan silsilah antara kekaisaran Cina dan Raja-Raja Bantaeng, menarik untuk dikaji kembali.

Berangkat dari kebenaran sejarah ini, eksistensi etnis Tionghoa telah menandakan bahwa pembauran Cina dan etnis pribumi baik melalui berdagangan dan berkawinan sudah ada sejak dahulu. Entah mengapa, saat sekarang ini apalagi di jaman Soeharto Etnis Cina terkesan ekslusif dan terasa sulit berbaur dengan pribumi. Kesenjangan sosial berkenaan dengan etnis ke tiga terbesar di Indonesia ini, telah berbuah kerusuhan di Makassar. Ketika itu, yang saya saksikan sendiri dengan tatapan ngeri pada tahun 1997.

Di Bantaeng, kerusuhan antar etnis tidak pernah terjadi. Bahkan keluarga Karaeng (keturunan Raja) menikah dengan Etnis ini. Bantaeng jaga adalah Kabupaten terbanyak (selain Makassar) yang dihuni Etnis Tionghoa. Setidaknya di daerah Selatan-Selatan, Propinsi Sulawesi Selatan. Menurut Ambae, Kota Kecil ini juga sering dijuluki kota Tionghoa.

Di Bantaeng, terdapat pekuburan Cina, kampung cina dan pasar yang didominasi oleh etnis yang memang ahli dalam hal perdagangan. Berbaur dengan penduduk lokal sangat jarang terlihat, walau demikian etnis Tionghoa ini berjasa menggerakkan perekonomian Bantaeng. Keramahan etnis Tionghoa, itu sudah pasti. Mana ada pedagang yang tidak ramah kepada pembelinya.

Sebagai orang yang bermukim di Bantaeng sekitar 5 (lima) tahun yang lalu, saya mengenal Bantaeng sangat kaya budaya, negeri elok dengan banyak lokasi wisata, mungil tetapi cantik berhiaskan pantai, pegunungan dan daratan. Sayur, Ikan, beras serta buah-buahan sangat mudah dan murah ditemui dan dibeli di tempat ini. Satu lagi, di sini ada perkebunan strawberry.

Gong Xi Fa Chae…..

Tulisan ini telah diedit, setelah sebelumnya dimuat di kompasiana.

Bantaeng, 5 Februari 2011

2 komentar:

Agustian Piliang mengatakan...

Assalamualaikum Pak Andi Harianto, terima kasih telah berkunjung ke blogku www.agustianpiliang.blogspot.com

semoga jalinan silaturrahim ini makin hangat... wassalam
Agustian Piliang
KPU Prov Sumbar

Andi Harianto mengatakan...

terima kasih Bang,pula telah jalan-jalan keblokku. semoga kabar baik selalu :)