08 Februari 2011

Bersama Pallu Kaloa, Serasa Pulang Kampung


Semua tersentak, kemudian riuh tepuk tangan membahana saat Barrack Obama spontan berucap “Pulang kampung, nih….” Kurang lebih 6000 undangan di Balairung UI saat itu, tehipnotis pesona Obama.

Saya sedikit menebak, bahwa lidah Obama saat itu, terbawa suasana makan malamnya dengan Pak Beye. Makan malam dengan kuliner khas Indonesia. Nasi goreng, bakso dan emping, adalah kesukaan Presiden Amerika ini, sewaktu masih bocah di Menteng Dalam.

Tak hendak saya mengupas tentang Obama, hanya ingin berbual tentang kesan ‘pulang kampung,’ saat beberapa hari lalu (16/12), bersama keluarga menikmati kuliner khas Bugis-Makassar, Nasu Pangi. Di bilangan Jl. Sultan Alauddin, tepatnya di depan, sebelah kanan Kampus Universitas Muhammadiyah Makassar, terdapat sebuah warung yang ramai pengunjung. Warung Pangkep, namanya. Pallu (masakan), Kaloa/pangi (Kluwak). Masakan Kluwak.

Pallu Kaloa, sama saja dengan Nasu Pangi. Satu dalam bahasa Makassar dan satunya lagi sebutan bahasa Bugis. Dua suku yang kini ‘menyatu’ dalam sebutan Bugis-Makassar. Sebagai orang Bugis, yang kini bermukim di wilayah Makassar (Bantaeng), Pallu Kaloa adalah masakan favorit nenek saya di kampung. Menyantapnya ketika itu, serasa ikan kakap sebagai bahan utama kuliner khas ini, membawa saya seolah mengintip dapur almarhum nenek saya, yang dulu memasak dengan kayu, dari ranting pohon jati.

Pallu kaloa, memang harus dimasak dengan kadar panas yang tinggi. Kayu jati atau puhon asam adalah penghasil bara api yang baik. Itu di kampung, sekarang gas elpiji 3 kg sudah bisa menyainginya. Sayang mudah meledak. Bisa berubah, mendadak jadi bom hijau. Pallu Kaloa yang berbahan ikan kakap, kelapa ½ butir, daun salam, biji pala, sereh, biji cengkeh dan bawang goreng ini, berbumbu khusus yang mebedakan rasanya dengan masakan ikan khas lainnya di Makassar. Semisal Pallu Mara, Pallu Kacci atau Pallu Basa.

Rahasia bumbunya, ada pada buah kluwak. Sama halnya dengan masakan Pindang Tetel, yang ada di kecamatan Kedungwuni, daerah Pekalongan. Makanan khas tersebut semacam rawon namun menggunakan ‘kluwak’ dengan tetelan daging (bukan tetelan pindang ikan) ditambah dengan sambal manis dan disajikan dengan krupuk ‘usek’ yang diremas. Lain di Pekalongan lain di Makassar. Pindang Tetel hanya saya rasakan nikmatnya melalui info Wikipedia, sementara Pallu Kaloa telah membuat rasaku mengawan kembali ke kampung, dimana pohon kluwak banyak tumbuh disana.

Pohon kluwak, dalam bahasa Bugis kami sebut sebagai aju pangi. Buahnya memiliki kulit yang keras membatu, ketika buah menjadi tua. Dulu, saya sering diminta nenek menanamnya di bawah tangga kayu rumah panggung kami. Setelah menunggu waktu 40 hari, baru digali kembali. Buahnya di bakar, kemudian dipecah, di campur dengan daun bawang, cabe, lalu di tumis. Jadilah sambel yang enak, mirip terasi. Sangat nikmat disepadankan dengan nasi santan.

Kluwak yang menjadi bumbu Pallu Kaloa bukanlah, buah yang tua, tetapi irisan buah yang muda. Buah kluwak ini kemudian ditumbuk halus sebagai bumbu utama. Satu porsi pallu kaloa, yang berisi belahan kepala ikan kakap, hanya seharga Rp. 20.000. Tumisan bawang, taburan gorengan kelapa, berpadu nikmat dengan aroma pala, lengkuas dan biji cengkeh.

Sedikit rahasia, walau masakan di warung ini enaknya bukan kepalang, tetapi tetap lebih nikmat masakan nenek saya di kampung. Mungkin karena psikologi Human Touch. Sentuhan manusiawi nenek saya ketika menghidangkan masakan ini telah memanjakan kami, para cucunya. Ikan di kampung sangat jarang, sehingga masakan ini hanya dapat kami nikmati saat kakek menerima gajian pesiunannya, dan singgah di pasar membeli ikan atau daging sapi. Pallu kaloa juga bisa berbahan utama daging sapi.

Ludes saya menghabiskannya. Sisa kepala ikan yang tak mampu dihabiskan istri dan putri bungsuku pun, saya embat. Ehe, semakin mengabsahkan saja diriku ini balala (sedikit rakus). Tak apalah. Kata kakek, jangan sisahkan makanan walau itu hanya sebiji nasi. Makanan adalah kehidupan, menyia-nyiakannya sama saja kita tak menghargai hidup ini. Sombong.

Tamasya kecilku bersama keluarga, minus putri sulungku karena lagi semesteran, telah menjadi kesan pulang kampung, walau tanah kelahiranku di Kabupaten Bone, masih sejauh 190 kilometer dari kota Makassar. Sebenarnya, tamasya itu hanya saya manfaatkan untuk menyenangkan keluarga. Tujuan utamaku sebenarnya, adalah menghadiri pertemuan kantor dan sekaligus mengikuti acara pembukaan Musyawarah Provinsi, di salah satu organisasi pemuda, dimana saya menjadi presidiumnya.

Semua adalah ‘sekaligus’, aji mumpung positif. Mumpung kendaraan lagi lowong, mumpung saya ke Makassar, mumpung ada pallu kaloa yang sudah sangat jarang saya nikmati. Tamasya mendadak bersama keluarga di sela kesibukan pekerjaan adalah nikmat tersendiri. Anak-anak merasa diperhatikan. Romantisme ‘berpacaran’ dengan mantan kekasihku, yang kini menjadi ibu dua putriku, terasa begitu lengket kayak perangko, harga 5000.

Bantaeng, 19 Desember 2010

Tulisan ini juga dimuat di kompasiana, meraih tulisan tervaforit untuk lomba My Holiday

Tidak ada komentar: