30 Juni 2011

Jabatan Baku Dorong dan Pemilu Aneh di Masjid

Jangan pemilih pemimpin yang terlalu mau dan pula pemimpin yang sangat tidak ingin. Pesan bijak ini pantas direnungi, saat ketika banyak orang yang begitu bernafsu memburu jabatan dengan berbagai cara. Tidak hanya memburu, jikalau perlu merebut. Baik dengan cara yang resmi melalui serangkaian lobi, kampanye dan pencitraan, maupun dengan cara membunuh karakter demi menjatuhkan pesaing.

Tidak heran jikalau banyak yang meradang karena kehilangan jabatan, membocorkan skandal mantan bosnya dan sibuk menebar keburukan orang yang mengalahkannya. Jabatan sungguh hal yang menggiurkan, karena di situ ada penghargaan, pengikut dan mungkin banyak uang.

Terlepas dari tingginya libido berkuasa saat ini di rimba manusia,ternyata ada jabatan yang tidak menggiurkan. Jabatan itu terhormat, memiliki pengikut yang banyak, pekerjaannya mulia dan efek jabatannya berlaku sampai setelah kita mati. Tetapi mengapa tak menggiurkan? Saya ingin berbagi cerita.

Setelah ditunda dua kali sebab minimnya peserta malam kemarin, Jum’at 24 Juni 2011 berlangsung rapat pengurus Masjid Nurul Ikhwan di kompleks perumahanku. Rapat itu untuk memilih ketua pengurus Masjid. Rapat yang dilaksanakan usai shalat isya itu, dihadiri sekitar 30 an jama’ah dari lebih 150 orang kepala keluarga yang bermukim di sekitar Masjid.

Dapat dilihat, bahwa animo warga untuk masalah masjid yang peruntukannya akhirat itu sangatlah kecil, malahan rapat sebelumnya yang ditunda hanya dihadiri belasan orang. Setelah undangan disebar, diikuti pengumuman berkali-kali, rapat malam itu sudah dianggap representatif untuk memilih pengurus masjid yang baru.

Singkat cerita, digelarlah pemilihan itu. Sebagai panitia, saya didaulat memimpin sidang. Sebenarnya, saya merasa risih memimpin sidang terhormat itu. Bukan apa-apa, saya terbilang warga baru dan paling muda diantara para tetua masjid. Mau diapa lagi, bahkan menjadi pimpinan rapat pun peserta rapat saling tunjuk. Dalam istilah kami, baku dorong (saling dorong).

Setelah Laporan Pertanggung jawaban pengurus yang diterima dengan ikhlas itu, akhirnya tibalah masa pencalonan. Tiga calon yang diusulkan peserta. Setelah saya menanyai kesiapannya, dua calon menyatakan tidak siap, satunya lagi menyatakan mundur. Ha, deadlock tanpa calon. Saya kebingungan sendiri. Setelah buntu, saya meminta usulan calon lain, ternyata kembali seperti semula. Baku dorong.

Keadaan ini, sama sekali tidak seperti pada Pemilu Legislatif dan Pilpres, dimana orang bahkan saling dorong untuk menjatuhkan pesaing. Di masjid saya, orang baku dorong untuk maju sebagai ketua. Dalam posisi sebagai pimpinan sidang, tentu saya bebas dari pencalonan karena saya sudah menyampaikan kriteria pengurus masjid. Salah satunya, adalah yang dituakan, saya sama sekali tidak ingin dianggap tua. Bebaslah saya.

Pernah saya membaca, bahwa di Korea Selatan sangat sedikit orang yang mau menjadi pemimpin publik. Baginya, jabatan publik adalah beban yang sangat berat. Sangat sulit menemukan calon untuk menjadi lurah, kepala dinas , menteri bahkan anggota DPR seperti di negeri kita yang berjubel masalah ini.

Seperti di Jepang, pejabat di sana merasa malu kalau bersalah dan tidak bisa memenuhi janji. Mereka kesatria menyatakan mundur kalau gagal. Bahkan banyak pejabat yang bunuh diri. Kegagalan adalah rasa malu bagi mereka. di negeri kita? kegagalan justru ajang untuk menguji keampuhan jurus bersilat lidah untuk menangkis, menghindar, berkelit dan balik memukul.

Membandingkan antara pemilihan pengurus di Masjid di kompleks saya dengan budaya kepemimpinan Jepang dan Korea, memang tidaklah setara. Satu yang ingin saya utarakan, bahwa di Indonesia, ternyata masih ada jabatan yang tidak diinginkan, setelah bahkan pemilihan RT pun diperebutkan. Kata tetangga saya, RT itu bagus walau tak bergaji karena bisa mengurus KTP dan menagih pajak.

Kembali ke rapat pengurus Masjid. Karena kebingungan, saya pun mem veto keadaan, dengan memberikan kesempatan kepada peserta untuk kembali menunjuk calon secara musyawarah. Siapa pun yang ditunjuk dianggap representatif dan tidak boleh mundur. Ini demi kemaslahatan dunia dan akhirat, kata saya sedikit bernada ustad.

Pemilihan ulang pun di gelar, tanpa fatwa dari Mahkamah Konstitusi yang juga sudah mulai mempersoalkan suap dan korupsi. Hasil munsyawarah menetapkan dua calon. Calon yang ditetapkan adalah calon yang tidak bersedia tadi. Saya menawarkan pemilihan tertutup atau pemilihan terbuka, ternyata, peserta menginginkan yang terbuka, dengan cara mengangkat tangan, tanda contreng telah dilakukan. Bukan tanda menyerah.

Kenapa mengangkat tangan, biar ketahuan siapa yang memilih calon ini dan itu. Alasannya, dengan ketahuan orang yang memilih, maka pilihannya bisa dia pertanggungjawabkan. Bagi saya inilah demokrasi yang jantan dan jujur, tanpa lobi dan potensi money politik.

Bapak Zamzam, SH yang seorang pengacara, adalah calon pertama. Calon lainnya, Bapak Drs. Muhammad Nurung, seorang guru Madrasah Aliyah. kedua-duanya adalah mantan pengurus periode lalu. Pak Zamzam adalah mantan wakil ketua, dan Pak Nurung Sekretaris. dibukalah sesi pemilihan antara pengacara dan guru ini.

Ternyata, calon pertama memilih calon ke dua, demikian sebaliknya. Masing-masing calon tidak memilih dirinya sendiri. Sesama calon saling menghargai. Adapun peserta, cenderung memilih Bapak pengacara itu untuk menjadi ketua mereka yang baru. Jumlah angkat tangan jamaah, lebih banyak ke sang pengacara. saya sendiri memilih abstain, untuk menjaga netralitas saya sebagai penyelenggara pemilihan. (he he he)

Jikalau pembaca melihat kelihaian pengacara membela koruptor di tivi, pasti menurut Anda tidak ada diantara mereka yang layak jadi ketua Masjid. Jangankan pengacara koruptor, saya pun jengah dengan pengacara perceraian artis. Di Masjid saya lain, pengacaralah yang dipilih jadi ketua Masjid. Tentu, pengacara ini bukanlah seperti yang biasa kita lihat di tivi. Bapak Zamzam SH ini, adalah pengacara local yang terkenal, tetapi juga amanah dalam menjalankan profesinya.

Usai pemilihan ketua, maka dipilihlah pengurus-pengurusnya. Semua yang ditunjuk oleh ketua juga tidak boleh menolak. Terpilihlah saya sebagai wakil sekretaris, tanpa boleh menyatakan siap atau tidak siap. Menjadi sekretaris di masjid, sebenarnya tidak lebih sebagai juru ketik. Karena saya wakil sekretaris, maka saya ini wakil juru ketik. Apapun yang akan diketik, maka saya siap mewakili.

Bantaeng, 25 Juni 2011

Tulisan ini pernah di muat di kompasiana.com

Tidak ada komentar: