Pagi itu, saya membawakan materi Bimtek pemungutan dan perhitungan suara di Kecamatan Gantarang Keke Bantaeng. Para KPPS, penyelenggara pemilu tingkat TPS nampak serius mengerjakan format latihan isian formulir C1. Saya tahu mereka bingung cara mengisi format, soalnya pemilu kali ini adalah pemilu yang lumayan rumit. Berkali-kali aku menjelaskan, mereka belum paham juga. Saya mulai gusar, dan siap-siap mencerca............., tetapi kemudian saya tersadar dan mulai membatin;
" haruskah aku gusar kepada mereka yang hanya digaji oleh negara 225.000 pada hari pemungutan suara, haruskah aku marah atas ketidak tahuan mereka, sementara SDM tentu berjarak dan haruskah aku nampak pongah kepada mereka sementara pekerjaannya, tuntutan pidananya, kesejahteraannya, dan bahkan resiko yang bakal mereka hadapi sangat tidak sebanding dengan insentif yang mereka dapatkan ?"
Aku tak boleh gusar. Aku tak memiliki hak untuk marah kepada mereka. Tenaga, pikiran dan beban psikis pada hari 'H' pemilu semuanya terbebani kepada mereka. Mereka pahlawan demokrasi, KPPS lah yang akan menentukan pemilu ini berkualitas, merekalah yang akan mendudukkan anggota dewan kita yang terhormat. Merekalah yang secara tidak langsung melantik presiden yang mulia. Singkatnya, KPPS adalah penyelenggara bagi terpilihnya para pemimpin bangsa ini, yang tentu dan mungkin pemimpin yang terpilih nanti, tak akan pernah mengenal mereka, dan mungkin juga tak akan peduli terhadap apa yang mereka rasakan pada hari 'H' pemilu (of the record)
Salah seorang, diantara mereka bertanya, " Pak, saya lihat di anggaran, dana untuk makan kami hanya buat makan siang saja, sementara perhitungan suara sudah dipastikan sampai larut malam. dan sangat mungkin sampai dini hari. adakah solusi bagi kami ?". Aku tercekak, tersentak dan tak mampu menjawab dengan segera. Betul kata mereka, ada sesuatu yang kurang manusiawi. Aku membatin, mengumpulkan energi kearifan untuk menjawab pertanyaan yang tidak aku harapkan ini. Apa daya, bukan saya yang menentukan anggaran........, aku menjawab:
"Saya tahu Pak, pekerjaan dan resiko berat yang akan Bapak hadapi tidaklah sebanding dengan imbalan yang akan Bapak dapatkan. Tetapi, perlu kita semua ketahui bahwa kitalah yang menyelenggarakan pemilu yang hanya lima tahun sekali ini, kitalah yang akan mendudukkan wakil rakyat, dan kitalah yang akan menentukan siapa presiden lima tahun ke depan. Hanya karena Bapak/Ibu sekalian, maka pemimpin bangsa ini hadir. Pemimpin yang arif dan bijaksana, tentu akan membawa kesejahtaeraan buat rakyat, dan kitalah yang mencatat kan suara mereka" jawabku menyemangati.
" Kalau KPPS adalah sebuah 'pekerjaan', maka imbalan yang Bapak akan dapatkan tidaklah sesuai dengan UMR. Jangan anggap ini sebagai 'pekerjaaan', tetapi jauh dari itu, tugas ini adalah ibadah sosial. dan lebih penting lagi adalah amal jari'ah. Insentif Bapak, seharusnya jauh dari apa yang dianggarkan, tetapi karena ini bahagian dari ibadah sosiali kita, biarlah Allah SWT membayar sisanya nya diakhirat. Sebuah bayaran yang tak akan sebanding dengan dunia dan segalah isinya". jawabku, menambahkan. Aku mencoba menyentuh nurani mereka, bahwa pekerjaan tidak hanya dinilai manusia, tetapi lebih dari itu, Allah SWT. aku melihat seorang ibu, yang juga adalah ketua KPPS disebuah desa terpencil,mengusap titik air yang berlinang dipelupuk matanya. Saya tidak tahu, apakah mereka terharu dengan pekerjaan mulia mereka, ataukah karena mereka mulai berpikir....hanya sedemikianlah negaraku mampu membayar tugasku,tak apalah.....aku bekerja buat negaraku dan ada balasan yang lebih mulia.
Semua terdiam, dan aku pun tak tahu apakah jawabanku tadi sesuai sepadan dengan pertanyaan. Bagi masyarakat Bantaeng yang secara umum berprilaku santun, bertanya tentang gaji memang hal yang tabu. Mereka malu mempertanyakannya, tetapi aku tahu ada sesuatu yang miris dihati dan benak mereka . Setelah menjawab pertanyaan Bapak tadi, aku lanjutkan penjelasanku, dan kulihat mereka demikian bersemangat untuk mengetahui alur proses di hari 'H', aku gembira dan kamipun mulai melupakan semua yang berbau rupiah.
KPPS bagiku adalah pahlawan demokrasi yang tak perlu diberi tanda jasa. Mereka tak lagi membutuhkannya, kecuali perhatian yang lebih baik untuk pemilu selanjutnya. Tulisan ini, mari kita anggap bukan penyelenggara pemilu yang menuliskannya, tetapi sosok manusia biasa yang realistis dengan keadaan. Jujur, aku tak ingin menjadi KPPS..........Aku hanya ingin mereka dipedulikan, ingin beban dipundak mereka diringankan dan tentu aku sangat marah jikalau mereka dianggap tak becus mengurus pemilu ini. Selamat bekerja KPPS ku, pemilu 9 April mendatang semakin mendekat, lupakan semuanya tentang imbalan karena pada hari H nanti Anda lah PENGUASA NYA.
Jujur, Santun dan Mendidik adalah prinsip dan karakter kita sebagai penyelenggara pemilu. Ciptakanlah TPS yang sejuk buat para pemilih, layani para calon legislator kita dengan lebih baik, berilah kebanggaan buat bangsa tercinta ini. Buktikan, bahwa 'pengabdian' lebih baik daripada 'pekerjaan', keikhlasan lebih bersahaja daripada pamrih. Peluhmu adalah keringat pahlawan sejati yang tak pernah mau lelah sebelum semua pekerjaan tuntas. Ingat, jangan tergoda dengan tawaran kesejahteraan dan ajakan untuk curang. Pidana di dunia dan neraka diakhirat adalah kerugian yang sangat besar, jangan sia-siakan !. Sukses, bahagia dan sejehtera selalu buatmu sahabat..................
Tidak ada komentar:
Posting Komentar