“Karena ada hati yang tertambat,dan karena manusia memiliki identitas maka Mudik itu perlu” (Status di dinding FB ku tertanggal 13 September 2009, sehari sebelum mudik)
Dari sebuah kota kecil dan indah tempatku kini bekerja sebagai abdi Negara, kutempuh Kurang lebih 200 Kilometer menuju tambatan hati tempat kelahiranku di kampung Lita. Se sampai di rumah, Bunda yang aku panggil Ummi menyambutku dengan sumringah. Nampak betul wajah demikian bahagia terpancar di mukanya, yang walau sudah terlihat ada keriput masih nampak jelas goresan-goresan kecantikannya di 30 tahun yang lalu.
Kini umurnya 54 Tahun, namun beliau masih kuat tiap hari mengurus ayam dan itik peliharaannya. Beliau juga rutin datang berjamaah di Masjid kampung kami disetiap azan memanggilnya, serta men tadarrus mushab Al Qur’anya yang pada Pemilu tahun 1999 lalu, ada Calon Legislaif yang menghadiahkannya.
Kujabat tangannya, kucium dan tak sabar aku cepat membuka kantongan baju lebaran buatnya yang aku beli di Jakarta dua bulan lalu. Iya, aku membelinya di Jakarta, karena itu walau kualitas dan harganya sama dengan pakaian di Pasar Butung-rasanya pasti menjadi berbeda ketika itu dibeli di Jakarta, karena ada sebab kenapa anak Bunda membeli di Jakarta serta ada cerita yang membanggakan, minimal bagi Bunda dan orang-orang di kampung yang berdecak kagum akan cerita asal muasal baju itu. Bagiku pun demikian, aku bangga telah mampu membelikan beliau baju, setelah puluhan tahun tak terhitung pakaian yang Bunda belikan dan Beliau tak pernah membanggakannya. Aku harus memberinya sekarang, aku tidak mau menunggu, telah lama baju ini kusimpan dan aku harus memberinya langsung setelah kucium tangannya, yang karena Doa’nya anaknya yang goblok ini telah dianggap sukses dalam ukuran orang-orang yang sudah memakan gaji negara. “Nak, bukan karena harganya, tetapi ini adalah tanda bahwa anakku telah berhasil”, kata Bunda ketika aku berbasa-basi berkenaan dengan harga baju hadiahku yang tidak mahal dan tak sebanding dengan apa yang belia pernah berikan padaku itu.
Sukses bagi mereka, tetapi bagiku tak lebih sebagai buah doa yang tak lepas dipanjatkan di shalat tahujjud Bunda kami yang bersahaja. Aku rindu, sungguh sangat rindu. Melihatnya, terasa aku memiliki identitas. Identitas anak kampung yang lahir tidak karena bantuan perawat kesehatan. Tumbuh besar tidak karena susu ‘sapi’ formula, tetapi beras dari sawah kami sendiri dan dedaunan sayur yang dipetik di halaman rumah panggung kami. Bahkan, maaf sepupuku kusaksikan dikhitam dengan sangat sadis dengan pisau cahile bambu yang diraut tajam oleh puang guru, yang seandainya aku tidak melarikan diri dan bersembunyi hingga magrib saat itu, aku pun akan mengalami hal yang sama. Seandainya di saat sekarang aku masih bocah dan dia juga akan melakukannya padaku, tentu akan kulaporkan ke komisi Hak Azasi Manusia. Bukan apa-apa, dua minggu orang tersiksa berjalan ngangkang dan pastinya begitu menderita karenanya.
***
Ummi masih saja sederhana. Hidupnya, beliau jalani sendiri dengan damai. Duka karena berpulangnya seorang kepala desa sebelas tahun yang lalu, ayah dari kami tujuh bersaudara dari dua Ibu yang mulia. Ibu yang mencintai kami layaknya anak yang lahir dari dua ibu tapi satu rahim yang sama. Kerinduan akan hadirnya sosok penuh wibawa, keras khas Orde Baru dan bijaksana saat menyelesaikan sengketa tanah, perceraian dan penentuan jadwal turun menanam dan pesta panen kembali menyayat kerinduan hati kami disaat lebaran menjelang. Biasanya beliaulah yang di panggil Petta Desa, memberi sambutan di Masjid sebelum khutbah Id dibacakan Puang Guru, anak yang menggantikan Puang Guru sebelumnya yang penah bernafsu mengkhitamku itu. Khutbahnya dalam bahasa lontara Bugis. Saya tahu betul ketika khutbah lebaran akan dibacakan, saya dan mungkin jamaah yang lain pasti akan bergumam dalam hati “pasti salah tanggal”. Gumam yang sudah mendekati keluhan itu beralasan, soalnya apa yang dibacakan khatib tidak pernah berubah isinya dari Kakek, ke Bapak dan kini ke anaknya, turun-temurun. Hanya tanggalnya saja yang berubah dan terkadang itupun salah.
Payah, tapi kami tidak mau protes karena Bapak yang adalah kepala desa disegani itu selalu saja mempercayai Puang Guru yang tidak inovatif itu, seluruh warga desa tidak ada yang berani protes termasuk saya. Nanti setelah beliau meninggal, barulah ada perubahan setelah Kakak tertua kami, sarjana Ilmu Pemerintahan menggantikan Ayah menjadi Kepala Desa. Kakak waktu itu tidak mau jadi Kepala Desa. Apa daya, tradisi turun temuran yang nepotism di era reformasi itu masih berlaku mutlak di desa kami. Pemilihan Kepala Desa sebagai amanat UU No 23 tahun 1999 tentang pemerintahan Daerah kemudian digelar dengan rival tanding yang dipaksakan. Hasil pemilihan, hanya menyisahkan 7 suara yang memilih pesaingnya. Anehnya lagi, pesaingnya justru minta maaf mengapa suaranya bisa sebanyak itu. Yah, sekali lagi inilah demokrasi ala desaku yang juga kini menjadi identitasku. Nasib Puang Guru pun berubah. Beliau lengser dari podium pada lebaran-lebaran selanjutnya. Beruntung beliau, karena indah alunan suaranya dalam melafalzkan ayat-ayat Suci, menjadikan beliau tidak ada yang percaya diri menggantikannya sebagai Imam. Adapun yang menjadi kahatib sudah berganti-ganti karena sudah beberapa anak muda kampung kami telah disekolahkan dan beberapa diantaranya telah mengecap dunia pesantren, setelah sekian tahun lamanya hanya saya dan kakak saya yang menikmati bangku kuliah dan hanya adik saya dan salah seorang anak pedagang yang mampu bersekolah di tingkat SLTA. Jangan Tanya, berapa PNS di kampung kami. Sampai saat ini tidak ada sama sekali.
***
Kini, desa kami telah berubah banyak. Puluhan tahun lalu, warga desa yang hanya menikmati penerangan di malam hari dengan pelita minyak kemiri atau minyak tanah yang membuat hidung kami menghitam karena jelaganya, kini telah berganti bohlan lampu neon dari pembangkit listrik tenaga surya. Genset juga sudah ada sebagai penopang penguat daya yang dikelola masyarakat secara swadaya. Gosip Ibu-ibu tidak lagi hanya persoalan pendapatan anak-anak mereka sebagai TKI di Malaysia dan Arab Saudi tetapi sudah beralih pada alur cerita sinetron Cinta Fitri dan Isabella. Muda-mudi tak kalah serunya, ia sudah mampu memprediksi siapa pemenang KDI dan AFI. Bahkan berusaha mendukung idolanya dengan sms dengan singnal yang timbul tenggelam. Maklum, kampung kami yang terletak di daerah lembah dari pegunungan yang mengapitnya tidak memungkinkan peralatan komunikasi berfungsi baik untung ada anten penguat signal yang diadakan oleh adik saya yang lulusan STM itu. Kini dia berprofesi sebagai pedagang hasil Bumi Kemiri, kacang tanah dan beras. Termasuk makelar pengadaan antene, karena kehendak untuk TKI di Jepang tak kesampaian.
Air yang pada musim kemarau harus ditempuh mendaki 4 kilometer untuk menuju sember air di kaki gunung kini telah diganti dengan pipanisasi air bersih. Jalanan sudah pengerasan dan tidak lagi berlubang-lubang di musim kemarau dan berlumpur di musim hujan . Sewaktu masih SMA, jikalau liburan dan musim hujan tiba, terkadang aku harus menunggu di pinggiran sungai yang membatasi kampung kami dengan kampung sebelah selama dua hari. Derasnya air sungai tidak memungkinkan saya untuk bisa menyeberang. Kini jembatan sudah terbangun. Irigasi untuk mengaliri sawah-sawah juga sementara dibangun. Tak terasa itu hanya dimulai 6 tahun lalu, dan kini sudah dinikmati. Mungkin itulah bedanya Kepala Desa Orde Baru yang berpikiran ortodoks seperti Bapak saya dan Kepala Desa Reformasi yang masih muda seperti kakak saya. Kakak saya berumur 27 tahun ketika menjabat sebagai kepala desa.
***
Berbagai perubahan telah terjadi, yang tidak berubah hanyalah hasil dari mekanisme pemilihan Kepala Desa. Setelah Kakak terpilih sebagai Legislator Kabupaten dengan suara terbanyak di Partainya. Pemilihan kembali digelar sebelum Pemilu Legislatif 2009 lalu dilaksanakan. Karena tidak ada yang mau jadi kepala desa, terpaksa Istri dari kakak saya bertarung dengan mantan kepala desa yang juga suaminya. Aneh, dan ternyata hasilnya dimenangkan oleh istrinya. Sang Suami hanya mendapatkan 11 suara. Persis sama dengan angka pada urutan nomor Calegnya. Sekali lagi ini bukan sesuatu yang direkayasa dari kami, tapi rakyatlah yang memodifikasinya. Sungguh demokrasi di desa kami kacau buaanget.
Semua berubah, namun Ummi masih tetap bersahaja. Tidak berubah. Anggota DPRD baginya mungkin hanya dianggapnya sebagai pekerjaan biasa. Yah, mirip-miriplah PNS. PNS juga tidak beliau banggakan. Sebenarnya Ummi kami dulunya adalah seorang PNS Guru Agama yang harus mengundurkan diri sebelum bertugas karena diminta Etta untuk mundur dan memilih mengiikutinya sebagai Kepala Desa dan mendidik anak-anaknya yang nakal. Ummi malahan menganjurkan kami untuk berdagang saja supaya bisa membawanya ke tanah suci. Soalnya pedagang di desa kami adalah yang memonopoli status haji, dan beliau sampai saat ini belum mampu kami hadirkan untuk memenuhi panggilan Allah untuk berhaji. Salaamu Alaika Ya Rasul, Rindu kami berziarah ke Makam mu, Tetapi bahkan Ibu tua yang pemberiannya tak pernah ingin berbalas, belum mampu kami penuhi kerinduannya. Semoga Allah menyatukan potensi kami, dan air zam-zam dapat kami nikmati langsung dari tangan Bunda yang di dada sanubari kami bersaudara, terpahat abadi kemuliaan namanya.
Catatan ini adalah realita yang sedikit di bungkus dengan kesan hiperbola, hanya untuk menggabarkan santai, cinta sang Bunda, kesan disaat mudik, demokrasi yang kacau dan sisi perubahan di sebuah desa kecil di daratan tertinggi Kabupaten Bone. Desa yang terletak di daerah perbatasan kabupaten Gowa, Maros dan Sinjai. Terpencil, bergunung dan sangat dingin. Itulah kampung kami, tempat kami sekeluarga bersenda gurau di saat mudik. Maka benarlah bahwa Surga itu ada di telapak kaki Ibu, Energi untuk berubah lebih penting dari perubahan itu sendiri dan Demokrasi itu tidaklah berlaku universal
Tidak ada komentar:
Posting Komentar