Oleh: Andi Irwandi Natsir
Kuingat betul hari itu, kabut masih terasa begitu membuai rasa malas ini untuk segera berbenah. Hawa dingin yang sangat, setelah sebelumnya gerimis membasahi lembut lembah desaku membawaku ingin terus berkhayal sambil tiduran dengan selimut hangat itu. Tidak, aku harus segera mempersiapkan acara. Sejuta usul telah aku siapkan untuk dipertimbangkan dalam musyawarah para tokoh masyarakat kantor desa. Hari itu jadwal MUSRENBANG Desa MattirowaliE, Kecamatan Bontocani Kabupaten Bone.
Musyawarah Perencanaan Pembangunan, yang kemudian disingkat dengan Musrenbang sebagai kewajiban tahunan mengawali proses pembangunan sangatlah penting menurutku. Sebagai kepala desa ketika itu, saya sudah membekali diri dengan beberapa bacaan, hasil rapat tingkat Kecamatan dan diskusi-diskusi kecil tentang apa dan bagaimana pembangunan itu berproses secara partisipatif melalui Musrenbang. Sungguh ini hadiah terbaik bagi warga desa karena reformasi telah mengamanahkan pembangunan yang responsive, akuntabilitatif dan tentunya partisipatif. Musrenbang adalah sarana untuk menggali kebutuhan aspiratif masyarakat untuk mengentaskan diri dan desanya menuju kesejahteraan. Intinya Musrenbang, telah membangkitkan adrenalin saya untuk menghamburkan segala ide yang terpendam selama ini.
Singkatnya, proses musyawarah waktu itu telah berlangsung alot. Walau usul lebih banyak didominasi oleh diri saya sendiri, setidaknya usulku sudah merupakan telaah realitas dari sesuatu yang aku lihat, rasakan dan konsultasikan dengan tokoh masyarakat selama ini. Wajar, Desa terpencil, dengan tingkat pendidikan yang rendah di desaku telah membuat keluh lidah warganya untuk berbahasa, tetapi tidak berarti menumpulkan tajamnya nurani mereka untuk merasakan sesuatu yang mereka butuhkan. Bahasa mereka singkat, menohok, khas dan lugu. Bagiku itulah yang dibutuhkan. Sebuah bahasa yang jujur, tanpa sedikitpun kepentingan bernuansa elite.
Musrenbang yang dalam perspektif perencanaan merupakan forum lintas sektoral untuk merancang apa yang akan dijalankan pada pembangunan tahun berikutnya, yang tentunya searah dengan visi Kabuputen Bone. Visi kabupaten Bone agar “TERWUJUDNYA MASYARAKAT KABUPATEN BONE YANG MAJU, MANDIRI, DEMOKRATIS DAN BERADAB”, diharapkan tercapai dalam proses musyawarah ini, yang senada dengan salah satu misinya yakni Mendorong dan mengembangkan kehidupan dan mekanisme politik daerah yang sehat didukung partisipasi aktif seluruh masyarakat dan lembaga-lembaga swadaya masyarakat.
Kekhawatiran mulai muncul, betulkah kewajiban tahunan berupa Musrenban ini tidak akan sia-sia karena pelaksanaan nya dalam realisasi APBD bias dari pelaksanaan Musrenbang. Pengalaman selama ini, dalam APBD hanya memuat maksimal 30% anggaran Pembangunan sisahnya adalah anggaran rutin. Dapatkah sejumlah 333 desa dan 39 Kelurahan di Kabupaten Bone, dengan jumlah penduduk sebesar 963.524 jiwa mampu dipenuhi harapannya dalam APBD 2010 nanti ? tidakkah semua ini akan menjadi hanya sekedar bagian ‘pemanis’ dari Musrenbang tersebut untuk sekedar membuktikan ke publik bahwa semua proses ini sudah semaksimal mungkin dilakukan secara demokratis
Musrenbang, di desaku sekitar 4 (empat) tahun yang lalu kemudian membuktikannya. Terasa usulan yang berjubel dengan skala prioritas yang telah ditentukan pada akhirnya bias. Prioritas pembangunan infrastruktur jalan, sarana kesehatan dan air bersih sebagai sebuah prioritas belum sepenuhnya terpenuhi. Saya yakin di desa lain pun malahan lebih parah, karena adapun fasilitas jalan, panel surya untuk listrik, sarana pipanisasasi air bersih secara swadaya yang akhirnya terpenuhi, tidak karena hasil dari Musrembang, tetapi merupakan langkah perjuangan personal kepala desa untuk mendesakkan agar hal ini terwujud, itupun tidak kesemuanya karena hasil APBD kabupaten Bone. Bagaimana dengan kepala desa lainnya yang tidak mampu dan memiliki jaringan untuk berjuang sendiri untuk desanya ? tentu akan kesulitan dan hanya terus menyimpan harapan, yang entah kapan itu akan mewujud.
Marah dan kecewa pada satu hal yang sama dan berulang-ulang, bagiku adalah sesuatu yang bodoh, tetapi perjuangan paling kecil untuk itu dengan hanya sekedar memahami tidak harus membuat kita memaknai kesabaran menanti dengan diam tak melakukan apa-apa. Setidaknya, saya mulai memahaminya sesuatu yang bernama Musrenbang itu sesungguhnya sangat penting karena para pemangku kepentingan (stakeholders) telah dilibatkan dalam prosesnya. Bahkan hal ini sudah diatur dengan sangat mendetail dalam UU Nomor 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional. Masalahnya adalah, saat setelah dirumskan menjadi APBD yang disahkan oleh DPRD usulan-usulan itu kerap tidak lagi sesuai dengan apa yang diperdebatkan dilapangan. Mungkin hal ini disebabkan karena elite pengambil kebijakan berkolabarasi dengan berbagai kepentingan yang muncul sehingga mengalahkan aspirasi yang jauh jauh hari telah disampaikan.
Maulana Mukhlis, Mahasiswa Pasca Sarjana MIP Unila dalam satu artikelnya yang saya research di google memberikan jawaban atas segalah pertanyaan ini, tentang mengapa tidak semua aspirasi masyarakat dalam proses pra maupun pasca musremban banyak yang tidak diakomodir setelah menjadi dokumen APBD. Hal ini kemudian dijawab dengan keterbatasan anggaran, maka zero, yakni terjadi perencanaan versus penganggaran. Dalam konteks ini, diskursus tentang makna Musrenbang pele diketengahkan yakni bagaimana membangun singkronisasi politik perencanaan dengan politik penganggaran.
Lemahnya fungsi BAPPEDA dalam hal ini, lanjut Maulana Mukhlis ada pada konteks penyelarasan program dan ketersediaan anggaran, sehingga penetapan prioritas dan alokasi menjadi sesuatu yang tidak bisa disepakati dan dihasilkan dalam Musrenbang. Karena kepastian prioritas dan penyepakatan anggaran itu tidak selesai di Musrenbang, maka agenda pasca Musrenbang yang nota bene tidak bisa dipantau oleh banyak orang menjadi forum yang lebih menentukan, dan sarat dengan kepentingan. Selain itu, fungsi penganggaran sekarang ini sesuai UU Nomor 25/2004, bukan lagi kewenangan BAPPEDA, melainkan kewenangan bagian/biro/dinas pengelolaan keuangan sehingga sinergisitas antara perencanaan dan penganggaran tidak bisa dijamin.
Nah, masalahnya kini berlahan mulai terkuak. Solusinya sebenarnya sederhana, yakni ada pada kemauan politik untuk betul-betul menjadikan forum Musrenbang itu sebagai landasan, tidak kemudian terkaburkan bahkan hilang karena kepentingan ‘proyek’ elit. Selain itu penting, bagaimana membuat proses partisipatif dalam Musrenbang di tingkat masyarakat sesuai alur kebutuhan tidak sekedar keinginan-keinginan. Penting juga untuk memfasilitasi masyarakat bagaimana seharusnya membangun prioritas sesuai indikator-indikator tertentu. Adapun berkenaan dengan regulasi tentang peran BAPPEDA akan menjadi solutif jikalau bagian/biro dan dinas sebagai pengelola keuangan disinergikan dalam kerangka perencanaan besar hasil Musrenbang.
Kurangnya infrastruktur pedesaan sesuai standar pelayanan minimum memerlukan program-program terkait dengan upaya pemberdayaan masyarakat, pertumbuhan ekonomi daerah dan pembangunan infrastruktur dasar guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Hal ini merupakan hal yang perlu diperhatikan oleh pemerintah daerah dalam penyusunan APBD sesuai dengan Permen Nomor 32 Tahun 2008 tentang Pedoman Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja daerah Tahun anggaran 2009. Walau hal ini adalah pedoman APBD untuk tahun 2009, setidaknya terharap masih relevan dengan program penyusunan APBD tahun 2010 di Kabupaten Bone.
Tulisan ini hanyalah sekedar oleh-oleh seorang mantan Kepala Desa berupa ‘segelas madu’ dari pegunungan Bontocani untuk dirinya, pemerintah dan kawan-kawan nya para legislator Kabupaten Bone. Bontocani adalah penghasil madu alami terbaik di Kabupaten Bone yang belum disentuh pengelolaan professional dari pemerintah maupun swasta. Hal ini juga, belum pernah sedikitpun di bahas dalam APBD untuk pengembangannya, mungkin hal ini bukanlah prioritas, tetapi dalam misi kabupaten bone point (2) Nampak jelas kata: “Penguatan daya saing dan peningkatan kualitas produk unggulan daerah untuk mengurangi ketergantungan dalam upaya pembangunan daerah”. Semogalah, mudah-mudahan catatan ini adalah madu sebagai obat, dan sengatan lebah nya dianggap sebagai kritik yang membangun. Kerjasama terstruktur para lebah penghasil madu sungguh keajaiban yang luar biasa yang dicontohkan Allah, bagi orang-orang yang ingin mengambil pelajaran.
MattirowaliE, 1 Desember 2009
*) Tulisan ini adalah sebuah catatan mengawali proses pembahasan APBD di DPRD kabupaten Bone, satu yang penting. Kritik ini 90% adalah kritik buat saya
**) Penulis adalah mantan Kepala Desa MattirowaliE Kecamatan Bontocani.
.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar