Seperti datang bulan. Bawaannya ngomel melulu, banyak protes. Saya, Si Ayah hanya ingin mengambil satu bawaan datang bulan ini. banyak protes. Protes cerewetnya tidak tanggung-tanggung. Mulai dari masalah buku pelajaran, Pekerjaaan Rumah yang berjubel pelik, waktu bermain sampai pada hal kebodohan si Ayah sendiri waktu bersekolah dulu. Nah, siap-siaplah membaca tulisan protes cerewet nan panjang ini.
Suatu malam, saya jadi o’ot kelimpungan. Tugas rumah Tira putri kecilku yang baru kelas IV Sekolah Dasar, tak mampu saya jawab. Wajar, Matematika adalah pelajaran ‘mematikan’ bagiku waktu bersekolah dulu. Mistar kayu Pak Guru selalu saja mencecar (maaf) pantatku ketika saya kesulitan menjawab soal perkalian. Ketika itu, saya berada di tingkat kelas yang sama dengan putriku kini. Setelah kucermati soalnya. Ternyata, pelajaran seperti itu seolah pernah saya pelajari sewaktu SMP dulu. Wah, zaman telah berubah pelajaran pun semakin sulit. Setidaknya bagi saya.
Untuk membuang rasa malu, sayapun menanyakan dimana buku cetaknya Ia simpan, mungkin ada contoh di sana yang bisa dicontek.
“Tidak ada Ayah, Kata Ibu guruku, bukunya belum datang”
“Kenapa Nak ?. Kan, bukunya sudah di bayar…!?.“
Keadaan bertambah pelik. Saya heran, kenapa bukunya belum ada. Konfirmasi ibunya, buku itu sudah dibayar sejak awal semester. Ternyata pengadaan buku di sekolah nya seperti ditender. Mungkin biar seragam. Sebenarnya bagus, tetapi jangan dong beri PR sulit kalau bukunya belum ada. Memang ada catatan sekolah dari Tira, tetapi tetap saja tidak cukup membuat ayah o’ot ini paham. Tulisannya kecil, demikian alasanku sama si kecil. Alasan dibuat-buat.
Sebelum tulisan ini di buat, buku itu sudah ada. Saya sudah membelikannya minggu lalu, biar saja uang itu ‘mati’ dan biar saja bukunya dobel, satu untuk saya. Ternyata bukunya yang sudah dibayar itu belum ada sampai saat PR itu menyulitkanku. Mungkin penerima proyek buku itu ngacir, saya yang jadi korban. Sebenarnya sudah ada sebagian teman Tira yang mendapatkannya.
Sebelumnya, memang Ibunya yang biasa membantu menjawab soal-soal PR matematika. Ibu anakku, yang juga kekasihku itu memang jago matematika. Tentang matematika, Saya hanya pemeran pengganti. PR favoritku, sebenarnya IPS dan Bahasa. Tetapi bukan Bahasa Inggris. Bahasa itu, sedikit saya benci. Membuat lidah jadi berpilin saja.
Eits tunggu dulu, jangan berhenti membaca. Tulisan selanjutnya adalah inti pesannya.
*****
Kini, biaya pendidikan memang sudah murah. Iklan kampanyenya berkalimat, Pendidikan Gratis. Program ini ditelorkan Gubernur Sulawesi Selatan Syahrul Yasin Limpo saat kampanye Pilkada Gubernur tahun 2007 lalu. Satu tekad Pak Syahrul, bahwa tak ada lagi anak tidak bersekolah hanya karena alasan biaya. Program yang luar biasa. Wajar saja, Beliau memenangkan Pilkada waktu itu, walau dengan selisih yang sangat tipis.
Gratis yang dimaksud, tidak semuanya. Buku, pakaian dan uang komite sekolah adalah pengecualian. Buku sebenarnya tidak mahal. Bukan itu yang membuatku protes. Muasal protesku cuma satu, kenapa saya tidak tahu menjawab PR matematika anak SD itu. Sebenarnya saya masih mau protes tentang kenapa buku diganti tiap semester, dan kenapa tidak pinjam saja ke kakak kelasnya seperti saya dulu. Saya berhenti protes karena khawatir saja, gurunya membaca tulisan cerewet ini. he-he-he
Selain buku, memang beban belajar anak sekarang berat. Tira, kebanyakan bertemu dengan saya menjelang magrib. Tira pulang sekolah pukul 13.00, Saya ‘tutup toko’ pukul 16.00, ibunya balik kantor pukul 14.00. Tira harus mengaji, les bahasa Inggris, latihan pramuka, atau kerja kelompok pukul 15.00. dan balik pukul 17.00. Saya dan ibunya terpaksa meminta tante nya untuk antar jemput, termasuk menjemput Tari si Bungsu yang masih TK. Praktis hanya sejam waktunya bermain, dan kadang putri kesayangan kami itu tidak menggunakannya bermain, karena tertidur kecapaian. Tidur sore sebenarnya tidak sehat, tetapi kami tidak tega melarangnya.
Setelah magrib, adalagi PR yang harus dikerjakan. Biasanya tidak hanya satu. Pernah saya mendapatkan ada tiga mata pelajaran yang harus dikerjakan bersamaan di rumah. Bahkan kadang ada tugas rumah atau kelompok berupa pekerjaan keterampilan yang PRnya di tugaskan hari Sabtu dan dikumpul hari senin. Hari minggunya pun tercerabut dari bermain bebas. Kenapa yah? apakah seabrek Les sore dan PR yang berjubel itu, mampu mendidik anak bangsa menjadi cerdas? Bagaimana dengan kurangnya waktu bermain, besosialisasi dan bersenda gurau dengan orang tuanya?. Mohon bantuannya. Mungkin saya salah.
Pernah saya menghasutnya untuk membangkang. Menolak mengerjakan PR dan tidak ikut les. Tetapi Tira membantah Ayahnya yang provokator ini. Tira sangat hormat (mungkin) takut pada gurunya. Sekolah tempatnya belajar memang favorit di kabupatenku. Anakku itu rangking 16 semester lalu. Saya sempat meledek protes. Karena waktu kelas IV dulu saya rangking II. Setelah melihat rapornya, saya malu sendiri, ternyata tidak ada angkanya yang bernilai 7. Hanya tiga angka 8, dan lainnya angka 9 atau 10. Sementara saya dulu, rangking II karena mendapat nilai rata-rata 8. Pasti yang rangking I di sekolahnya, rata-rata 10. Jadi malu deh.
Oke, sampai di sini, Anda boleh berhenti membaca.
Judul di atas, dicomot dari profil kompasianer bertalenta hebat Azalleaislin
Salam dari Ayah Cerewet: Daeng Andi
2 komentar:
saya saja keberatan dengan tugas sekolah yang menurut saya berlebihan hhahahaha
he he he
makasih atas inspirasi judulnya Lin
Posting Komentar