Kini jarak, ruang dan waktu, telah serasa dekat, sempit dan singkat. Kabel fiber optic yang kini sudah melintang panjang di bawah samudera pasifik , telah membuat seluruh manusia di dunia bisa terhubung dengan mudah.
Ponsel, bukan lagi barang langka. Alat komunikasi yang generasi pertamanya ditemukan tahun 1973 ini, bisa dibeli ibarat kacang goreng. Para operator selular juga berlomba menawarkan harga pulsa yang murah, berikut iming-iming hadiah penyerap pulsa yang kadang seperti tipuan menggiurkan bagi pelanggan yang gagap teknologi.
Jikalau Anda berada di udara atau puncak gunung, maka kota terlihat seperti rimba menara selular. Tower yang tingginya jauh mengalahkan tugu kota ataupun monument pahlawan kemerdekaan itu, adalah menara BTS ((Base Transeiver Station) pemancar sinyal, yang kini diusahakan dapat menjangkau desa terpencil sekalipun.
Permenkominfo No. 2 / 2008 tentang Pembangunan dan Penggunaan Menara Bersama, adalah solusi. Mungkin karena visi bisnis yang berbeda, tetap saja menara yang tingginya minimal 42 meter itu malang melintang di berbagai kota.
Jikalau tak ada keinginan bersama untuk menyatukan BTS para operator, maka kelak tower-tower itu bakal berubah seperti jejeran pohon besi tak berdaun.
Jikalau semakin banyak, maka menara yang luasnya se kapling perumahan itu, akan mengganggu estetika kota. Selain estetika, dapat juga merugikan penduduk sekitar, semisal sambaran petir pada menara BTS yang pernah terjadi di Bandung. Kejadian itu ditengarai penyebab rusaknya peralatan elektronik warga sekitar. Bahkan ada warga yang kakinya tersambar petir.
Kasus di atas, seperti yang ditulis Abdul Syakur dari Departemen Electrical Engineering UNDIP, Menurutnya, kehadiran BTS di suatu tempat, akan meningkatkan angka jumlah sambaran petir di tempat tersebut. Sehingga, frekuensi sambaran petir di sekitar menara akan meningkat, dibandingkan sebelum ada tower BTS.
Seorang kenalan yang digunakan tanahnya untuk tower, justru merasa senang karena tanahnya yang terbengkalai dikontrak sepuluh juta pertahun. Mahal juga yah? Karena mahalnya, seorang kawan saya yang bekerja sebagai teknisi tower akhirnya menjawab pertanyaan heran saya, kenapa banyak tower yang berdiri di lokasi pekuburan.
Awalnya, saya berbenak klenik. Mungkin karena sinyal tak terlihat, miriplah dengan sifat setan yang banyak di kuburan. Sempat juga ada kawan yang berguyon, mungkin karena itu, ada operator selular yang menggunakan nama setalindo. Aha, ternyata tanah di pekuburan harganya murah dan juga mungkin gratis, karena pemiliknya sudah berbaring di bawah tower.
Karena perusahaan selular adalah komersil, tentu mereka memakai prinsip ekonomi, biaya sedikit hasil banyak. Setidaknya ada 10 operator selular di Indonesia dengan berbagai produknya. Kesepuluh operator itu telah membuat saya empat kali ganti kartu perdana. Karena kartu itu murah bahkan ada yang gratis. Jangan heran kalau para peselingkuh, teroris, koruptor, dan orang yang banyak utang, gonta-ganti nomor handphone.
Sudah murah, promosi juga semakin gencar. Prinsip ekonomi kembali dijalankan. Rumah-rumah penduduk, tembok pagar dan tembok lainnya di branding jadi iklan. Kalau Anda ke Makassar, cobalah lanjutkan perjalanan ke Kabupaten Bantaeng, kota saya. Di sepanjang jalan protokol, akan dijumpai banyak reklame selular yang mencolok di dinding rumah-rumah penduduk.
Kenapa di rumah penduduk? Ternyata biayanya murah karena tidak terkena pajak reklame. Iklan di tempat milik pribadi ini berkategori reklame sidebar yang dikecualikan sebagai objek pajak.
Reklame yang sidebar, adalah reklame memberi manfaat atau bermanfaat bagi yang menerima. Manfaatnya apa? Tentu, toko atau rumahnya yang kedapatan iklan akan di cat gratis.
Selain itu, apa lagi? Kerabat saya yang memiliki gerai handphone, mendapat imbalan 10 lembar vocher pulsa seharga Rp. 20.000, setelah dindingnya di branding kuning dan merah mengkilap. Artinya, perusahaan hanya mengeluarkan uang Rp. 200.000 untuk penerima ‘manfaat’, dan perusahaan selular bebas mencat sepuasnya, seluas dinding. Murahkan?
Anda tahu, Negara ini menerapkan tarif pajak reklame sebesar 25% dalam UU Nomor 34 tahun 2000. Tarif ini adalah yang tertinggi kedua setelah pajak hiburan yang sebesar 35%. Karena keingin tahuan, saya yang tidaklah sehebat Gayus Tambunan menghitung pajak ini, mencoba menghitung pajak reklame seperti yang disosialisasikan pemerintah Kota Batam.
Ternyata, untuk billboard seukuran 6×4 meter pada lokasi jalan protokol A, pajaknya bisa mencapai kurang lebih Rp. 60.000.000 pertahunnya. Tidak murah kan? Itu kalau dibandingkan dengan harga 10 lembar vocher 20. Kenapa saya sebut jumlahnya “kurang lebih”, karena biasanya pajak bisa dinegoisasikan, itu kata orang-orang.
Strategi perusahaan menghindari pajak yang mahal, itu wajar. Kata anak gaul, “namanya juga usaha…..”. Agar tidak terkesan sirik tanda tak mampu, saya sekali lagi hanya menyoal estetika. Keindahan kota sepertinya agak terganggu dengan reklame mencolok di rumah-rumah penduduk ini, yang jumlahnya saya yakin akan semakin bertambah.
Sekilas pernah saya membaca di Koran, iklan-iklan yang mencolok di jalan protokol bisa mencelakakan pengguna jalan. Tetapi iklan yang dimaksud adalah iklan komersil yang dikenakan bea pajak. Menurut saya, iklan-iklan di rumah penduduk yang bisa tiga kali lebih besar dari ukuran billboard atau sepanjang ukuran pagar sangat berpotensi penyebab kecelakaan.
Terbayang, bagaimana kalau penjual obat, penjual tomat, wortel dan cabe keriting, juga mencat rumah-rumah penduduk untuk iklan murah. Cobalah Anda tidak membayangkannya, karena ada bakal tersenyum geli. Seperti geli dan herannya saya, ketika banyak orang yang bahkan ingin menawarkan rumahnya di cat iklan.
Perkembangan tekhnologi telepon genggam, yang kini sudah semakin canggih dan perusahaan operatornya yang juga semakin bersaing ketat, tentu akan memanjakan konsumen. Mekanisme pasar akan memberi harga murah untuk konsumen. Karena harganya murah, maka biaya oleh perusahaan juga semakin ditekan, semisal mencari tanah untuk tower di pekuburan atau memasang reklame yang sidebar.
Sumbangsih perusahaan selular untuk keindahan kota dan keselamatan warga, saya kira perlu. Perusahaan memiliki tanggunggung jawab sosial, dengan meminimalkan efek negatif promosi komersilnya. Bahkan perusahaan rokok pun banyak beriklan sambil mensponsori acara olahraga, lingkungan dan panjat tebing sebagai bagian dari tanggung jawab sosialnya di bidang kesehatan dan lingkungan (mungkin). Aneh kan?
Salam Kompasiana!
Bantaeng, 12 Juni 2011