Kumuhnya Asrama Prajurit Kita *)
HL | 08 February 2012 | 11:10830 52 3 dari 3 Kompasianer menilai aktualPembawaannya asyik, tak mirip seperti tentara kebanyakan yang jika bicara mirip senapan dikokang. Sebut saja namanya Pak Ramang, karena jikalau menyebut nama aslinya, bisa Ia dijewer komandannya karena menjadi narasumber rahasia saya. Pangkatnya saya tak tahu, karena memang beliau warga baru di kompleks kami.
Strata kepangkatan di TNI dan Polri memang saya tak paham, kecuali pangkat Briptu Polri yang pernah disandang Norman Kamaru. Artis dadakan itu sekarang telah dipecat di kesatuan Brimob karena ingin fokus bergoyang chayya chayya. Polisi sekelas Briptu saja sudah berjaya, walau itu dangdutan.
Pangkat Jenderal bintang lima Soeharto, juga tak saya lupa, karena andaikan ada jenderal bintang tujuh, mendiang presiden kita itu juga bisa menyandangnya dengan mudah, biarpun rakyat harus sakit kepala. Konon, pangkat menantunya saja didongkrak berkali-kali. Saat Pak Harto berkuasa, tentara berjaya.
Foto lawas, prajurit lagi berlatih |
Pak Ramang yang ternyata sering ditugaskan sebagai koki karena terbilang junior di kompinya itu, memang begitu bersemangat berkisah tentang tugasnya di Aceh dan Papua. “Ditugaskan untuk berperang adalah kehormatan bagi setiap prajurit, Pak” ungkapnya bersemangat sambil menerawang, seolah mengingat kontak senjata yang pernah ia lakoni di tepian sungai, di daerah Aceh Timur.
“Sayang yah Pak, kita melawan rakyat sendiri…….” Kata saya, nyeletuk, tak sengaja. Pak Ramang hanya tersenyum, saya jadi khawatir pasukan elit yang pernah (harus) memakan ular piton sebesar paha itu akan tersinggung. Ternyata tidak, “ he, he, he, karena tugas Pak!”, ungkapnya singkat. Sepertinya, pertanyaan ceplos saya sulit dijawab.
Usai kisah perang, nyambung ke bincang bangunan. Pak Ramang yang juga jago memasang batu bata rumahnya sendiri berkisah tentang kokohnya Asrama Kariango, Sulsel. Di barak yang terletak di Kabupaten Maros itulah kini ia bermukim sendiri saat bertugas. Asrama yang pembangunannya di komandoi almarhum Panglima M. Yusuf itu masih sangat kuat hingga kini.
Istri Pak Ramang tinggal dan bertugas sebagai PNS di Bantaeng. Setiap sabtu atau saat libur, sepanjang 130 km dari Kabupaten Maros, ia harus memacu motornya ke Bantaeng, kembali melepas rindu ke pangkuan “ibu pertiwi”.
“Mungkin, karena kuatnya bangunan panglima itu, rumah dinas yang ditempati komandan saya sampai sekarang tidak juga di rehab”. Kata Pak Ramang, terkesan satir.Saya menyelidik, serasa ada kekecewaan di hati Pak Ramang. Serasa ingin Ia mengungkap bahwa prajurit di era korupsi ini tak lagi diperhatikan. Bahkan bangunan untuk tempat komandannya saja belum pula direnovasi. “Bagaimana keadaan prajurit di barak-barak tentara Pak?” Saya memancingnya untuk berkata “kecewa”, tetapi ternyata beliau tentara sejati. Tak Ia layani pertanyaan saya, dia hanya tersunging manis dalam ukuran senyum tentara.
Anggapan saya, Pak Ramang tak mau menjelekkan Negara yang ia cintai dan bela ini dengan kata protes darinya, walau sempat juga ia berkata santai sambil tertawa renyah, bahwa semenjak George Toissuta jadi Pangkostrad, tak ada lagi hadiah lebaran buat tentara.
“Mungkin Pak Josh tak ingin memanjakan kami-kami ini”, ungkapnya sambil tetap tak mau menyalahkan komandannya. Ryamizard Ryacudu, adalah Komandan yang menurutnya paling hebat. Bagi saya sih, paling seram. Ryamisard menurutnya memiliki banyak inovasi serta pintar mendorong prajurit agar tak gentar di medan laga.
” biarpun alutista yang kita miliki minim, tapi jangan pernah ragukan kemampuan dan semangat prajurit saya “demikian salah satu kalimat yang pernah diucapkan Jenderal Ryamizard, seperti yang saya kutip di SINI.
Yah, mereka para bala tentara saat sekarang ini memang tak seperti ketika dwi fungsi ABRI berlaku. Prajurit tegap itu diharuskan kembali ke barak oleh “paksaan” gerakan mahasiswa tahun 1998.Barak tempat mereka kembali, ternyata juga tak dibuat nikmat. Kesan kumuh dan rapuh terlihat dibeberapa asrama tentara.
Kalau rumah dinas komandan Pak Ramang belum pula dibenahi hingga kini, sama halnya dengan rumah Komandan Kodim di Bantaeng. Terlihat rumah bekas bangunan kompeni itu memang tetap kokoh, tetapi temboknya mulai terkelupas.
Kantor kodim juga demikian adanya, terlihat nampak tua dan lelah, kata lagu Iwan Fals.
Cat asrama dan kantor tentara juga tak berubah, hijau kombinasi hitam yang nampak suram karena mungkin jarang dicat ulang. Saran saya, kalau bisa cat kantor itu dirubah merah atau pink biar lebih jrengg. Eits, ada yah asrama tentara berwarna merah jambu, saya kok jadinya ngaco bin ngelantur.
Sejak kecil saya benci tentara karena (takut). Melihat loreng saja saya sudah ngumpet sambil nunggingdi kandang milik si Babon, ayam betina saya kala bocah dulu. Kini, saya kasihan setelah melihat sendiri bagaimana keadaan Asrama Kalokko, Bantaeng, kota tempat saya bermukim. Hanya beberapa biji rumah yang terlihat layak, lainnya hanya berdinding batu setengah-kayu setengah. Pagarnya dari bambu atau kayu yang nampak lapuk.
Di Asrama Kalokko, beberapa istri tentara menjual kue atau barang campuran. Tanah kosong di belakang asrama, meraka jadikan empang dan kebun sayur. Pak Ramang cukup lumayan, karena tentara beranak satu ini telah mencicil rumah tahun ini. Harga rumah di komplek saya memang murah, karena itu saya nyempil di kompleks RSSSSS ini.
Tak mau saya berbicara tentang kesejahteraan tentara sama Pak Ramang, karena sepertinya beliau kurang berminat. Baginya, tentara adalah hal membanggakan, apa pun keadaannya. Setiap sore bulan ini, saya melihat banyak loreng tercebur di empang milik Kodim Bantaeng karena para tentara itu lagi membenahi empang yang baru saja disemai bibit ikan nila, buat gizi para prajurit tentunya.Andaikan kantor DPR yang menentukan anggaran prajurit, juga memiliki empang seperti Kodim Bantaeng, tak perlulah mereka memakan daging peninggi kolesterol dari nasi kotak yang dikonsumsinya tiap hari. Andaikan benar lansiran ICW bahwa ada banyak rekening gendut milik para jenderal, maka menjadi miris melihat kondisi asrama tentara di daerah.
Beranikah KPK mengungkap rekening gendut itu, kalau saya sih tak berani, walau ada kawan saya bilang, wajah saya paduan antara paras Abraham Samad dan Bambang Widjayanto. Andaikan Abraham betul-betul berhasil mengungkap rekening gendut itu, semoga uang korup itu diperuntukkan melepas tentara dari garis (seolah) kemiskinan.
Serdadu seperti peluru // Tekan picu melesat tak ragu//Serdadu seperti belati//Tak dirawat tumpul dan berkarat………...(Penggalan lagu “Serdadu“, Iwan Fals)
*) Diteribitkan ulang, setelah sebelumnya Headline di kompasiana.
Bantaeng, 7 Februari 2012
Tentang tentara, saya pernah menulis Mengenang Jenderal M. Yusuf, Saat Negara Terancam, Kolonel Djie, dan Polisi dan Tentara Bentrok, Tanya Kenapa?.