19 Februari 2012

Bisnis Menggoda Si Tukang Balon

HL | 31 January 2012 | 11:05

725 38  3 dari 6 Kompasianer menilai menarik

1327981331790979526
Godaan Balon Udara
Mengapa yah, pakaian anak sekecil itu harganya mahal. Pula saya membenak, pakaian perempuan kok banyak gayanya. Setiap waktu, trend berpakaian mode terbaru memenuhi majalah wanita. Mainan para bocah sungguh laris, pakaian dan kosmetik ibu-ibu butuh lemari tersendiri. Sebagai lelaki saya protes, setahun palingan beli selembar-dua lembar pakaian. Terkadang menjelang lebaran, saya kayak anak-anak saja.

Adakah yang bisa mendiamkan tangisan melolong si kecil saat mengamuk minta mainan? di tempat ramai pula. Malu rasanya tak membelikannya, saat anak tersayang memaksa (setengah histeris) minta uang beli balon. Jangan protes istri Anda yang senang berbelanja, karena memang itu urusan perempuan. Konon, istri politisi dan para artis, buat sekadar beli parfum harus jauh-jauh ke Paris.

Aha, Pak Heri si tukang balon udara, sabang hari memberi saya kiat bisnis menarik.

“Siapakah yang paling banyak menghabiskan uang?”
“Orang kaya”
“salah!”
“Siapa Pak?”
“Perempuan dan anak-anak”
13279814781966050882
Pak Heri Mengoperasikan Tabung Balon Gasnya
Orang kaya atau pun pengusaha, malah irit keluarkan uang, semua serba dihitung karena mereka tahu bagaimana sulitnya mencari sepeser rupiah. Perempuan memang senang berbelanja, modenya butuh biaya. Memang perempuan mengurusi sesuatu yang “dikeluarkan”, ada pun lelaki dapat jatah “memasukkan”

Anak sedari bayi, sudah dibelikan pakaian tercantik sebab rasa kasih yang mendalam, walau sebulan saja pakaian itu tak cocok lagi. Bahagia kelihatan si ibu jika momongannya berpakaian indah dan lucu yang semenit kemudian basah karena pipis.

Anak disayang malah semakin menjadi, manjanya tak ketulungan. Tak dihiraukan, bisa meraung, menangis tak henti hingga ingusnya pun meleleh. Karena sayang, terpaksa si ibu membelikannya mainan. Sebentar saja, mainan rusak pula.

Demikian kira-kira teori Pak Heri tentang berdagang yang saya modifikasi dengan bahasa sendiri. Maklum, penjual balon yang sehari-hari mangkal di sekolah taman kanak-kanak dan rumah sakit itu hanya tamatan sekolah dasar. Bahasa Indonesianya tak memenuhi standar Ejaan Yang Disempurnakan (EYD).

Dilihat dari pakaiannya, kita tak bakal menyangka bahwa Bapak yang pernah merantau ke beberapa daerah ini ternyata memiliki anak yang bisa Ia kuliahkan. Beliau juga harus berbuat adil untuk dua orang istri yang memberinya sembilan anak. Wah, subur juga Pak Heri ini.
13279819636803116
Nah, liat. Ibu-ibu pun berebutan balon
Tak juga saya menyangka, laba menjual balon yang sering membuat anak-anak menangis ini ternyata sangat lumayan. Saya pun heran kenapa Ia menceritrakan rahasianya kepada saya, mungkin dia tahu bahwa saya tak mungkin menyainginya menjual balon. Tak tahulah dia, bahwa saya pun menyukai sesuatu yang menggelembung.

Siapa tak senang jikalau usaha “ringan” seperti itu mendatangkan untung menggelembung, hanya modal se-gope’ dapat segepok. Bisnis balon yang pasarnya anak ingusan itu memang ampuh memaksa kasih ibu ke anaknya berubah menjadi lembar rupiah untuk si tukang balon. tak lebih dua hari kemudian, si balon telah berubah menjadi sampah plastik yang sulit terurai.

13279818562020638470
Tabung Gas Malaysia, ternyata jauh lebih kuat.
Ternyata, modalnya hanya tabung gas LPJ, Soda Api, kaleng minuman kemasan, balon dan tentunya sepeda motor untuk membonceng. Tabung gas itu Ia dapatkan dari keluarganya yang merantau ke Malaysia.

Kata Pak Heri, tabung gas Malaysia lebih tebal, besar, tak mungkin meledak dan bisa mengisi 30 – 40 balon gas. Tabung Indonesia tak perlu dicerita, karena beritanya sering meledak. Lagian tabung biru Indonesia itu, hanya berkapasitas 5-10 balon.

Wouw! ternyata gasnya, juga tak dibeli. Pak Heri yang memiliki cacat bawaan pada kakinya karena panyakit folio ini hanya membeli kaleng minuman berbahan aluminium. Ia mencipta gas sendiri dengan memasukkan soda api, kaleng dan air kedalam tabung kedap udara.

Ujung selang untuk mengisi balon pun, hanya ujung pulpen. Butuh waktu setengah jam, gas buatan sudah siap dan balon yang modalnya hanya Rp. 2000 itu pun terjual Rp. 10.000 untuk jenis balon udara yang berbentuk tokoh kartun anak-anak.

Gambar Ipin dan upin kartun Malaysia paling digemari anak-anak, juga ada model Sponge Bob, spiderman, barbie dan lainnya. Model kartun Indonesia seperti Si Unyil tak ada. Kenapa yah?

Pak Heri bisa menjual sehari sampai 50-an balon, cukup menguntungkan bagi saya dan benarlah kata beliau bahwa bisnis yang berhubungan dengan anak-anak dan perempuan memang meraup laba menggiurkan. Satu saya herankan, kenapa orang bersuku Bugis yang juga menikah dengan orang bersuku Makassar ini bisa menjual balon, setahu saya penjual balon atau pun mainan anak akrab dipanggil “Mas!”.

Iya, penjual mainan anak yang berdagang keliling di Sulawesi ini banyak dilakoni para perantau kreatif dari tanah Jawa. Demikian pula penjual makanan seperti bakso, nasi goreng, mie pangsit, dan sari laut akan berbeda rasanya jikalau bukan racikan dari para Mbak atau Mas. Para Daeng, dalam berdagang bisanya berkapasitas truk, seperti hasil bumi, sapi, kambing dan bahan bangunan.

saya memang belajar dari orang jawa Pak” kata Pak Heri yang tak mau pelit berbagai rahasia kalau ada yang bertanya, karena menurutnya, dia pun diajarkan seorang yang baik hati bagaimana  cara membuat balon gas. Usaha yang merubah hidupnya ini ditemukan saat Ia merantau ke kota Kendari.

Sulitnya, orang Makassar itu inginnya yang besar-besar, padahal yang ringan seperti balon gas pun untungnya lebih banyak daripada sekarung jagung” sambung Pak Heri mengeluarkan jurus bisnisnya.
Penjual balon yang awalnya saya kecele memanggilnya “Mas” ini, berbincang denganku saat saya memesan balon untuk ulang tahun ke 10 dan ke 6, dua putri kecil kesayangan kami.

Ternyata, Pak Heri juga tak protes kalau dipanggil “Mas” harusnya kan panggil “Daeng” atau “Pak” saja karena dia bukan dari Jawa. Kenapa Ia tak protes?

Kalau orang memanggil saya, Mas! maka orang tahu kualitas balon itu pasti bagus” kata Pak Heri dalam bahasa Indonesia bercampur Bugis.

Belajar dari yang melakoni seperti Pak Heri, akan lebih detail daripada hanya seorang teoritis seperti saya. Ia tahu seluk beluk bisnisnya, bagaimana strateginya, karena telah menjalaninya bertahun-tahun. Usaha yang pasarnya perempuan dan anak-anak layak untuk diadaptasi. Usaha apa yah? “ Setiap Orang Adalah Guruku, Setiap Tempat Adalah Sekolahku”.
Bantaeng, 31 Januari 2011
1327982404776573230
Selamat ulang tahun Nak! Sangat dalam kasih ayah kepadamu……

Karena Pesona Pohon Kerdil Karena Pesona Pohon Kerdil


1327893782202855479
Mame Si Bonsai Mini
Segalah apa yang di bumi, dicipta Tuhan bagi manusia untuk dikelola dan dikembangkan buat kehidupan sebagai manfaat. Keindahan atau pula keunikan pada lekukan cabang, akar yang menjalar serta batang yang seolah tua adalah manfaat bagi jiwa yang gersang, penenang hati saat memandangnya serta decak kagum buat kretifitas penggiatnnya.

Anggapan saya, para penggiat bonsai itu penyiksa tanaman, itu dulu. Keharusan menggunting setiap bakal pucuk yang hendak menanda matahari, adalah tindak sedikit kejam bagiku, demikian pula kegiatan melilitkan kawat ke cabang-cabangnya, seolah seperti cengkraman menyiksa buat pohon yang hendak bertumbuh. Duh, kasian.

Estetika, adalah manfaat buat manusia, demikian kesabaran yang perlu dimiliki para penggiat bonsai juga bagian dari nilai hidup yang penting. Persepsi saya tentang ‘penyiksa’ tanaman berubah saat saya pun mulai memuliakan tanaman kerdil ini. Dari semua tanaman hias, bakal bonsai paling tersayang.

13278938831423064149Sebenarnya, penggiat bonsai adalah pencinta fanatik. Kerelaan menerobos hutan, memanjat tebing, serta menyusuri tepian sungai demi sebatang bakal bonsai adalah petualangan tak biasa. 

Ular, biawak, nyamuk dan binatang jelek lainnya terkadang jadi pengaget yang memang menakutkan tetapi menyisahkan cerita seru yang kadang lucu juga kadang menyeramkan.

Tanaman yang sejatinya berbatang raksasa tetapi direkayasa menjadi mini ini, indahnya tak bisa nampak sekejap. Para penggemarnya harus menunggu dalam hitungan tahun. 

Semakin tua pohon kerdil itu nilai estika serta keunikannya juga semakin tinggi, harganya pun semakin melangit.

Tahukah Anda, bahwa para penggiat bonsai bisa mewariskan tanamannya, bisa jadi si bonsai tersayang umurnya lebih panjang dari pemiliknya.

Jiwa petualang, kreatifitas, kesabaran serta semangat menghijaukan bumi adalah peran para penghobby bonsai yang mulanya dikembangkan di negeri Sakura Jepang ini. Anda akan merasakan kecintaan yang dalam saat bakal yang ditanam sudah mulai menampakkan lekukan uniknya, juga rasa memanjakan yang “terlalu”, saat bakal pohon baru dipindah ke wadah baru. 

Setiap terbangun dipagi hari, Anda bakal keluar halaman dan menanyakan kabar, apakah nyenyak tidurnya Si Mini semalam.

Sedikit gila memang, tetapi itulah tanaman yang hijau daunnya memang membuat kita jatuh cinta, lekukan batangnya membuat kita rindu segera pulang menyiramnya. Jikalau bonsai adalah jenis yang berbunga seperti Biraeng atau pun berbuah seperti jeruk kingkit, tak bakal kita biarkan orang lain memetiknya. Biarkan ia jatuh sendiri, tidak karena campur tangan para bocah jahil yang tak memahami cinta gila itu.
13278941671967671279
Beringin Memeluk Cadas
Ketika Anda berkenan berkunjung ke halaman sempit dan taman jelek saya, tak bakal ditemukan bonsai indah. Baru setahun lalu saya mulai menggelutinya, belum ada yang benar-benar telah jadi bonsai idaman. Karena kesabaran tak terlalu baik, saya terkadang bosan menanti cabangnya berkembang terharapkan.

Karena juga jiwa seni sungguh jongkok, saya pun sering salah memotong (cutting) daun ataupun menekuk cabangnya dengan kawat. Anda tahu, tak ada bonsai yang mirip, karena itu Ia khas. Terkadang kita ingin membentuk batangnya seperti visi kita, ternyata bakal bonsai tetap bertumbuh sesuai keinginannya. Terkadang kehendak pohon itulah yang membuatnya indah walau tanpa intervensi pemiliknya.
13278942341662922642
Tamarin, Erasa, Dollar dan Barana
Buat Anda yang baik hati, biarkan saya sedikit pamer. Terdapat empat jenis beringin di halaman saya, dua batang jeruk kingkit, tiga pohon tamarin, sebatang adelia, erasa’, kolasa’ dan juga sebatang pohon dollar.

Maaf No Sale, karena memang semua bakal bonsai itu sama sekali tak berharga, karena juga pemiliknya tak lebih seorang amatir.


Jikalau anda ingin menyumbang oksigen buat bumi tempat kita ini manusia sombong mengangkanginya, bertanamlah! Pohon memberi nafas bagi hidup ini.

Hadirkan tanah gembur, minimal di pot-pot kecil kita sebagai pertanda bahwa kita berkhidmat pada asal darimana kita tercipta.

Polusi semakin parah, lapisan ozon semakin bolong, debu penyakit beterbangan. Biarkanlah daun dari pohon yang kita tanam melindungi kita. Bertanamlah! Tanganmu adalah sumber air dan nafasmu udara segar. Go Green!
Bantaeng, 30 Januari 2012
Telah dipublish dan Headline di Kompasiana, 30 Januari 2012

Di Bantaeng, Etnis Tionghoa Dianggap Warga Asli

Imlek, jejeran toko sepanjang Jl. Manggis sepi
Sehari kemarin (23/01/12), Imlek dirayakan tak demikian semarak di kota kecil kami, Bantaeng, Sulsel. Tak nampak lampion menghiasi kawasan Jl. Manggis atau pun sepanjang Jl. Mangga, yang walau tak kami sebut wilayah Pecinan, tetapi disepanjang jalan itulah etnis Tionghoa berdagang sekaligus bermukim.

Malam sebelumnya, hanya sesekali terdengar dentuman petasan atau pun kilatan indah kembang api. Tentu kita semua tahu, bahwa penjual kembang api yang mulanya diciptadi daratan China itu sudah menjadi bahagian dari perayaan etnis Tionghoa yang di Bantaeng sesungguhnya telah bermukim sangat lama.

Temuan keramik Cina yang tertua berasal dari Dinasti Sung dan Yuan yang berkuasa di daratan China antara tahun 960-1368. Dari beberapa sumber, Etnis Tionghoa diperkirakan sudah ada di Bantaeng sejak abad ke 12. Para perantau yang hebat dalam berniaga ini, pertama kali bermukim di kampung yang bernama Lembang Cina yang berposisi dekat pantai.
1327552383587088438
Gua Batu Ejayya, dimana ditemukan keramik peninggalan dinasti Sung

Ternyata, Tahun baru Cina kali ini sudah yang ke 2563, ini jauh lebih tua dari tahun baru Masehi atau pun tahun baru Islam yang waktunya dirayakannya hampir berhimpitan. 

Imlek yang juga berkesesuaian dengan Shio Naga Air ternyata memang menyemburkan angin kencang bercampur air hujan. Banyak ranting pohon yang patah. Selembar seng atap rumah milik Daeng Sapo’ tetangga saya, juga di terbangkan angin.

Imlek di kota saya tidak pernah dirayakan gegap gempita, kecuali dua tahun lalu dihadirkan tarian baronsai. Daeng Iwang, warga bersuku Makassar yang juga membuka bengkel sepeda di persimpangan Jl. Mangga mengatakan, bahwa prosesi Imlek di Bantaeng memang tak dinampakkan kecuali pembagian ampao untuk anak-anak kurang mampu, bermain gaplek dimalam hari serta ritual sembahyang untuk leluhur.

Saat melewati Jl. Manggis di hari Imlek kemarin, saya menyaksikan antrian anak-anak menerima ampao di toko milik A Hong dan juga rumah Baba Ciang. Karena hari raya Imlek, juga bermakna ritual bagi etnis Tionghoa, maka mungkin angpao adalah bahagian dari bagi-bagi rejeki untuk menyambut hoki tahun selanjutnya.

Akh, sayang, saya tak bertemu dengan Gozal langganan bahan bangunan saya pada hari itu. Mungkin kalau berjumpa akan ada ampao buat saya dan saya pun bisa bertanya lebih jauh tentang mengapa mereka tak merayakan Imlek semeriah mungkin agar kami saudara sebangsanya dari etnis Bugis dan Makassar bisa ikut menikmati dan menghormati perayaannya.
Diminta antri, anak-anak malah berkerumun menunggu angpao
Gozal yang adalah pemilik Toko Pelita Jaya di seputaran pasar baru Bantaeng, adalah generasi ke empat pelanjut usaha milik buyutnya. Karena baru sekitar tujuh tahunan saya bermukim di kota yang penggerak utama ekonominya adalah etnis Tionghoa, saya tak menyangka Gozal dan etnis Tionghoa lainnya ternyata tak sedikit pun berbicara dengan dialek a’ hayaaaaa’.

Seperti disebutkan sebelumnya, bahwa etnis minoritas Tionghoa yang ada di Bantaeng sudah sejak lama ada di Bantaeng, bahkan versi sejarah menuliskan bahwa yang menikahi Dala, putri RajaMassaniaga adalah seorang pangeran dari Cina (Salam 1997: 24). Pernikahan putri Karaeng (raja) Bantaeng ini dikaruniai kelahiran anak bernama Karaeng Loe.

Karaeng Loe sendiri menjadi cikal bakal raja-raja Bantaeng dan diperingati setiap pada 10 Sya’ban di tiap tahunnya dan disebut upacara Pa’jukukang. Hal ini memungkinkan, karena Karaeng Loe sendiri memerintah pada tahun 1293 – 1332, dimana dinasti Sung yang keramiknya ditemukan di Bantaeng ketika itu sudah menjadi kaisar di daratan Cina sejak tahun 960M.

Walau sejarah itu masih perlu diverifikasi lebih dalam, setidaknya Bantaeng memang sudah menjadikan etnis Tionghoa sebagai bahagian dari warga asli daerah penghasil sayur, ikan dan buah-buahan ini.Menurut Daeng Ngiwang yang sering berinteraksi dengan Etnis Tionghoa karena bermukim sejak kecil di wilayah Jl Mangga, bahwa etnis ini juga memiliki sawah dan kebun yang diserahkan penggarapannya kepada orang desa.

Sepanjang pengetahuan saya, tidak pernah saya temukan orang Cina membeli beras” kata Daeng Ngiwang, membenarkan bahwa para orang Tionghoa mengkonsumsi beras, sayur-sayuran bahkan ikan dari sawah, kebun atau empang milik mereka sendiri. Bahkan, distributor jagung kuning yang menjadi andalan Kabupaten Bantaeng juga dilakoni etnis yang memang unggul dalam hal perniagaan ini.

Bukti bahwa etnis Tionghoa adalah penyedia beragam kebutuhan warga Bantaeng, terlihat saat sehari sebelum Imlek. Saya kesulitan mendapatkan tabung gas serta harus berputar-putar demi mendapatkan selang dan paku untuk keperluan renovasi kolam kecil saya di hari libur kemarin.

 Toko-toko pada tutup, kecuali dua toko bangunan milik orang beretnis Bugis dan milik orang beretnis Mandar. Itu pun dengan harga yang sedikit lebih mahal.

Kecemburuan sosial berkenaan dengan dikuasainya asset-aset ekonomi rakyat beretnis asli mungkin pernah terasa, tetapi tidaklah bisa disalahkan karena memang etnis Tionghoa hanya ahli di bidang usaha dagang ini. Interaksi yang cukup panjang antara Tionghoa dan warga Bantaeng yang mayoritas beretnis Makassar membuat kecemburuan sosial ini teredam dan tak pernah terjadi kerusuhan.

Beberapa etnis Tionghoa ada yang menganut agama Islam dan Kristen, bahkan beberapa juga menikah dengan orang Bantaeng. Keturunan karaeng (raja) Bantaeng pun ada yang menikah dengan perempuan etnis Tionghoa ini. Dari sisi bahasa, dialek dan interaksi, bisa dibilang bahwa Etnis Tionghoa yang ada di kota saya adalah penduduk asli Bantaeng.

Akhirnya, walau terlambat - buat saudara saya sebangsa dari etnis Tionghoa saya ucapkan Go Xi Fa Cai, Go Xi Fa Sin, Selamat semoga banyak rejeki di tahun naga air ini. Semoga air hujan tak membuat kota kita menjadi banjir dan juga angin tak membuat robohnya tembok bangunan yang mengharuskan toko bahan bangunan milik A’ Tang ramai mendapat pelanggan.
HAPPY CHINESE NEW YEAR.
Bantaeng, 25 Januari 2012

16 Februari 2012

Irex Sinjai, Jangan Pulang Sebelum Magrib

Kado khusus buat papa
Setiap saya ke Sinjai, Lappa dan Irex selalu saja menggoda untuk dinikmati. Lappa adalah tempat dimana pelalangan ikan terbesar di Sulsel berada, sementara Irex adalah nama yang awalnya membuat saya tersenyum “ehm” .

Mendengar kata Irex terbayang penggalan iklan, “kado khusus buat mama”. Yah, Irex memang sejenis obat kuat khusus pria, tetapi di Sinjai lain.

Sambil menunggu ikan bakar siap di santap, Irex menjadi minuman pembuka. Hiruk pikuk dan hawa panas pelabuhan malam itu membuat gerah ini terobati dengan dinginnya minuman khas yang diolah dengan cara fermentasi itu. Irex terbuat dari ramuan tape, madu, susu dan kuning telur.

Nampak dari bahannya, minuman yang terdinginkan dalam freezer dan terkemas sederhana dalam botol air kemasan itu, memang bisa untuk mengembalikan stamina kami, setelah seharian di Sinjai menggelar pertemuan kantor. Hari itu, 30 November 2011. Bersama empat orang teman sekerja, saya berkunjung ke kabupaten berlambang kepala kuda putih itu. Di Sinjai, Kuda dimaknai sebagai simbol keperkasaan, ketekunan dan semangat kerja keras.

Jarak Bantaeng kabupaten saya, dengan Sinjai hanya ditempuh maksimal 2 jam. Kalau Anda berangkat dari Makassar dengan kendaraan bermotor, Anda akan menikmati perjalanan menyusuri tepian laut melewati kabupaten Gowa, Takalar, Jeneponto, Bantaeng dan Bulukumba. Waktu tempuh kurang lebih 4 jam dengan jarak 195 km.

Beberapa kali saya berkunjung ke daerah yang juga penghasil durian Ottong ini, selalu saja ditawarkan makan ikan di Pelabuhan Lappa, tetapi baru malam itu saya menikmati kelezatan ikan bakar dan nasi kuning santannya serta menyerumput nikmat Irex yang bernama seksi itu. Biasanya, saya hanya mengunjungi Rumah Makan Nikmat yang terletak di pusat kota yang juga menyajikan menu favorit ikan bakar.
Nasi kuning santan, makanan sepadan ikan bakar
Kesan kumuh pastilah mewarnai setiap area pelelangan ikan di Indonesia, termasuk di Sinjai. Suasana ini tidak menjadikan pelabuhan Lappa sepi dengan orang bergaya mentereng untuk datang ke tempat itu, sekadar menikmati ikan bakar di warung yang berjejer di sepanjang pelabuhan. Becek dan bau anyir ikan akan segera terhapus setelah kepulan asap hasil bakaran ikan Baronang, cepak, sunu, katamba’, udang dan cumi-cumi mengepul menggoda selera.

Ada sesuatu yang khas, pelanggan sendiri yang memilih ikan di area pelelangan. Membayarnya, kemudian membawanya ke warung untuk dibakarkan. Nasi dan cobe’-cobe serta irex disiapkan pemilik warung. Anda tahu, harga ikan di Lappa sangat murah. Lima ekor ikan cepak dan baronang seukuran dua sandal jepit, saya beli hanya seharaga Rp. 50.000. Murah, karena di pasar biasanya berharga minimal Rp. 30.000 per ekornya.

Karena saat itu saya di traktir alias makan gratis, uang yang dikeluarkan teman baik saya yang warga Sinjai itu saya taksir hanya sekisaran Rp. 300.000 – Rp. 500.000, kami empat belas orang sudah bisa menikmati menu ikan laut bermacam-macam. Heran juga, kok bisa semurah itu. Selain heran juga senang karena gratis lah yaouw….

Kala itu, Timnas Indonesia Selection juga menjelang laga melawan Tim LA Galaxi. Makan malam itu, juga kami jadikan momentum menunggu tendangan pisang David Beckham. Memang semua warung, termasuk RM Yuli tempat kami makan mengarahkankan remoute tivinya ke pertandingan itu. Pelabuhan Lappa ternyata demam sepak bola.
Siap-siap melahap
Belum mampu terhabiskan semua makanan, kick off babak pertama dimulai, kami pun bergerombol sambil membawa piring masing-masing ke depan tivi. Sial, sebiji cabe rawit tergigit tak sengaja. Huah….!Pedasnya menyengat bukan kepalang, ditambah keringat bercucuran karena nikmat dan hawa panas di sekitar pelabuhan.

Pelalangan Sinjai ternyata tak hanya dikunjungi kapal nelayan lokal dan kapal regular dari pulau-pulau Sembilan. Persinggahan ikan paling ramai di Sulsel itu ternyata juga dikunjungi kapal nelayan dari luar Sinjai seperti Jeneponto, Takalar, Pangkep, Sinjai, Bone dan Bulukumba. Bahkan ada yang dari Sulawesi Barat dan Kalimantan.

Rata-rata kapal yang berlabuh di Pelelangan itu 1172 kapal pertahun menurut data tahun 2000. Sepuluh tahun yang lalu, 11.500 ton ikan terhampar dipelelangan.Tentu saat sekarang ini pasti lebih meningkat, karena pelabuhannya telah diperluas. Memang malam itu, sepanjang pantai, hanya terlihat jejeran kapal para nelayan.

Suasana Malam Pelabuhan Lappa Sinjai
Pelabuhan Lappa yang hanya berjarak sekitar 15 menit dari Ibu kota Sinjai tak pernah sepi. Pukul 16.00 kapal sudah ramai bersandar dan semakin bertambah saat setelah menjelang malam. Puncaknya pada pukul 03.00 dini hari.

“ Jangan pulang sebelum magrib”, kata kawan saya yang orang Sinjai itu saat menahan saya agar tak segera balik ke Bantaeng. Menurutnya, hanya setelah magrib Sinjai bisa dinikmati. Nikmat ikannya, segar dan menggetarkan sajian irexnya. Irex akan menjadi nama yang bakal membuat penasaran bagi yang belum pernah menikmatinya.
Bantaeng, 12 Desember 2011

03 Agustus 2011

Ziarah Ke Makam Belanda




Ritual ziarah ke makam menjelang Ramadhan, sudah tradisi mayoritas muslim di Indonesia. Seperti halnya di kota saya, tiga hari sebelum puasa para peziarah memenuhi makam demi mendoakan para leluhur.
Di antara para peziarah, Ada sekelompok orang yang mungkin berlaku aneh bagi sebagian yang melihatnya. seperti apa kisahnya?
Dua Kuburan Berbentuk Tugu
Sebulan sebelum Ramadhan, saya dan beberapa teman bersepakat untuk berkunjung ke beberapa situs bersejarah. Berkunjung ke situs jadi pilihan, tentu dengan satu maksud ingin menulisnya.
Saya hendak berbagi tentang mengapa Bantaeng sebagai salah satu Kabupaten di Sulsel dijuluki Butta Toa atau Tanah Tua. Tentu ada sejarah yang menguatkannya.

Karena kesibukan masing-masing, jadilah waktu berkunjung kami tepat sehari sebelum Ramadhan. Saat ketika banyak orang berkunjung ke makam kerabat mereka. Sasaran pertama adalah situs kuburan Belanda. Kuburan itu, paling sepi dikunjungi para peziarah. Kenapa sepi? pasti pembaca sudah tahu jawabnya.
Makam itu dikelilingi padatnya pemukiman penduduk. Banyak mata yang melihat kami, sebagian dari mereka pasti heran, karena kami berkunjung diwaktu dan tempat yang tak lazim. Mungkin pula ada yang mengira kami adalah kerabat mendiang yang telah berbaring lebih seabad yang lalu itu.

Tapi kok, ada turunan Belande yang matanya tak hijau, rambutnya tak pirang, badannya tak jangkung, juga hidungnya tak mancung. Sekadar info, saya ini pesek, ikal hampir keriting, langsing untuk tak mengatakan kerempeng tetapi mata ini begitu menggoda. Hati ini tulus ingin berbagi kisah tentang kota kami, bekas afdeling Belanda, zaman VOC.

Peduli amat dengan anggapan orang-orang. Toh, sehari sebelumnya kami pun sudah melaksanakan tradisi nyekar ke makam kerabat. Lagian kegiatan ini mulia menurut kami, yaitu berziarah ke makam Belanda yang kerabatnya jauh di negeri kincir angin. Hanya satu makam yang sering dikunjungi keluarganya, yakni makam G.T.C Bosch. Orang sekitar menyebutnya Tuan Bos.
Gerbang Menuju Makam, Ada Kambing Nyalib Lensa.

Makam yang terdiri puluhan itu, berada di Jl. Pemuda,kelurahan Pallantikang, kecamatan Bantaeng. Posisinya berada di tengah kota. Kenapa di sebut “Pallantikang”, karena di sekitar tempat itu terdapat pohon beringin tua di tengah pekuburan para keluarga karaeng (turunan raja). Pohon beringin itu pertanda, di sanalah bermula kerajaan Bantaeng.
Di bawah pohon beringin itu dulunya, para pangeran dilantik menjadi Raja. Masih terdapat, Pappuniagang, yakni batu tempat dimana posisi calon raja berdiri untuk diberkati sebagai pemegang tahta kekaraengang. Sekitar 50 meter di depan kompleks makam Belanda, juga terdapat Palangirang, yakni batu berlubang tempat para karaeng membasuh diri sebelum dilantik oleh dewan adat (ada’ sampulongrua) yang berfungsi sebagai legislator kala itu.
Kalau Anda bertanya, mengapa makam Belanda berada dekat pelantikan para raja? maka itu pun menjadi pertanyaan saya. Beruntung saya dapat jawaban dari sumber yang tepat, karena saat itu saya serombongan dengan Ibu Nurbaeti teman kerja saya. Karaeng Beti, biasa Ia akrab disapa, adalah cucu Karaeng Bantaeng terakhir, A. Massuwalie Kr. Gassing.

Menurut Kr. Beti, wilayah itu memang kompleks pekuburan di masa lalu. Terdapat empat kelompok makam di area yang sudah dipadati pemukiman warga di sekitarnya itu, semua telah dipagari untuk membedakan status kompleks makam. Di sebelah jalan makam Belanda, terdapat makam keluarga karaeng Bantaeng yang letaknya di sekitar pohon beringin. Di sampingnya terdapat krlompok makam warga biasa, yang pada zaman kerajaan adalah pemakaman para pelayan raja.

Komplek pemakaman yang paling penting, berada di bagian Selatan. Lokasi itu adalah komplek Makam Latenriruwa dan raja-raja Bantaeng. Makam itu, juga disebut taman Purbakala yang memiliki nilai sejarah tinggi. Kompleks pemakaman itu telah dipugar, dan kini terlihat asri dan menjadi salah satu objek wisata budaya yang kami banggakan. Tentang makam itu, ceritranya lebih seru, kali lainlah saya kisahkan.

Kembali ke pemakaman Belanda. Kompleks itu terlihat tidak terpelihara. Beberapa makam, memang masih terdapat nama almarhum, tetapi itu karena keramik tempat namanya diukir terlalu tebal dan kuat untuk dicungkil para vandalism. 

Tangan-tangan jahil, telah merusak beberapa bagian makam. Banyak makam yang sudah tak bernama karena tegelnya pecah atau hilang diambil penjahat kuburan. Beberapa kuburan juga rusak, karena genangan banjir. banjir bandang yang pernah terjadi Bantaeng, 4 tahun lalu, telah merusak beberapa makam. Salah satunya makan tertinggi di tempat itu.

Kompleks itu memang berada di kerendahan, juga terletak di pinggir sungai Calendu. Sebelum dibangunnya Cekdam Balang Sikuyu dua tahun lalu, makam itu selalu tergenangi air luapan saat musim hujan datang.
Karena banyaknya plat nama makam yang raib, saya tak bisa mengindentifikasi yang mana kuburan tertua di sana. Kuburan tertua yang saya lihat saat itu, bertahun 1861.

Di lihat dari tahunnya, para mendiang meninggal saat kota kami dijadikan wilayah administrasi pemerintahan Belanda atau afdeling. Setiap afdeling, terdiri dari beberapa onderafdeling, setingkat Kabupaten.

Asal tahu saja, kota kami yang walaupun kabupaten kedua terkecil di sulsel saat ini, pernah menjadi wilayah setingkat propinsi, sebelum Soekarno-Hatta memproklamirkan dihapusnya penjajahan di muka bumi ini. Karena Belanda, kota kami terdesain seperti kota-kota di Eropa. Sayang, beberapa bangunan Belanda telah hancur, dan perumahan dari segi bentuk dan lokasi, kurang tertata setelahnya.

Makam Belanda itu juga terdapat beberapa bentuk. Ada yang berbentuk datar seperti umumnya, juga ada yang berbentuk tugu. Saya belum memahami, makna dari bentuk itu. Ahli sejarah lebih tahu, karena memang saya hanyalah ahli jalan-jalan. Kuburan tertua yang ada di situ berbentuk tugu.

Ahli klenik juga pernah ingin mengungkapnya dengan rencana syuting progam uka-uka oleh salah satu tivi swasta. Acara tivi yang telah di banned MUI itu, ternyata tidak sempat syuting. Mungkin karena terlalu seram, atau malah tak seram lagi. Saya sendiri merasa tidak seram, karena memang saya hanya mau datang ke kuburan saat siang, itu pun bersama banyak orang.
Kondisi Makam Memprihatinkan
Makan Berbentuk Datar
Sempat pula saya bertanya dalam hati, kapan yah Belanda menjajah Bantaeng? Betulkah Bantaeng dijajah selama tiga abad? Sepertinya kuburan Belanda itu bisa bercerita. Bukan yang ada di dalamnya, tetapi apa yang tertulis dipertanda tahun keramiknya.

Saya belum pernah mendengar cerita tentang siksaan para demang ataupun kerja rodi para meneer. Kalau Jepang, Iya. Kisah Romusha dan kelaparan begitu mengerikan.

Sebenarnya saya bisa menelusuri lebih jauh dengan bertanya kebeberapa saksi sejarah ataupun budayawan. Masih banyak yang berupa penasaran, karena memang sumber referensi sejarah tentang Bantaeng masihlah sangat minim. Masih banyak perlu diungkap, termasuk ditemukannya arca polinesia baru-baru ini. Dari informasi Koran, arca itu termasuk sangat tua dan langka di Indonesia. Selain Arca, juga ditemukan kerangka mongoloid.

Sejarah memang panjang, bisa membosankan kalau saya terlalu banyak cincong. Sebagai “antek-antek” Belanda yang berziarah ke makam itu,  saya hanya berharap semoga yang mengurusi kelestarian situs dan lokasi wisata bisa menjaganya dengan baik.

Akhirnya, Apa pun itu, sangat layak tulisan ini dikritik. Kebenarannya patut diverifikasi. Mohon maaf atas segalah salah dan khilaf.
Penulis Kuburan Mengucapkan Selamat Menjalankan Ibadah Ramadhan


Bantaeng, 31 Agustus 2011
Tentang ditemukannya 600 Artefak dan Arca Polinesia baru-baru ini, bisa dibaca di SINI