Ritual ziarah ke makam menjelang  Ramadhan, sudah tradisi mayoritas muslim di Indonesia. Seperti halnya di  kota saya, tiga hari sebelum puasa para peziarah memenuhi makam demi  mendoakan para leluhur.
Di antara para peziarah, Ada sekelompok orang yang mungkin berlaku aneh bagi sebagian yang melihatnya. seperti apa kisahnya?
|  | 
| Dua Kuburan Berbentuk Tugu | 
Sebulan sebelum  Ramadhan, saya dan beberapa teman bersepakat untuk berkunjung ke  beberapa situs bersejarah. Berkunjung ke situs jadi pilihan, tentu  dengan satu maksud ingin menulisnya.
Saya hendak berbagi tentang mengapa Bantaeng sebagai salah satu Kabupaten di Sulsel dijuluki Butta Toa atau Tanah Tua. Tentu ada sejarah yang menguatkannya.
Karena kesibukan  masing-masing, jadilah waktu berkunjung kami tepat sehari sebelum  Ramadhan. Saat ketika banyak orang berkunjung ke makam kerabat mereka.  Sasaran pertama adalah situs kuburan Belanda. Kuburan itu, paling sepi  dikunjungi para peziarah. Kenapa sepi? pasti pembaca sudah tahu  jawabnya.
Makam itu dikelilingi  padatnya pemukiman penduduk. Banyak mata yang melihat kami, sebagian  dari mereka pasti heran, karena kami berkunjung diwaktu dan tempat yang  tak lazim. Mungkin pula ada yang mengira kami adalah kerabat mendiang  yang telah berbaring lebih seabad yang lalu itu.
Tapi kok, ada turunan  Belande yang matanya tak hijau, rambutnya tak pirang, badannya tak  jangkung, juga  hidungnya tak mancung. Sekadar info, saya ini  pesek, ikal hampir keriting, langsing untuk tak mengatakan kerempeng  tetapi mata ini begitu menggoda. Hati ini tulus ingin berbagi kisah  tentang kota kami, bekas afdeling Belanda, zaman VOC.
Peduli amat dengan anggapan orang-orang.  Toh, sehari sebelumnya kami pun sudah melaksanakan tradisi nyekar ke  makam kerabat. Lagian kegiatan ini mulia menurut kami, yaitu  berziarah  ke makam Belanda yang kerabatnya jauh di negeri kincir angin. Hanya  satu makam yang sering dikunjungi keluarganya, yakni makam G.T.C Bosch. Orang sekitar menyebutnya Tuan Bos.
|  | 
| Gerbang Menuju Makam, Ada Kambing Nyalib Lensa. | 
Makam yang terdiri  puluhan itu, berada di Jl. Pemuda,kelurahan Pallantikang, kecamatan  Bantaeng. Posisinya berada di tengah kota. Kenapa di sebut  “Pallantikang”, karena di sekitar tempat itu terdapat pohon beringin tua  di tengah pekuburan para keluarga karaeng (turunan raja). Pohon  beringin itu pertanda, di sanalah bermula kerajaan Bantaeng.
Di bawah pohon beringin itu dulunya, para pangeran dilantik menjadi Raja. Masih terdapat, Pappuniagang, yakni batu tempat dimana posisi calon raja berdiri untuk diberkati sebagai pemegang tahta kekaraengang. Sekitar 50 meter di depan kompleks makam Belanda, juga terdapat Palangirang, yakni batu berlubang tempat para karaeng membasuh diri sebelum dilantik oleh dewan adat (ada’ sampulongrua) yang berfungsi sebagai legislator kala itu.
Kalau Anda bertanya, mengapa makam  Belanda berada dekat pelantikan para raja? maka itu pun menjadi  pertanyaan saya. Beruntung saya dapat jawaban dari sumber yang tepat,  karena saat itu saya serombongan dengan Ibu Nurbaeti teman kerja saya.  Karaeng Beti, biasa Ia akrab disapa, adalah cucu Karaeng Bantaeng  terakhir, A. Massuwalie Kr. Gassing.
Menurut Kr. Beti,  wilayah itu memang kompleks pekuburan di masa lalu. Terdapat empat  kelompok makam di area yang sudah dipadati pemukiman warga di sekitarnya  itu, semua telah dipagari untuk membedakan status kompleks makam. Di  sebelah jalan makam Belanda, terdapat makam keluarga karaeng Bantaeng  yang letaknya di sekitar pohon beringin. Di sampingnya terdapat krlompok  makam warga biasa, yang pada zaman kerajaan adalah pemakaman para  pelayan raja.
Komplek pemakaman yang  paling penting, berada di bagian Selatan. Lokasi itu adalah komplek  Makam Latenriruwa dan raja-raja Bantaeng. Makam itu, juga disebut taman  Purbakala yang memiliki nilai sejarah tinggi. Kompleks pemakaman itu  telah dipugar, dan kini terlihat asri dan menjadi salah satu objek  wisata budaya yang kami banggakan. Tentang makam itu, ceritranya lebih  seru, kali lainlah saya kisahkan.
Kembali ke pemakaman Belanda. Kompleks  itu terlihat tidak terpelihara. Beberapa makam, memang masih terdapat  nama almarhum, tetapi itu karena keramik tempat namanya diukir terlalu  tebal dan kuat untuk dicungkil para vandalism. 

Tangan-tangan jahil, telah merusak  beberapa bagian makam. Banyak makam yang sudah tak bernama karena  tegelnya pecah atau hilang diambil penjahat kuburan. Beberapa kuburan juga rusak, karena genangan  banjir. banjir bandang yang pernah terjadi Bantaeng, 4 tahun lalu, telah  merusak beberapa makam. Salah satunya makan tertinggi di tempat itu.
Kompleks  itu memang berada di kerendahan, juga terletak di pinggir sungai  Calendu. Sebelum dibangunnya Cekdam Balang Sikuyu dua tahun lalu, makam  itu selalu tergenangi air luapan saat musim hujan datang.
Karena banyaknya plat  nama makam yang raib, saya tak bisa mengindentifikasi yang mana kuburan  tertua di sana. Kuburan tertua yang saya lihat saat itu, bertahun 1861.
Di lihat dari  tahunnya, para mendiang meninggal saat kota kami dijadikan wilayah  administrasi pemerintahan Belanda atau afdeling. Setiap afdeling,  terdiri dari beberapa onderafdeling, setingkat Kabupaten.
Asal tahu saja, kota  kami yang walaupun kabupaten kedua terkecil di sulsel saat ini, pernah  menjadi wilayah setingkat propinsi, sebelum Soekarno-Hatta  memproklamirkan dihapusnya penjajahan di muka bumi ini. Karena Belanda,  kota kami terdesain seperti kota-kota di Eropa. Sayang, beberapa  bangunan Belanda telah hancur, dan perumahan dari segi bentuk dan  lokasi, kurang tertata setelahnya.
Makam Belanda itu juga  terdapat beberapa bentuk. Ada yang berbentuk datar seperti umumnya,  juga ada yang berbentuk tugu. Saya belum memahami, makna dari bentuk  itu. Ahli sejarah lebih tahu, karena memang saya hanyalah ahli  jalan-jalan. Kuburan tertua yang ada di situ berbentuk tugu.
Ahli klenik juga pernah ingin mengungkapnya dengan rencana syuting progam 
uka-uka oleh  salah satu tivi swasta. Acara tivi yang telah di banned MUI itu,  ternyata tidak sempat syuting. Mungkin karena terlalu seram, atau malah  tak seram lagi. Saya sendiri merasa tidak seram, karena memang saya  hanya mau datang ke kuburan saat siang, itu pun bersama banyak orang.
|  | 
| Kondisi Makam Memprihatinkan | 
|  | 
| Makan Berbentuk Datar | 
Sempat pula saya  bertanya dalam hati, kapan yah Belanda menjajah Bantaeng? Betulkah  Bantaeng dijajah selama tiga abad? Sepertinya kuburan Belanda itu bisa  bercerita. Bukan yang ada di dalamnya, tetapi apa yang tertulis  dipertanda tahun keramiknya.
Saya belum pernah mendengar cerita tentang  siksaan para demang ataupun kerja rodi para meneer. Kalau Jepang, Iya. Kisah Romusha dan kelaparan begitu mengerikan.
Sebenarnya saya bisa  menelusuri lebih jauh dengan bertanya kebeberapa saksi sejarah ataupun  budayawan. Masih banyak yang berupa penasaran, karena memang sumber  referensi sejarah tentang Bantaeng masihlah sangat minim. Masih banyak  perlu diungkap, termasuk ditemukannya arca polinesia baru-baru ini. Dari  informasi Koran, arca itu termasuk sangat tua dan langka di Indonesia.  Selain Arca, juga ditemukan kerangka mongoloid.
Sejarah memang panjang, bisa membosankan kalau saya terlalu banyak cincong. Sebagai  “antek-antek” Belanda yang berziarah ke makam itu,  saya hanya berharap  semoga yang mengurusi kelestarian situs dan lokasi wisata bisa  menjaganya dengan baik.
Akhirnya, Apa pun itu,  sangat layak tulisan ini dikritik. Kebenarannya patut diverifikasi.  Mohon maaf atas segalah salah dan khilaf.
|  | 
| Penulis Kuburan Mengucapkan Selamat Menjalankan Ibadah Ramadhan | 
Bantaeng, 31 Agustus 2011
Tentang ditemukannya 600 Artefak dan Arca Polinesia baru-baru ini, bisa dibaca di 
SINI